Dharar

Secara kebahasaan, dharar berarti “bahaya” dan ”kerugian”. Dalam fikih, istilah ini berarti tindakan yang membaha­yakan dan merugikan orang lain secara mutlak. dharar bersifat universal, berlaku­ dalam berbagai bidang hukum dan menjadi­ kaidah fikih. Konsep ini disimpulkan dari berbagai dalil syarak, baik dari Al-Qur’an maupun hadis.

Menurut Ibnu Asir (555 H/1160 M–630 H/1233 M, sejarawan dan mu­hadis), dharar berarti “seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, sehingga haknya terkurangi”. Misalnya, jika seseorang biasa tidur siang sejenak, tetangganya tidak melakukan suatu pekerjaan yang membuatnya terganggu, seperti membunyikan radio dengan suara keras. Jika tindakan itu dilakukan, gangguan itu merupakan dharar bagi tetangganya.

Dalam berjual beli juga demikian. Contohnya, tindakan penjual bensin yang mencampur bensin dengan minyak tanah karena ingin mendapatkan keuntungan yang banyak. Tindakan tipuan ini termasuk dalam konsep dharar yang merugikan orang lain, sekalipun orang lain itu tidak tahu.

Diceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW menghampiri seorang penjual buah-buahan di pa­sar. Beliau heran ketika melihat buah-buahan yang bagus di bagian atas gerobak namun ada air menitik dari gerobak itu. Kemudian Rasulullah SAW memasukkan­ tangannya ke dalam gerobak tersebut Ternyata buah-buahan yang bagus hanya ada di atas, sedangkan di dalamnya banyak yang busuk. Ketika itu Rasu-lullah SAW berkata, “Siapa yang menipu kami, bukanlah dari golongan kami” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Konsep dharar adalah konsep universal yang berlaku dalam berbagai bidang hukum, sehingga konsep ini dibakukan menjadi­ kaidah fikih yang berbunyi­ “la dharar wa la dhirar” (tidak [boleh] bahaya dan tidak [boleh] membahayakan”) dan “ad-dharar yuzal” (segala bentuk dharar dihilangkan).

Konsep dharar ini diinduksi dari berbagai dalil syarak, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an, umpamanya, dharar dapat dilihat dalam surah at-Talaq (65) ayat 6 dan surah al-Baqarah (2) ayat 231 dan 233. Dharar dalam surah ath-thalaq berkaitan­ dengan hubungan suami istri, yakni seorang suami harus berusaha menyediakan tempat tinggal bagi istri sesuai dengan kemampuan suami.

Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 231 dharar berkaitan dengan sikap seorang suami yang mempermainkan hak talaknya, sehingga istri dirugikan. Si suami tidak senang lagi pada istrinya, tetapi ia tidak mau menjatuhkan talak.

Sikap dharar seperti ini, dalam ayat tersebut, disebut tindakan lalim. Adapun dharar dalam surah al-Baqarah (2) ayat 233 berkaitan dengan masalah menyusui anak. Seorang ibu memang berkewajiban untuk menyusui anaknya, dan ayah berkewajiban memberi nafkah ibu dan anak.

Akan tetapi, jika dalam menyusui anak itu ibu mendapat dharar, misalnya, akan timbul penyakit jika ia menyusui anaknya terus, ketika itu ia boleh menyapih anaknya atau menyusukannya pada orang lain atas biaya ayah.

Di samping hadis yang dikemukakan di atas, banyak lagi sabda Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah dharar. Umpamanya, dalam masalah ihtikar (pedagang yang menimbun barang) yang dicela Rasulullah SAW karena tindakan itu merugikan para pedagang lain dan konsumen.

Sabda­ Rasulullah SAW dalam kasus seorang penjual susu yang mencampur susu yang dijualnya dengan air (HR. Muslim dan Ahmad bin Hanbal); dan perkataan Rasulullah SAW terhadap Samrah bin Jundab, “Kamu  ini pembuat dharar,” karena Samrah bin Jundab bertindak sewenang-wenang terhadap lahan pertanian seorang Ansar (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari berbagai ayat dan hadis Rasulullah SAW inilah ulama fikih menginduksi kaidah yang berkaitan dengan dharar dan berlaku untuk semua aspek fikih. seperti ini disebut «arar al-mutawaq­qa‘ («arar yang diduga keras akan terjadi).

