Berkah

(Ar.: al-barakah)

Dalam Islam, pengertian kata “berkah” tidak pernah terlepas dari gagasan “kebajikan atau kebaikan”. Banyak sekali doa dalam Islam yang dipanjatkan ke hadirat Allah SWT untuk memohonkan keberkahan.

Kata “berkah” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab barakah, fi‘l madhi-nya baraka. Menurut Abu Muslim al-Asfahani (mufasir dari golongan Muktazilah), baraka memiliki pengertian al-luzum (kelaziman atau kebiasaan) dan as-subut (tetap atau konsisten). Senada dengan al-Asfahani, Lewis Ma’luf, pengarang al-Munjud, berpendapat bahwa baraka secara etimologis berarti “menetap di suatu tempat”.

Dari sini kemudian lahir kata al-birkah, “tempat penampungan air”. Air yang berkumpul di suatu tempat (danau, telaga, dan sebagainya) dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Ide dasar “manfaat air yang menetap” ini diambil alih oleh Al-Qur’an untuk menyebut kebaikan yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Al-Qur’an menggunakan kata baraka beserta seluruh derivasinya (tasrifnya: baraka, yubariku, mubrakah, mubarik, mubarak, barik) sebanyak 31 kali. Dari pengertian “kelaziman dan ketetapan”, kata baraka mengalami qur’anisasi atau islamisasi yang diberi arti baru dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat ilahiah atau transendental, yaitu “tetap dalam kebaikan yang diberikan Tuhan”, atau “terus-menerus dalam kebaikan Tuhan” (subut al-khair al-Ilahi). Inilah konsep berkah, yakni­ kebaikan yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya.

Al-Qur’an menyebut dirinya sen­diri sebagai kitab yang penuh dengan berkah, “Haza zikrun mubarakun anzalnahu” (Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab [peringatan]­ yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan; QS.21:50) atau “Wa hadza kitabun anzalnahu mubarakun …” (Dan ini [Al-Qur’an] adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi …; QS.6:92). Ini berarti bahwa hanya dengan cara berpegang teguh pada ayat-ayat Al-Qur’an Allah SWT, manusia akan mendapatkan kebaikan dalam kehidupan mereka.

Ketika menjelaskan makna “berkah dari langit” sebagai balasan bagi penduduk kota yang beriman dan bertakwa, Syekh Mustafa al-Maraghi (ulama dan guru besar tafsir Universitas al-Azhar; 1881–1945) berkata bahwa berkah pada ayat Al-Qur’an itu berarti “pengetahuan yang diberikan Tuhan, yang dapat membimbing manusia ke jalan yang baik dan benar” atau “hujan dan semacamnya yang menyebabkan tanah menjadi subur”. Di “tanah” seperti itulah berbagai tanaman dapat tumbuh dengan mudah sehingga mendatangkan kesuburan bagi manusia.

Dalam ayat lain, Al-Qur’an menggunakan kata “pohon zaitun yang penuh berkah” (QS.24:35) untuk mengibaratkan pentingnya petunjuk Allah bagi manusia. Dalam kehidupan masyarakat Arab, pohon zaitun memiliki kedudukan penting. Di samping itu, pohon zaitun, yang hanya tumbuh di daerah perbukitan, tempat ia mendapatkan sinar matahari secara baik, dapat menghasilkan minyak (zaitun) yang sangat berguna bagi kesehatan.

Demikian pula halnya dengan Al-Qur’an, yang memiliki kedudukan sangat penting untuk kehidupan manusia karena merupakan petunjuk Tuhan. Orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupannya akan diliputi keberkahan. Sama halnya, orang yang mengonsumsi minyak zaitun akan sehat.

Konsep berkah pada perkembangan selanjutnya mengalami proses mistifikasi. Berkah tidak hanya berupa rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia; orang yang memiliki kedekatan tertentu dengan Tuhan pun memiliki keberkahan.

Orang yang dekat dengan Tuhan dapat memberikan keberkahan kepada orang lain lagi. Dengan demikian keberkahan bagaikan sinar, dapat ditularkan kepada orang lain, kemudian ditularkan lagi kepada orang lain, dan seterusnya hingga membentuk mata rantai yang tidak pernah putus.

