Secara kebahasaan, basth berarti pemanjangan atau pengembangan. Dalam istilah tasawuf berarti “suasana pengembangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani karena adanya perasaan penuh harap akan datangnya rahmat dan jauhnya murka Tuhan”.
Bast merupakan kebalikan dari qabdh (penciutan atau penyusutan), yaitu keadaan rohani yang mengalami ketakutan akan datangnya murka dari Tuhan. Di dalam Al-Qur’an terdapat 25 kali kata basth dan derivasinya, sedangkan kata qabdh dan derivasinya terulang 9 kali. Yang sering dijadikan rujukan dalam literatur para sufi adalah surah al-Baqarah
(2) ayat 245 yang berarti: “…Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu dikembalikan.” Ayat ini mengandung kata qabdh dan basth sekaligus.
Dalam pandangan sufi, rasa harap dan rasa takut kepada Tuhan harus dialami sekaligus dalam waktu yang sama.
Basth dan qabdh selalu disebut secara berpasangan. Keduanya merupakan suasana batin yang dialami seorang sufi setelah ia lama mengalami perasaan raja’ (harap) dan khauf (takut). Basth merupakan tingkat lanjutan dari raja’, sedangkan qabdh tingkat lanjutan dari khauf. Oleh karena itu, seperti juga raja’ dan khauf, basth dan qabdh berada pada posisi hal (keadaan, suasana batin yang dialami seorang sufi)j dalam proses penyatuan aspek ketuhanan manusia (lahut) dengan aspek kemanusiaan (nasut) Tuhan.
Keterkaitan antara keempat suasana batin sufi tersebut dapat dilihat sebagai berikut. Raja’ merupakan suasana batin yang mengharap atau berangan-angan untuk dicintai dan jauh dari murka Tuhan di alam akhirat. Khauf adalah suasana batin yang meliputi rasa takut akan hilangnya kecintaan dari Tuhan dan datangnya murka Tuhan di alam akhirat.
Bast merupakan kegembiraan yang diharapkan dari kecintaan dan jauhnya murka Tuhan. Adapun qabdh merupakan suasana batin berupa rasa cemas akan hilangnya kecintaan dan datangnya murka Tuhan pada masa sekarang.
Seorang yang sudah atau sedang mengalami suasana basth tidak mempunyai rasa cemas dan takut dalam menghadapi suasana apa pun, baik menyenangkan atau menyedihkan, karena hatinya penuh diliputi rasa senang. Adapun suasana qabdh membuat seseorang selalu berhati-hati dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhannya, karena khawatir kesenangan dan kesedihan yang ada merupakan bagian dari murka Tuhan.
Al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah, menggambarkan seseorang dalam keadaan basth. Ia mendengar kisah dari Abu Ali ad-Daqqaq (sufi dari Irak, hidup pada abad ke-9) sebagai berikut. Sekelompok orang datang ke rumah Abu Bakar al-Qahti (seorang guru sufi, hidup pada abad ke-9) untuk melaporkan bahwa anak al-Qahti tenggelam.
Namun al-Qahti tampak tidak peduli dan tidak terpengaruh oleh kejadian yang menimpa anaknya itu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka heran dan berkata, “Kami telah melihat seorang manusia yang tidak goyah oleh guncangan gunung.” Al-Qahti berkata, “Aku telah bebas dari segala rasa kasihan dan dari segala peristiwa apa pun yang menyedihkan, karena aku telah merasakan kecintaan-Nya dan kedekatan kepada-Nya.”
Cara yang paling dekat untuk mendatangkan suasana qabdh pada hati adalah dengan melakukan wirid yang mengarah pada perendahan, pencelaan, dan peneguran kepada diri sendiri atau dengan tindakan yang mengarah pada penghukuman diri sendiri. Menghadirkan suasana basth dapat dilakukan dengan cara wirid tertentu yang mendekatan diri dengan Tuhan.
Setiap kali datang suasana qabdh dalam hati seseorang, ia menghendaki bast. Sebaliknya, jika dalam hati timbul suasana bast, ia menghendaki qabdh. Oleh sebab itu, ungkapan wirid yang dibaca mencerminkan usaha ke arah datangnya dua hal yang berpasangan tersebut, misalnya: “Ilahi lastu li al-firdausi ahla, wa la aqwa ‘ala an-nar al-jahim. Fa habli taubatan wa igfir dzunubi, fa innaka gafiru dzanbi al-‘adzim (Ya Tuhanku, aku ini bukanlah orang yang patut menjadi ahli surga, tetapi aku pun tidak tahan menghadapi panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku, karena Engkau Maha Pemberi Ampun atas dosa-dosa besarku).” Kalimat pertama di atas untuk qabdh dan kalimat kedua untuk bast.
Gambaran tersebut menunjukkan adanya usaha sufi untuk mendatangkan dalam waktu yang sama suasana basth dan qabdh. Akan tetapi, terkadang keduanya datang dengan sendirinya ke dalam hati sufi tanpa disadari dan diusahakan secara khusus. Ia bagai anugerah yang diberikan Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 245. Bast dan qabdh yang merupakan kelanjutan dari raja’ dan khauf di kalangan sufi merupakan cara untuk meminta perlindungan Tuhan. Ini misalnya diungkapkan al-Junaid al-Baghdadi (tokoh sufi, w. 298 H/911 M) sebagai berikut:
“Takut (khauf) kepada Allah membuatku qabdh, dan harap (raja’) kepada-Nya membuat aku bast. Dengan al-Haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan (eksistensi kemanusiaan)-ku. Jika Dia membuatku qabdh dan khauf, Dia menghancurkan (eksistensi kemanusiaan)-ku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan (eksistensi kemanusiaan)-ku.
Jika Dia mengumpulkanku dengan al-Haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-Haqq (Zat Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam keadaan gelap gulita, tidak sadar diri. Ketika itu Dialah Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih.
Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.”
Ungkapan al-Junaid ini menunjukkan bahwa kedua Hal tersebut berada bersamaan dengan maqam tingkat atas, yaitu fana dan baka. Pada saat itu seorang sufi mengalami hulul dan ittihad.
Daftar Pustaka