Contoh lain dari dharar al-mutawaqqa‘ ini adalah dalam masalah ijtihad. Seorang mujtahid dalam berijtihad harus berorientasi kepada tercapainya tujuan hukum. Apabila tujuan hukum tidak tercapai, harus dicarikan hukum lain yang lebih sesuai. Umpamanya, dalam kasus mengawini wanita ahlulkitab.

Menurut ad-Duraini, sekalipun dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 5 dinyatakan laki-laki mukmin boleh mengawini wanita ahlulkitab, tetapi hukum ini untuk zaman sekarang perlu dipertimbangkan sisi dhararnya. Tujuan dibolehkannya mengawini wanita ahlulkitab adalah agar mereka dapat diajak masuk Islam atau paling tidak dengan mengawini mereka generasi ahlulkitab akan berkurang.

Umar bin Khattab menduga keras bahwa tujuan ini tidak akan tercapai lagi. Oleh sebab itu, ia melarang para sahabat untuk mengawini wanita ahlulkitab. Ijtihad Umar ini, menurut ad-Duraini, didasarkan kepada dharar al-mutawaqqa‘ yang diduga keras akan terjadi. Oleh sebab itu, dalam menetapkan suatu hukum, seorang mujtahid harus meneliti dan menganalisa secara cermat kemungkinan dharar yang akan timbul, sehingga dengan tepat­ ia dapat menentukan hukum suatu persoalan yang dihadapi.

Contoh lain yang dikemukakan ad-Duraini dalam masalah ijtihad adalah mengawinkan wanita hamil karena zina. Di satu sisi, wanita hamil dan lelaki yang menghamilinya itu mendapat malu, karena perbuatan mereka. Ini merupakan dharar bagi mereka.

Di sisi lain, jika mereka dikawinkan ketika wanita itu masih hamil, hal itu bisa dijadikan contoh untuk kasus yang sama. Artinya, jika wanita hamil dinyatakan boleh dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya ketika ia masih hamil, akan terbuka jalan bagi mereka untuk melakukan zina dalam upaya mereka mencari restu orangtua kedua belah pihak.

Jika dibandingkan kualitas dharar yang akan timbul antara mengawinkan atau tidak mengawinkan mereka, lebih besar dhararnya jika mereka dikawinkan. Pertimbangan nya, dharar yang diterima wanita hamil dan lelaki yang menghamilinya hanya untuk diri dan keluarga mereka, sedangkan jika mereka dikawinkan dhararnya bisa meluas kepada para remaja atau pemuda lainnya.

Oleh sebab itu, menurut ad-Duraini,seorang mujtahid harus jeli melihat dharar yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Jika ia melihat dharar al-mutawaqqa‘ jauh lebih besar dibanding dengan dharar al-waqi‘, ia harus berusaha untuk menghambat timbulnya dharar al-mutawaqqa‘ tersebut.

Isyarat seperti ini telah banyak diberikan Rasulullah SAW melalui sabda-sabdanya. Umpamanya, dilarang meminang wanita yang sedang dipinang orang lain (HR. Muslim); dilarang menawar barang yang telah ditawar  orang lain (HR. Muslim); para pedagang dilarang membeli barang dagangan dari desa sebelum sampai di pasar, karena diduga akan terjadi manipulasi harga yang akan merugikan pedagang desa dan harga pasar (HR. Abu Dawud); dan dilarang menjual buah-buahan di pohonnya (HR. Ibnu Majah).

karena sikap seperti ini akan membawa dharar kepada peda­­ gang. Demikian juga dalam hal pembunuhan. Jika seseorang terbunuh, ahli warisnya berhak menun­tut­ kisas atas kerugian yang ia derita. Akan tetapi, ahli waris tersebut tidak boleh menuntut kisas dan diat sekaligus, karena tuntutannya ini akan memberatkan pelaku pembunuhan; dan mem­berat­kan pelaku pembunuhan­ itu pun termasuk dharar.

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fathi. Naˆariyyah at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-saqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
Ibnu al-Asir. an-Niayah fi Garub al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. al-Madkhal al-Fiqhi: al-Qawa‘id al-Kulliyyah. Damascus: Dar al-Ma‘arif li at-Tiba‘ah, 1399 H/1979 M.
an-Nadwi, Ali Ahmad. al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah. Damascus Dar al-Qalam 1406 H/1986 M.

Nasrun Haroen