Dalam fikih, suatu petunjuk yang digunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain disebut dalil. Misalnya, ayat Al-Qur’an diteliti untuk mengetahui hukum mendirikan salat. Ayat Al-Qur’an yang diteliti itu disebut dalil. Adapun hasil penelitian itu disebut madlul.
Dalam ilmu mantik, dalil dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil ‘aqli (akal). Kalau pemba-gian ini diterapkan pada ilmu usul fikih, ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW merupakan dalil-dalil naqli. Akal memegang peranan yang sangat penting dalam memahami apa yang dikehendak dalil naqli itu dan bagaimana menerapkannya terhadap masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Dalil naqli yang berasal dari ayat Al-Qur’an semuanya berstatus sebagai dalil yang qath‘i al-wurud, artinya sudah diyakini merupakan wahyu Allah SWT yang terpelihara dari campur tangan manusia. Akan tetapi, dari segi pengertiannya, ayat Al-Qur’an itu dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu qath‘i ad-dalalah dan ˆanni ad-dalalah.
Yang dimaksud dengan ayat yang qath‘i ad-dalalah adalah ayat yang pengertiannya dapat dipahami langsung dari ayat itu sendiri dan tidak memerlukan penjelasan yang lain. Ayat tersebut secara pasti menunjuk pada satu pengertian dan tidak mengandung kemungkinan pengertian lain.
Misalnya, dari surah al-Baqarah (2) ayat 183 dapat dipahami bahwa ibadah puasa itu wajib dilaksanakan setiap orang Islam. Pemahaman seperti ini diperoleh dari kata kutiba (diwajibkan) pada permulaan ayat tersebut.
Adapun pengertian dari ayat yang ˆanni ad-dalalah baru dapat dipahami dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab. Kata-kata al-Yad, al-Wajh, dan al-‘Ain yang dirangkaikan dengan lafal ad-dalalah (indikasi, penunjukan pada makna ayat), seperti yad Allah, wajhu Rab-bika, dan bi a‘yunina adalah sebagian dari contoh-contoh ayat yang ˆanni ad-dalalah.
Kata-kata itu dipahami menurut pengertian hakiki (lafˆi) oleh golongan Asy‘ariyah, yaitu dengan pengertian “tangan Allah”, “wajah Tuhan engkau”, dan “penglihatan mata Kami”.
Akan tetapi, golongan Muktazilah memahami kata-kata tersebut secara majasi (tidak sebenarnya). Menurut mereka, pemahaman secara hakiki terhadap kata-kata itu dapat me nimbulkan penger tian tajsim, yaitu menganggap Tuhan mempunyai tubuh seperti makhluk-Nya.
Oleh sebab itu, mereka memahaminya melalui ttakwil. Kata yad Allah ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah” atau “nikmat-Nya”, wajhu Rabbika dengan pengertian “Zat Tuhan-Mu”, dan kata bi a‘yunina dengan pengertian “di bawah pengawasan Kami”.
Dari segi keasliannya, hadis Nabi SAW sebagian besar termasuk dalam kategori ˆanni al-wurud, yaitu hadis yang diriwayatkan dari seorang ke seorang atau yang belum sampai ke batas hadis mutawatir, yang keasliannya tidak sampai meyakinkan. Hadis yang qath‘i al-wurud hanyalah hadis mutawatir yang jumlahnya sangat sedikit.
Hadis ahad, masyhur, dan daif termasuk dalam kategori hadis yang ˆanni al-wurud. Adapun dari segi pengertiannya, sama halnya dengan ayat Al-Qur’an, hadis itu ada yang qath‘i ad-dalalah dan ada pula yang ˆanni ad-dalalah.
Di samping dalil naqli, ada pula dalil ‘aqli, yaitu dalil yang melalui penalaran akal (ijtihad). Ijtihad itu adakalanya dilakukan dengan membandingkan segi persamaan (‘illat) yang terdapat pada suatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perbuatan lain yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam dalil naqli. Adakalanya ijtihad itu dilakukan dengan memperhatikan ruh tasyri‘ (jiwa semangat hukum) dan kemaslahatan umum.
Dalil ‘aqli itu banyak macamnya, tetapi yang diakui para ahli usul fikih sebagai dalil dalam penetapan hukum syariat yaitu kias, istihsan, ‘urf (kebiasaan), al-mashlahah al-mursalah, sadd adz-dzari‘ah, dan istishab. Perlu pula diketahui bahwa setiap imam pemuka mazhab mempunyai penekanan terhadap salah satu di antara dalil ‘aqli itu.
Imam Hanafi, misalnya, lebih menyukai pemakaian istihsan. Menurutnya, istihsan itu sebenarnya adalah semacam kias, yaitu menguatkan kias khafi atas kias jali, atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan ketentuan umum pada ketentuan khusus.
Misalnya, syarak(hukum Islam) melarang seseorang memperjualbelikan suatu barang yang belum ada wujudnya pada saat jual beli dilakukan. Larangan ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli (ketentuan umum). Akan tetapi syarak memberikan keringanan pada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya akan dikirim kemudian sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu lintas perdagangan. Hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum dengan menggunakan ketentuan khusus karena keadaan memerlukan.
Imam Malik lebih mengutamakan penggunaan al-maslahah al-mursalah. Persoalan yang dihadapi manusia selalu berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Menurut Imam Malik, kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Nabi SAW kemudian timbul dan terjadi pada masa sesudahnya.
Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian, kehidupan manusia menjadi sempit. Dalil itu adalah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana pula yang tidak sesuai dengan dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, kemaslahatan manusia dapat direalisasi setiap masa, tempat, dan keadaan.
Sebenarnya para sahabat, tabiin, dan ulama sesudah nya telah melaksanakan hal ini sehingga mereka segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq telah mengumpulkan Al-Qur’an.
Khalifah Umar bin Khattab telah menetapkan talak yang dijatuhkan sekaligus tiga, sedangkan pada masa Rasulullah SAW hanya jatuh satu. Khalifah Usman bin Affan telah melakukan penulisan Al-Qur’an dalam bahasa (dialek) Quraisy saja, sedangkan sebelumnya ditulis dalam beberapa dialek.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Bek, Muhammad Khudari. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.
–––––––. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
–––––––. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.
Zulfikri