Para syekh, mursyid, guru, dan kiai memberikan keberkahan kepada muridnya. Murid kemudian memberikan keberkahan tersebut kepada muridnya lagi, dan seterusnya. Di pesantren tradisional di Indonesia praktek seperti ini umum terjadi. Seorang santri memohon berkah kepada kiai agar ilmunya bermanfaat.

Santri yang mengkaji kitab tertentu pada seorang kiai tidak hanya didorong oleh keinginan untuk mengetahui isi kitab tersebut (kuriositas), tetapi juga karena ingin mengambil berkah dari kiai tersebut. Seorang santri yang nyantren pada kiai tertentu tidak hanya mengaji, tapi juga mengambil berkah dari kiai tersebut. Praktek ini sering kali disebut ngalap berkah (mengambil berkah).

Konsep berkah, seperti yang dipraktekkan kalangan mistik Islam atau kelompok Islam yang praktek keislamannya sangat dipengaruhi ajaran mistik, memiliki pengertian yang sangat luas.

Ketika memohon berkah dari gurunya, seorang murid bermaksud agar ilmu yang diberikan guru tersebut senantiasa memberi pemahaman kepadanya dan dapat menjaga kesinambungan ilmu tersebut dengan mengajarkannya kepada generasi selanjutnya, begitu seterusnya sampai akhir zaman.

Sementara itu, murid yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dari gurunya atau tidak menjaga kesinambungan ilmu tersebut tidak akan mendapatkan keberkahan gurunya. Ia dianggap telah memutuskan rantai keberkahan.

Di kalangan kejawen, konsep seperti itu dikenal dengan nama “restu”. Restu berarti dukungan spiritual yang diberikan seorang yang lebih tinggi kedudukannya kepada seorang yang lebih rendah. Raja memberi restu kepada abdi dalem yang telah memberikan bakti kepadanya. Raja dipercaya memiliki kekuatan spiritual karena ia merupakan representasi kekuatan supernatural di bumi ini.

Keberkahan tidak berhenti ketika seseorang meninggal. Meskipun sudah meninggal, kekuatan spiritual yang dimiliki orang yang dekat dengan Tuhan masih memancar dan bisa didapatkan oleh orang yang masih hidup. Kepercayaan ini menumbuhkan tradisi “ziarah” dalam Islam. Praktek ziarah tidak hanya mengingatkan orang akan kematian, namun juga cara untuk mendapatkan keberkahan dari orang meninggal tersebut.

Ziarah merupakan fenomena penting untuk melihat sejauh mana masyarakat memahami konsep berkah. Di negara muslim, termasuk Indonesia, ziarah merupakan praktek keislaman yang penting. Sejumlah makam di Jawa, terutama makam wali, merupakan tempat ziarah yang sering dikunjungi masyarakat.

Orang yang datang ke sana memiliki niat dan tujuan yang berbeda-beda, mulai dari mendoakan orang yang sudah meninggal sampai meminta agar orang yang sudah meninggal mendoakan mereka.

Praktek ziarah seperti ini, di samping tidak dapat dilepaskan dari konsep berkah yang dipengaruhi mistik Islam, juga telah bercampur dengan kepercayaan setempat yang sering kali disebut “Islam populer”. Di beberapa tempat, ziarah diikuti dengan tirakat, tapa, ngelmu, dan sebagainya yang berasal dari praktek mistik setempat.

Sejumlah kalangan Islam menolak konsep berkah dan ziarah seperti yang sering ditemukan dalam masyarakat. Bagi mereka, manusia tidak dapat memberikan berkah kepada manusia lain karena pemberi berkah satu-satunya adalah Tuhan.

Dalam bukunya, Kitab at-Tauhid, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri paham Wahabi) menjelaskan bahwa konsep berkah dan praktek ziarah yang terjadi di masyarakat berasal dari tradisi Jahiliah yang menggantungkan harapan mereka kepada dewanya.

Daftar Pustaka

al-Ghazali, Muhammad. Minhaj al-‘Abidin. t.tp.: Syirkah Nur Asia, t.t.

al-Khaubawi, Uthman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir. Durrat an-Nashihin fi al-Wa’zhi wa al-Irsyad. t.tp.: t.p., t.t.

al-Makki, Sayid Bakri. Kifayah al-Atqiya’ ila Thariq al-Auliya’. Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Dahlan wa Awladuhu, t.t.

al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Majmu‘ah at-Tauhid. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

Ahmadie Thaha