Fajar

(Ar.: fajara-yafjuru-fajran)

Pancaran cahaya atau sinar matahari di ufuk timur sebelum matahari terbit disebut fajar. Dalam fikih, fajar dibedakan atas dua jenis, yaitu fajar kadzib (yang dusta) dan fajar Shadiq (yang benar).

Fajar kadzib adalah bayangan cahaya yang muncul di ufuk timur sebagai pertanda akan berakhirnya malam, tetapi cahaya tersebut belum terlalu terang dan belum memancarkan rona kemerah-merahan.

Adapun fajar shadiq adalah cahaya yang muncul sesudah fajar kadzib dan menampakkan rona yang kemerah-merahan. Fajar sadiq berakhir setelah matahari muncul perlahan di ufuk timur.

Jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwa kemunculan fajar shadiq menjadi pertanda masuknya salat subuh, sedangkan ulama lainnya hanya menjadikan fajar shadiq sebagai awal waktu subuh.

Pendapat pertama didukung hadis qauliyyah (ucapan Rasulullah SAW) yang diriwayatkan dari Rafi bin Khadij, “Salat subuhlah ketika sinar bercahaya, setiap kamu memasuki waktu bercahaya subuh, maka akan semakin besar ganjarannya” (HR. ad-Darimi).

Adapun pendapat kedua didukung hadis fi‘liyah (perbuatan Rasulullah SAW), “Bahwa Nabi SAW salat subuh. Lalu kaum wanita bertebaran dengan bertutup selendang. Mereka satu sama lain tidak bisa dikenali karena gelap” (HR. Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ahmad).

Rentang waktu yang membedakan antara fajar kadzib dan fajar shadiq tidak terlalu panjang dan bahkan agak sulit menentukan secara pasti batas waktu antara keduanya. Inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Adapun fajar kadzib sebagai batas akhir waktu salat isya, juga diperselisihkan ulama. Imam Syafi‘i dan Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa batas waktu salat isya sampai tengah malam; Imam Malik berpendapat sampai tiga perempat malam; dan Imam Daud bin Khalaf al-Isfahani (pendiri Mazhab az-Zahiri) berpendapat sampai munculnya fajar kadzib.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar yang pertama (fajar kadzib) dijadikan tanda imsak atau batas akhir makan sahur untuk pelaksanaan ibadah puasa. Pendapat ini didasari oleh ayat Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 183 yang berar-ti: “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

Segolongan ulama lainnya berpendapat bahwa waktu imsak itu dimulai ketika fajar merah muncul sesudah fajar putih yang serupa dengan sisa cahaya senja yang berwarna merah (syafaq al-ahmar). Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Huzaifah dan Ibnu Mas‘ud.

Adanya perbedaan-perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh hadis yang bermacam-macam, dan kata fajar itu sendiri termasuk lafal musytarak (mengandung lebih dari satu arti). Hadis yang dijadikan alasan oleh ulama adalah sebagai berikut:

“Aku makan sahur bersama Nabi SAW, kalau boleh aku katakan waktu tersebut adalah (sudah masuk) siang hari, akan tetapi matahari belum terbit” (HR. Ibnu Majah dan an-Nasa’i).

“Makan dan minumlah kamu dan janganlah mengejutkan kamu fajar yang memancar dan menaik. Makan-makan dan minumlah kamu sehingga melintang atasmu fajar merah” (HR. at-Tirmizi dan an-Nasa’i).

Daftar Pustaka

Abu Jayb, Sa‘di. al-Qamus al-Fiqhi. Damascus: Dar al-Fikr, 1988.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.
Nasaruddin Umar