Druze

(Ar.: ad-Druziyyah)

Aliran keagamaan ini mempertuhankan al-Hakim bi Amri Allah (khalifah Fatimiyah). Druze muncul di kalangan Syiah Mesir pada abad ke-10. Agama ini merupakan campuran berbagai unsur keagamaan dan filsafat. Aliran Druze berkembang di Libanon,­ Suriah, Israel, Palestina, dan Yordania. Di Libanon Druze memiliki posisi kuat di pemerintahan.

Sejarah Aliran ini muncul di Mesir pada masa peme­rintahan Abu Ali al-Mansur bin Abd al-Aziz bi Allah bin Mu‘izz li Dini Allah (985–1021) yang bergelar­ al-Hakim bi Amri Allah (penegak hukum berdasarkan perintah Allah). Abu Ali al-Mansur dinobatkan menjadi khalifah ke-6 dalam Dinasti Fatimiyah pada 996 sebagai pengganti ayahnya, al-Aziz (975–996).

Berbeda dengan para khalifah sebelumnya, al-Hakim dikenal sebagai raja yang kejam, pendendam­ terhadap­ siapa pun, dan eksentrik. Konon, banyak orang yang dibunuh dan disiksa tanpa sebab­ dan kesalahan­ yang jelas. Pada masanya diberlakukan­ pemaksaan mazhab. Rakyat yang mayoritas­ menganut mazhab Suni dipaksa beralih ke maz­hab Syiah Ismailiyah. Hal ini menimbulkan­ banyak­ keru­ suhan­ dalam masyara­kat. Khalifah al-Hakim dikabarkan menghilang seca­ra misterius pada 1021 dan tidak diketahui wafatnya.

Di antara pengikutnya yang gigih mengembangkan paham ketuhanan al-Hakim adalah Hamzah bin Ali bin Muhammad az-Zouzni (985–1038) dan Muhammad bin Ismail ad-Druzi (w. 1020) yang lebih dikenal dengan nama Nasytakin.

Hamzah az-Zouzni pada mulanya adalah seorang dai Syiah Ismailiyah. Ia dipandang sebagai pendiri aliran ke­percayaan Druze sebenarnya, karena ia yang meru­muskan ajaran Druze dan menuliskannya dalam buku yang kemud­ian diakui sebagai kitab suci kaum Druze.

Nasytakin juga seorang dai Syiah Ismailiyah. Bersama Hamzah ia meletakkan dasar keyakinan Druze. Akan tetapi, Nasytakin mendahului Hamzah mem­proklamasikan ketuhanan­ al-Hakim pada 1016. Sementara Hamzah menyerukan paham ini pada tahun berikutnya (1017).

Karena takut pada Hamzah yang meng­ancam akan membunuhnya, Nasytakin lari ke Suriah­ dan di sana ia mengajarkan pahamnya. Dengan kemampuannya sebagai dai, Nasytakin cepat­ menarik­ simpati dan memperoleh banyak pengikut. Kemudian,­ para pengikutnya menyebut paham­ yang diajarkan ini dengan nama Druze.

Penamaan­ itu dikaitkan dengan nama Nasytakin, yaitu Muhammad bin Ismail ad-Druzi. Hamzah tidak me­nyukai keberhasilan Nasytakin ini, sehingga ia menyuruh­ untuk membunuhnya pada 1020.

Pada mulanya Hamzah tidak menyukai nama Druze. Tetapi nama tersebut terlanjur dikenal dan melekat di hati para pengikut aliran tersebut, sehingga­ ia pun menerima­ nya. Setelah Hamzah wa­fat, ia digantikan oleh menantunya yang juga me­rupakan tangan kanannya, Abu Ibrahim Ismail bin Hamid at-Tamimi.

Pemikiran dan Doktrin. Keyakinan ajaran ini pada mulanya mengacu kepada keyakinan­ Syiah Ismailiyah yang percaya adanya imam yang gaib. Al-Hakim sebagai penganut Syiah Ismailiyah percaya pada hal tersebut­ dan menyatakan dirinya sebagai salah satu dari imam gaib tersebut, bahkan lama kelamaan ia mengaku sebagai Tuhan.

Teologi aliran Druze disebut hikma dan mereka percaya bahwa Tuhan menjelma dalam diri al-Hakim. Pengikut Druze percaya bahwa al-Hakim akan kembali ke dunia dengan membawa sebuah kebenaran baru.

Dalam perkembangannya, ajaran Druze bercam­pur­ dengan berbagai pemikiran filsafat kuno, seperti filsafat Yunani (khususnya Aristoteles, Plato,­ dan Pythagoras), Hindu, Mesir Kuno, dan Persia Kuno. Para pengikut Druze merasa bangga menghubungkan­ dirinya dengan berbagai kepercayaan­ tersebut.

Beberapa ajaran Druze yang terpenting adalah sebagai berikut.

(1) Mengakui al-Hakim sebagai Tuhan.

(2) Meng­ingkari semua nabi dan rasul, khu­susnya Isa AS dan Muhammad SAW. Karena itu mereka­ sangat memusuhi­ pengikut Kristen dan Islam, terutama dari golongan Suni.

(3) Menghapus se­mua ajaran, hukum, dan ibadah dari semua agama yang ada, dan hanya mengakui ajaran Druze yang termuat dalam kitab suci mereka yang bernama al-Munfarid li Dzatih (Yang Berdiri Sendiri).

(4) Meyakini adanya­ reinkarnasi, karenanya mereka menolak adanya kehidupan­ di akhirat,­ surga, dan neraka.

(5) Meyakini akan datangnya al-Hakim sebagai­ pemimpin umat manusia di seluruh dunia sampai datangnya kiamat.

