Brunei Darussalam adalah sebuah kerajaan Islam di utara Kalimantan; berbatasan dengan Laut Cina Selatan di utara, dan Sarawak (Malaysia) di selatan, barat, dan timur. Setelah merdeka dari Inggris pada 1983, Brunei menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja, yakni negara pengamal nilai tradisi Melayu dan penganut Ahlusunah wal jamaah.
Luas: 5.765 km2. Penduduk: 444.755 (data 2022). Komposisi penduduk: Melayu (67%), asli (6%), Cina (15%), dan lain-lain (12%). Kepadatan: 83/km2. Agama resmi: Islam (67%). Bahasa resmi: Melayu. Ibukota: Bandar Seri Begawan. Mata uang: dolar Brunei. Sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan minyak.
Sebagian besar penduduk Brunei Darussalam berdiam di ibukota Bandar Seri Begawan. Kota ini memiliki banyak bangunan bergaya modern, seperti Istana Nurul Iman, tempat kediaman resmi sultan dan kedudukan pemerintahan serta Masjid Omar Ali Syaifuddien, dan Gedung Royal Regalia, tempat menyimpan berbagai tanda kebesaran Kesultanan Brunei.
Namun di kota ini juga masih dapat ditemukan bangunan-bangunan lama yang khas, seperti Kampong Ayer. Ciri khas dari Kampong Ayer adalah rumah kayu di atas air dan kegiatan di atas sampan.
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada 977 melalui jalur timur Asia Tenggara oleh para pedagang dari negeri Cina. Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406–1408).
Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam, Malaka, jatuh ke tangan Portugis (1511) sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei.
Kemajuan dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balabac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan utara Pulau Palawan sampai ke Manila.
Pada masa Sultan Hassan (sultan ke-9), dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan:
1) menyusun institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan;
2) menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, di samping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja;
3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian.
Pada 1888–1983 Brunei berada di bawah penguasaan Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada 31 Desember 1983. Setelah merdeka, Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja.
“Melayu” diartikan dengan negara Melayu yang mengamalkan nilai tradisi atau kebudayaan Melayu yang memiliki unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermazhab Ahlusunah wal jamaah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Beraja” adalah sistem tradisi Melayu yang telah lama ada.
Seiring dengan peningkatan ekspor minyak Brunei yang dimulai sejak 1930, Omar Ali Syaifuddien (sultan ke-28) menerapkan sistem kesejahteraan sosial yang ekstensif dan mempromosikan Islam dalam mengatasi penderitaan rakyatnya yang miskin.
Ia membangun sebuah masjid termegah di Asia Tenggara, yakni Masjid Omar Ali Syaifuddien, di Bandar Seri Begawan. Ia juga mengembangkan Departemen Agama yang dibentuk pada 1954, dan memberikan subsidi untuk pelaksanaan ibadah haji.
Brunei merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan sultan ke-29, yaitu Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan sultan adalah “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara”. Gelar Mu’izzaddin Waddaulah (Penata Agama dan Negara) menunjukkan ciri Islam yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah. Hassanal Bolkiah sebagai sultan yang memegang kepala negara sekaligus pemerintahan masih berkuasa hingga saat ini.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintahan, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasihati sultan dalam masalah agama Islam.
Langkah lain yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu dibentuk Jabatan Hal Ehwal Agama yang bertugas menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas.
Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada 16 September 1985 didirikan Pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan kepada para pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam.
Di Brunei, orang cacat dan anak yatim piatu menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi) dan pelayanan kesehatan, diberikan cuma-cuma. Kiprah Brunei Darussalam dalam dunia internasional adalah mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Kerjasama Islam, ASEAN, dan PBB.
Daftar Pustaka:
Ahmad, Jawawi Haji. “Brunei Darussalam dalam Konteks Dunia Melayu,” Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991.
Hughes-Hallett, H.R.M.C.S. “A Sketch of the History of Brunei.” JMBRAS, Vol. XVIII, Part II, 1940.
Mansurnoor, Iik Arifin, “Brunei sebagai Sebuah Pusat Jaringan (Network) Intelektual Islam di Asia Tenggara,” Sumbangsih UBD: Essays on Brunei Darussalam. Bandar Seri Begawan: Academy of Brunei Studies, 148–163, 1992.
–––––––. “Historiography and Religious Reform in Brunei During the Period 1912–1959,” Studia Islamika, Vol. 2, No. 3, 1995.
Md. Zain Sefudin, Pehin Dato. Brunei Darussalam: Persepsi Sejarah dan Masyarakatnya. Bandar Seri Begawan: Azza, 1992.
Mohd. Jamil as-Sufri, Pehin Dato Hj. Liku-Liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam. Bandar Seri Begawan: Brunei History Centre, 1992.
https://www.worldometers.info/world-population/brunei-darussalam-population/, diakses pada 30 Maret 2022.
Zulfikri
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)