Dosa

(Ar.: wizr, ism, junah,­ dan kaba’ir)

Pelanggaran hukum, baik hukum Tuhan (agama), hukum adat, maupun hukum negara, disebut dosa. Secara istilah, dosa dipahami sebagai­ pelanggaran­ hukum agama. Dalam­ fikih, istilah dosa berkaitan dengan siksa (derita sebagai hukuman). Dalam Al-Qur’an, dosa disebut wizr, ism, junah,­ dan kaba’ir (dosa besar).

Islam mengajarkan bahwa dosa seseorang menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidak ada dosa warisan, sebagai­­ mana bunyi surah al-An‘am (6) ayat 164 yang berarti:
“…dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain….”

Islam juga melarang seseorang menolong orang lain untuk melakukan dosa karena akibat hukumnya sama dengan melakukannya. Hal ini termaktub dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 2 yang berarti: “…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….”

Dosa ada dua macam, yaitu dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil adalah pelanggaran hukum­ atas perbuatan yang tidak diperinci bahwa pe­langgar­an­nya­ adalah dosa besar, seperti berbohong­ dan melihat­ sesuatu yang dilarang.

Dosa besar adalah dosa pelanggaran hukum atas perbuatan yang telah ditentukan, seperti menyekutukan­ Allah SWT (musyrik), menyakiti orangtua, bersaksi pal­su, bunuh diri, membunuh orang lain, berzina, dan merampok. Sebagian ulama berpendapat bahwa­ melakukan dosa kecil terus-menerus dapat dinilai­ sama dengan melaku­kan­ dosa besar.

Dosa kecil dapat dihapus dengan menjalankan perbuatan­ yang baik, seperti wudu, sa­lat, dan ibadah lainnya. Sementara untuk menghapus­ dosa besar, harus bertobat dengan tobat nasuha. Menyekutukan Allah SWT (musyrik) adalah­ dosa besar yang tidak dapat diampuni Allah SWT. Allah SWT  berfirman dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 48 yang berarti:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia meng­ampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Ba­rang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”

Pada dasarnya akibat orang yang berbuat dosa akan kembali kepada dirinya sendiri. Hukuman se­bagai akibat atau balasan dosa dapat terjadi di dunia­ dan dapat pula terjadi di akhirat. Tetapi Allah SWT memberikan kesempatan kepada hamba-Nya yang berdosa untuk bertobat dan memohon­ ampunan-Nya.

Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan dosa­ besar ini pernah menjadi isu besar yang menimbul­kan­ perpecahan­ di kalangan umat Islam. Karena Ali bin Abi Thalib menerima tahkim (keputusan) dari Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang tidak didasarkan pa­da hukum Allah SWT, kelompok Khawarij menganggap Ali RA telah berdosa besar.

Oleh karena itu Ali yang berdosa dipandang sebagai kafir berdasarkan firman Allah SWT Memuja tempat yang dianggap keramat merupakan dosa besar dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 44 yang berarti: “Barangsiapa­ yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka­ itu adalah orang-orang yang kafir.”

Persoalan yang timbul berikutnya adalah apakah orang yang telah berbuat dosa besar itu menjadi kafir atau masih beriman (mukmin). Ke­lompok Mur­ji’ah berpandangan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, bukan kafir. Masalah­ dosa besar yang dilakukannya terserah kepada­ Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

Kelompok Muktazilah­ berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tidaklah kafir dan tidak pula mukmin. Orang semacam ini menempati posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain)­.

Namun golongan­ Khawarij al-Muhakkimah­ berpandangan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir; sedangkan­ golongan Khawarij al-Azariqah berpendapat­ bahwa orang yang berdosa besar dipandang sebagai musyrik yang dosanya melebihi kafir.

Ada­pun golongan an-Najdat berpendapat bahwa dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadikan pelaku­nya sebagai musyrik.

Menurut Abu Hasan al-Asy‘ari, pembawa Mazhab Ahl-usunnah waljamaah, nasib orang yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa tobat berada di tangan Allah SWT. Jika dosanya diampuni, ia akan dimasukkan ke dalam surga, tetapi jika tidak mesti dimasukkan ke dalam­ neraka­ dahulu dan kemudian dimasukkan ke dalam surga. Menurutnya, orang yang berdosa besar tidak mungkin kekal dalam neraka karena ia telah beriman­.

Tidak beda halnya dengan pendapat golongan Maturidiyah (Abu Mansur Muhammad al-Matu­­ridi). Menurut golongan ini, orang yang berdosa besar tidak akan kekal dalam neraka meskipun ia meninggal dunia sebelum bertobat. Nasibnya­ di akhirat terletak pada kehendak Allah SWT.

Jika orang demikian memperoleh ampunan Allah SWT, maka akan dimasukkan ke surga, tetapi­ jika tidak diampuni maka dimasukkan ke ne­raka dahulu dan kemudian ke surga, sesuai dengan amal perbuatannya­. Selain itu, golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa kecil dapat terhapus dosanya dengan melakukan­ kebaikan.

Daftar Pustaka

al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. al-Ibanah ‘an Ushul ad-DiyÎnah. Damascus: Idarah at-Tiba‘ah al-Muniriyah, 1348 H/1929 M.
al-Bazdawi, Abu al-Yusr Muhammad. Kitab Ushul ad-Din. Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1963.
al-Jabbar, Abdul. Syarhal-Ushul al-Khamsah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1965.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Sabiq, Sayid. Islamuna. Beirut: Darul Fikr, 1402 H/1982 M.
as-Subhi, Ahmad Mahmud. Fi ‘Ilm al-Kalam. Cairo: Mu’asasah at-Tahtafa al-Jami-yah, 1982.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Ahmad Rofiq