Daud Beureueh adalah seorang ulama, pejuang kemerdekaan, dan pemimpin pemberontakan rakyat Aceh terhadap pemerintah Orde Lama. Nama kecilnya adalah Muhammad Daud. Beureueh adalah nama desa kelahirannya di Kabupaten Pidie. Di depan namanya sering ada “Teungku”, gelar khusus ulama Aceh.
Sungguhpun tidak pernah masuk sekolah formal, Daud Beureueh tidak buta huruf Latin. Pada 1931 ia mendirikan Madrasah Sa‘adah Adabiyyah di Sigli. Teungku Daud Beureueh dikenal sebagai ulama yang berpendirian tegas. Ia sering berbeda pendapat dengan penguasa, terutama tentang masalah pemerintahan dan agama.
Ia sangat antikomunis yang dipandangnya sebagai musuh Islam. Karena itu, umat Islam Aceh diperintahkannya supaya menjauhkan diri dari PKI (Partai Komunis Indonesia) ketika organisasi itu mulai berkembang di sana.
Pada 1939 di Aceh didirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Teungku Daud Beureueh terpilih sebagai ketua. Organisasi ini kemudian menggembleng rakyat Aceh untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Pada waktu Jepang berkuasa di Aceh, ia pernah ditahan karena di curigai sebagai pemimpin dan ulama pemberontak. Tetapi tak berapa lama kemudian ia dibe baskan kembali. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Daud Beureueh bersama pengikutnya berjuang dengan gigih untuk memperta hankan Republik Indo nesia di front Aceh. Atas jasanya ini ia diangkat Presiden Soekarno menjadi anggota DPA RI di Aceh.
Pada waktu pembentukan TNI sebagai gabungan TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dengan laskar rakyat, di Aceh masih terdapat berbagai pertentangan. Di belakang Teungku Daud Beureueh masih banyak pengikutnya yang terdiri dari berbagai kelompok laskar perjuangan.
Akan tetapi, dengan menggunakan wibawanya, ia berhasil mempersatukan berbagai kelompok itu menjadi TNI demi persatuan bangsa. Atas jasanya itu, ia diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Pada waktu terjadi Agresi II (1948), Teungku Daud Beureueh mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Demikian juga ketika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di pedalaman Sumatera di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara, ia ikut aktif menggerakkan perlawanan rakyat Aceh.
Tetapi ketika pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia diumumkan, Aceh dinyatakan menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibukotanya. Kebijakan pemerintah pusat ini mendapat tantangan dari rakyat Aceh yang merasa haknya dikurangi.
Perdana Menteri Mohammad Natsir datang ke Aceh dalam usaha mencari jalan keluarnya. Rakyat Aceh akhirnya bergabung dengan Propinsi Sumatera Utara (Januari 1951). Penyelesaian ini dapat dicapai dengan suatu janji pemerintah pusat untuk tidak menolak tuntutan rakyat Aceh akan otonomi daerah.
Akan tetapi keadaan tenang itu tidak berlangsung lama. Awal 1953 ketegangan kembali memuncak dengan adanya isu tentang penangkapan-penangkapan, rapat-rapat rahasia, dan hubungan Teungku Daud Beureueh dengan Kartosoewirjo, pemimpin pemberontakan darul Islam (1949–1962).
Para anggota PUSA mengadakan kampanye pemilihan umum dengan isi pidato yang menekankan perlunya otonomi daerah dan negara Islam. Bersama para pemimpin PUSA lainnya, Daud Beureueh membentuk Bekas Pejuang Aceh (BPA). Ia disebut-sebut sebagai tokoh di belakang dua aktivitas itu.
September 1953, pemberontakan rakyat Aceh meletus, dan Teungku Daud Beureueh memproklamasikan Aceh dan daerah sekitarnya menjadi bagian dari negara Islam Indonesia/darul Islam, karena dalam pandangannya pemimpin Republik Indonesia telah menyimpang dari jalan yang benar.
Republik Indonesia juga dinilai tidak berkembang menjadi suatu negara yang berdasarkan Islam. Pada 1961 ia kembali ke pangkuan Republik, dan tahun berikutnya keamanan pulih kembali di Aceh. Di hari tuanya, ia menetap di desa kelahirannya.
Daftar Pustaka