Dari segi bahasa, dakwa berarti tuntutan, gugatan, pengaduan, dan tuduhan. Dalam fikih, dakwa berarti tuntutan penggugat terhadap orang lain karena haknya dilanggar. Kata ini dapat dipakai untuk semua kasus, baik pidana maupun perdata. Orang yang mengajukan gugatan disebut penggugat (mudda‘i), dan yang digugat disebut tergugat (mudda‘a ‘alaih).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa pendakwa wajib mengemukakan bukti mengenai kebenaran dakwaannya. Sementara itu pihak terdakwa juga diberi hak untuk membela diri.
Dalam fikih, dakwaan dibedakan atas dakwaan yang berkaitan dengan hukum pidana (jinayah), dan dakwaan yang berkaitan dengan hukum perdata. Dakwaan dalam kasus pidana,seperti pembunuhan, pencurian, dan perzinaan,dikenal dengan istilah tuduhan.
Pihak yang mengajukan tuduhan disebut penuduh, dan pihak yang menjadi sasaran tuduhan disebut tertuduh. Dakwaan dalam kasus hukum perdata, seperti dakwaan terhadap pemilikan harta dan warisan disebut gugatan.
Pihak yang mengajukan gugatan disebut penggugat dan pihak yang dikenai gugatan disebut tergugat. Seorang hakim baru dapat menyelesaikan kasus yang diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi tuntutan keadilan jika dia mengetahui hakikat tuduhan atau gugatan serta mengetahui hukum Allah SWT mengenai kasus tersebut.
Pengetahuan tentang hakikat tuduhan atau gugatan itu adakalanya didapat dengan menyaksikan sendiri peristiwa yang disengketakan atau dengan menerima keterangan pihak lain yang bersifat mutawatir.
Akan tetapi, karena prinsip ini menimbulkan berbagai macam kesulitan dan menyebabkan terlantarnya sebagian besar hak, fikih menerima dasar ˆanniyyah (persangkaan) sesudah mengambil langkah yang cermat. Pengetahuan hakim mengenai suatu kasus dipandang cukup dengan cara memeriksa bukti yang ada, seperti pengakuan tertuduh, kete rangan saksi yang adil, sumpah, keengganan bersumpah, qarinah (indikasi), dan dokumen resmi.
Dalam kasus pidana yang menyangkut kepentingan umum atau keselamatan negara, tuntutan diajukan penguasa yang berwenang, yaitu jaksa. Tuntutan itu diajukan melalui hakim yang berwenang memeriksa dan mengambil keputusan.
Jaksa dapat menguatkan tuntutannya, seperti dalam tindak pidana pembunuhan, dengan mengemukakan keterangan saksi, memperlihatkan alat yang digunakan, dan keterangan yang diberikan tertuduh sendiri. Jika hakim telah merasa puas atau percaya dengan alat bukti yang dikemukakan jaksa, dia sudah boleh menjatuhkan hukuman yang dianggap pantas terhadap tertuduh itu.
Akan tetapi, dalam kasus perdata, yaitu yang menyangkut hak perseorangan, tuntutan (gugatan) diajukan orang atau pihak yang merasa dirugikan itu kepada tergugat, baik melalui pengadilan maupun tidak.
Fikih juga membedakan pelanggaran terhadap hak manusia (adami) dengan pelanggaran terhadap hak Allah SWT. Yang dimaksud dengan hak Allah SWT dalam kaitannya dengan dakwaan ini adalah pelanggaran atas ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah SWT, seperti perzinaan dan tuduhan berbuat zina terhadap orang mukmin.
Dalam hal ini, wewenang hakim hanyalah melaksanakan ketentuan itu secara tegas. Di antara hak Allah SWT itu ada pula yang dapat dilaksanakan dengan beberapa pertimbangan. Sebagai contoh, maaf yang diberikan keluarga korban yang terbunuh menyebabkan berubahnya hukuman kisas menjadi hukuman diat.
Demikian juga dalam kasus pencurian yang belum sempat diajukan ke pengadilan. Adapun yang dimaksud dengan hak manusia adalah pelanggaran yang dilakukan seseorang terhadap harta milik orang lain, seperti gugatan terhadap pemilikan harta dan pengakuan seseorang sebagai ahli waris. Hakim baru berwenang mengadilinya kalau pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatannya ke pengadilan.
Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar al-‘Urubah, 1964.
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Lu’lu’u wa al-MarjÎn. Kuwait: Wazarah al-Awqaf asy-Syu’un al-Islamiyah, 1977.
Ibnu Rusyd. BidÎyah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Mazkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Zulfikri