Madrasah Deoband adalah sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam di Deoband Saharanpur, Uttar Pradesh, India, yang berorientasi pada pembaruan Islam. Lembaga ini (semula masjid kecil) pada 1867 diubah oleh Haji Muhammad Abid menjadi madrasah kecil, kemudian diubah lagi oleh pemuka Mujahidin menjadi perguruan tinggi dengan nama Dar al-‘Ulum Deoband.
Gerakan Mujahidin adalah organisasi yang didirikan Sayid Ahmad Syahid (w. 1831), seorang ulama pembaru India, bertujuan untuk meneruskan pemikiran Syah Waliyullah (w. 1762), pemuka pembaruan India, sebagai akibat masuknya pengaruh kekuasaan asing Inggris di anak benua tersebut pada peralihan abad ke-16 dan ke-17. Posisi Gerakan Mu jahidin semakin tersudut karena ada di antara pemimpinnya yang turut mengambil bagian dalam pemberontakan terhadap Inggris yang gagal pada 1857.
Sesudah itu, sekelompok pemuka meninggalkan medan jihad, lalu mengalihkan perhatian dan kegiatannya ke bidang pendidikan. Atas dukungan pemuka itulah Haji Muhammad Abid mendirikan Madrasah Deoband. Mereka itu antara lain Maulana Muhammad Qasim Nanantawi (w. 1875) dan Maulana Muhammad Ishaq (w. 1882).
Madrasah Deoband memiliki bangunan masjid, perpustakaan, ruang kuliah khusus hadis, tafsir, fikih, dan lain-lain serta asrama mahasiswa yang mampu menampung sekitar 1.500 mahasiswa. Perpustakaannya menyimpan manuskrip terbesar di India, memiliki 67.000 buku dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Para mahasiswa berasal dari berbagai negeri, seperti dari Daghestan, Afghanistan, Kiev, Bukhara, Kazan, Rusia, Azerbaijan, Asia Kecil, Tibet, Cina, kepulauan di Samudera Hindia, dan Arab.
Deoband memakai kurikulum berdasarkan susunan Niˆam ad-Din (Aturan-Aturan Agama) dari sekolah Farangi Marshall Lucknow yang didirikan Muhammad Sahalawi (w. 1682) pada akhir abad ke-17, yang disebut Dars Nizamiyya (silabus Nizamiyah). Dars Nizamiyya tersebut meliputi gramatika dan sintaksis bahasa Arab, filsafat, matematika, retorika, fikih dan usul fikih, logika, hadis, tafsir, dan sejarah sufi.
Deoband menyediakan tiga gelar bagi lulusannya, yaitu ‘alim bagi mahasiswa yang telah menempuh pelajaran selama 7 tahun dan lulus dalam ujian buku hadis; fazil bagi mahasiswa yang menambah lagi masa belajarnya selama 2 tahun dan lulus dalam ujian buku tafsir; dan takhassus bagi mahasiswa yang menambah lagi masa belajarnya 2 tahun setelah memperoleh gelar fazil dan lulus dalam ujian sastra Arab atau fikih.
Madrasah Deoband dipandang sebagai pelopor berdirinya madrasah lain di India. Dalam tempo 30 tahun atau hingga 1899 di Uttar Pradesh dan Bihar saja terdapat 28 madrasah. Dalam perkembangan sejarah Islam di India, Deoband menjadi terkenal dan penting bukan saja karena kiprahnya di bidang pendidikan tetapi juga karena sikap dan suaranya yang vokal di bidang lainnya, misalnya: penyebaran ide-ide keagamaan dan sikap perguruan ini terhadap kelompok kekuatan politik di India pada waktu itu.
Sebagai madrasah atau perguruan yang didirikan pemuka Gerakan Mujahidin, Deoband melandaskan diri pada penerusan dan penyebarluasan ide keagamaan dari Syah Waliyullah dan Sayid Ahmad Syahid.
Karena itu, dengan diilhami ide kedua pemimpin tersebut, Deoband melakukan langkah pemurnian tauhid yang dianut umat Islam India dari paham keliru yang berasal dari ajaran tarekat, dari kepercayaan animisme lama, serta dari berbagai praktek bid’ah yang tumbuh di tengah masyarakat muslim India.
Beberapa ciri pembaruan Deoband adalah penetangan nya terhadap: ‘urs (perayaan tahunan ulang tahun kematian), “makanan fatihah” yang dipersembahkan kepada orang mati (makanan yang dibagikan setelah membaca surah al-Fatihah, dan upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian yang sering merupakan kebiasaan nonmuslim lokal.
Deoband bermaksud mewujudkan kembali Islam sebagaimana yang terdapat di zaman Nabi SAW, sahabat, tabiin, dan zaman sesudahnya. Karenanya, madrasah ini mengaitkan dirinya dengan tradisi zaman klasik Islam.
Deoband menganut Mazhab Hanafi dalam bidang fikih dan teologinya bercorak Asy‘ariyah Maturidiyah (aliran teologi menurut pendapat Abu Hasan al-Asy‘ari dan Abu Mansur Muhammad al-Maturidi). Deoband berpegang kuat pada aspirasi dan cita-cita keagamaan seperti itu dan berpihak pada kelompok politik yang masih tetap bercita-cita mewujudkan sistem kekhalifahan (khilafah) dalam pemerintahan masyarakat Islam.
Demikian pula, karena pengaruh para pemimpinnya, khususnya mantan pemuka Gerakan Mujahidin, Deoband bersikap anti Inggris. Sikap ini, yang merupakan reaksi terhadap pendidikan sekular Barat dan usaha misi Kristen yang dibawa dan membonceng pada kekuatan Inggris, mengakibatkan ulama Deoband justru bekerjasama dengan kalangan Hindu India untuk melawan Inggris dan menentang Liga Muslimin yang dianggap pro Inggris.
Menurut Maulana Gangohi, salah seorang pemimpin Deoband, kerjasama dengan pihak Hindu dalam Partai Kongres Nasional India adalah sah karena bertujuan melawan Inggris. Deoband juga menantang ide pembagian India atas dua bagian, yaitu negara Islam Pakistan dan negara Hindu.
Hal ini diperjuangkan pemimpin Islam India lainnya di luar Deoband karena mereka memandang ide itu berasal dari rencana Inggris. Deoband merasa terpukul ketika ide gerakan khilafah dipatahkan tindakan Mustafa Kemal Ataturk yang menghapuskan jabatan khalifah di Turki pada 1924 dan Mohammad Ali Jinnah yang berhasil mewujudkan berdirinya negara Islam Pakistan, yang berpisah dari India pada 1947.
Betapapun kenyataan yang dihadapinya di bidang politik, Deoband dinilai berhasil meraih pengaruh besar di kalangan masyarakat Islam India, terutama lapisan awam. Begitu pula, lembaga ini dinilai berhasil dengan berdirinya madrasah yang dipeloporinya.
Daftar Pustaka
Ahmad, Aziz. An Intellectual History of Islam in India. Edinburgh: Great Britain, 1969.
Haq, Muhir U. Islam in Secular India. Simla: Indian Institute of Advanced, 1972.
–––––––. Muslim Politics in Modern India 1857–1947. Meerut: Meenakshi Prakashan, 1970.
Ikram, S.M. Muslim Civilization in India. New York: Colombia University Press, 1965.
Nadwi, S. Abul Hasan. Muslim in India. Lucknow: Islamic Research and Publications, 1976.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Niemeijer, A.C. The Khilafat Movement in India, 1919–1924. The Hague: Martinus Nijhoof, 1972.
Moch. Qasim Mathar