(6) Tidak mempercayai­ Ka’bah sebagai baitullah (rumah Allah), sehingga pengikut Druze tidak melak-sanakan ibadah haji.

(7) Meyakini­ al-Hakim telah mengutus lima orang nabi kepada mereka,­ yaitu Hamzah, Nasytakin, al-Fargani, Bahauddin, dan at-Tamimi.

(8) Mengharamkan menikahi orang selain kelompoknya.

(9) Mendakwahkan ajaran Druze hanya kepada orang yang berumur­ 40 tahun ke atas. Bagi peng­ikut­ Druze usia balig adalah setelah 40 tahun.

Tokoh yang dikenal aktif mengembangkan­ paham Druze, antara lain adalah Husein bin Haidarah al-Fargani (propagan-dis Syiah) yang terkenal dengan nama Akhram atau Ajda’ dan Bahauddin Abu Hasan bin Ahmad as-Samuqi yang dikenal dengan nama ad-Daif.

Ad-Daif banyak menyu­sun buku tentang­ paham Druze, seperti RisÎlah at-Tanbih wa at-Ta’nib wa at-Taubikh (Risalah Peringatan, Cela­an, dan Cercaan) dan Risalah at-Ta’nif wa at-Tahjin (Risalah Penyucian dan Penyerasian). Dia pula yang mengumandangkan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup sehingga generasi Druze berikutnya tidak boleh lagi melakukan analisis terhadap ajaran yang telah dirumuskan.

Selain itu, ajaran Druze juga ditulis dalam berbagai­ buku, antara lain Rasa’il al-Hikmah (Risalah-Risalah Hikmah) yang terdiri dari 111 risalah, disu­sun oleh Hamzah, Bahauddin, dan at-Tamimi; al-Munfarid li Tatih (Yang Berdiri Sendiri) karangan Hamzah dan Nasytakin; Waliyy az-Zaman (Wali Zaman) oleh Hamzah bin Ali.

Buku lainnya: an-Naqd al-Khafi (Bantahan Halus) karya Hamzah yang khusus ditulis­ untuk menjelaskan penolakan Druze terhadap syariat Islam, terutama rukun Islam yang lima; dan Adhwa’ ‘ala Maslak at-Tauhid (Petunjuk Menuju Jalan Tauhid) karangan Dr. Sami Makarim (tokoh intelektual Druze yang banyak membela keyakinan Druze melalui­ karya tulisnya).

Perkembangan. Aliran Druze tidak banyak berkembang di Mesir, tetapi berkembang di Libanon,­ Suriah, Israel, Yordania,  dan Palestina. Pengikut aliran Druze tersebar pula di Eropa dan Amerika Serikat. Di Palestina, banyak pengikut aliran ini menjadi warga negara Israel, bahkan direkrut menjadi tentara Israel.

Sementara itu, di Libanon pengikut­ Druze memiliki posisi yang cukup kuat di bawah pimpinan Walid Jumblatt sebagai pemimpin Partai Progresif Sosialis,­ pengganti ayahnya yang terbunuh pada 1977, Kamal Jumblatt (pendiri Partai Progresif).

Partai ini memiliki andil besar dalam menyulut dan mengobarkan­ permusuhan antara pemerintah Libanon dan umat Islam di negeri itu. Selain itu, kaum Druze juga memiliki organisasi rahasia antara lain di Brazil dan Australia.

Di berbagai negara, kaum Druze selalu me­nunjukkan­ sikap oposisi terhadap pemerintah yang res­mi. Mereka berprinsip bahwa­ pemerintahan­ yang sah adalah pemerintahan­ yang dipimpin oleh kaum Druze. Pusat kegiatan keagamaan­nya terletak di wilayah pegunungan Jabal ad-Duruz di Suriah.

Selain Walid Jumblatt, pemimpin Druze yang terkenal saat ini antara lain Dr. Najib Asrawi (ketua­ organisasi kaum Druze Brazil), Anan Basyir Rasyid (pemimpin kaum Druze di Australia), dan Dr. Sami Makarim.

Dalam perkembangannya, pengikut aliran ini terbagi dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan elite (golongan Ruhaniyin) dan tingkatan­ bawah (golongan Jasmaniyin). Golongan Ruhaniyin terdiri dari para pemimpin, kaum intelektual, dan orang pilihan.

Kelompok inilah yang meme­gang rahasia aliran Druze dan menyusun konsep pengembangannya. Adapun golongan Jasmaniyin­ terdiri dari orang yang memperhati­kan­ urusan keduniaan. Mereka terdiri dari pegawai biasa, para buruh, dan orang awam.

Aliran Druze mempunyai gaya hidup memisahkan diri dari masyarakat lain. Mereka dapat berdoa seperti seorang muslim atau seperti seorang Kristen tergantung tempat mereka berada. Hal tersebut mereka lakukan untuk melindungi agama dan keamanan mereka, ketika mereka hidup di antara orang yang berbeda agama.

Aliran Druze tidak minum anggur dan tidak merokok. Ada larangan yang jelas mengenai hal yang melanggar kesucian agama. Mereka mempunyai perasaan yang kuat sebagai suatu kelompok, meskipun mereka tersebar di berbagai negara.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. at-Tarikh Maˆahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Kutub, 1988.

Ahmad Fauzan. Adwa‘ ala al-‘Aqidah ad-Druziyyah. Beirut: t.t.

Bilal Philips. al-Firaq al-Baqiniyyah al-Mu‘asirah. Riyadh: t.p., 1992.

an-Nadwah al-Alamiyah li asy-Syabab al-Islami. al-Mausu‘ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Maˆahib al-Mu‘asirah. Riyadh: t.p., 1993.

Musdah Mulia