Secara kebahasaan, bara’ah berarti “bebas”, “lepas”, atau “bersih”. Bara’ah adalah nama sebuah surah dalam Al-Qur’an dan nama hukum dasar dalam kajian fikih. Dalam fikih Islam istilah bara’ah berarti bebas dari tanggungan/ikatan, yang disebut juga kebebasan dasar.
Surah ke-9 dalam Al-Qur’an, yakni surah at-Taubah, dinamakan juga surah Al-bara’ah. Di dalamnya banyak terdapat pembicaraan tentang pemutusan perjanjian damai yang dibuat kaum muslim dan kaum musyrik. Pernyataan pelepasan diri (bara’ah) itu, antara lain, terdapat pada ayat pertama dan ketiga yang berarti: “(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan daripada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).”
“Dan (inilah) suatu pemakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik….”
Di dalam asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat) dijelaskan bahwa pada tahun ke-6 H/628 M dibuat perjanjian perdamaian antara Nabi Muhammad SAW dan kaum musyrik yang berlaku selama 10 tahun. Isi perjanjian itu membolehkan kaum muslim melaksanakan ibadah haji ke Mekah dan melakukan tawaf (berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam).
Namun, perjanjian itu dilanggar kaum musyrik. Oleh karena itu, turun ayat di atas untuk menyatakan bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW berlepas diri dari perbuatan terkutuk kaum musyrik dan membatalkan perjanjian dengan mereka.
Bara’ah dalam fikih Islam berarti bebas dari tanggungan/ikatan. Hal ini tertuang dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya bebas dari tanggungan/ikatan (al-asl bara’ah adz-dzimmah), yang disebut juga kebebasan dasar (bara’ah asliyyah). Atas dasar itu, seseorang bebas dari taklif syarak (hukum Islam) sehingga terdapat dalil yang mentaklifkan.
Misalnya, seorang anak bebas dari taklif sampai ia mencapai usia balig; seseorang yang tidak mengetahui sesuatu tidak dibebani tanggung jawab terhadap apa yang tidak diketahuinya sampai ia mengetahui hal itu; tidak ada hak dan tanggung jawab antara seorang pria dan seorang wanita sampai keduanya diikat dengan tali perkawinan; dan anak yang ditemukan pada suatu tempat dihukum bebas sebagai orang merdeka, bukan budak, sampai ada orang lain yang mendakwanya sebagai budak.
Pada dasarnya, kaidah hukum yang menyangkut bara’ah di atas merupakan cabang dari kaidah umum fikih al-yaqin la yazul bi asy-syakk (keyakinan itu tidak dapat dihilangkan oleh keraguan). Kaidah ini menjadi patokan bahwa segala sesuatu yang diketahui secara pasti tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan.
Bara’ah ditempatkan ulama fikih sebagai sesuatu yang diketahui secara pasti. Karena itu, bara’ah ditempatkan sebagai hukum asal dan akan berlaku sebagaimana adanya selama belum ada dalil (bukti) lain yang pasti.
Sebagai hukum asal, bara’ah merupakan salah satu bentuk dari istishab. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah (ahli usul fikih, fikih, dan kalam), istishab dalam bentuk ini hampir disepakati segenap ulama sebagai dalil hukum. Namun, mereka berbeda ketika menerapkannya dalam furuk.
Sesuatu dapat disebut sebagai bara’ah apabila mempunyai dua syarat.
(1) Sesuatu itu merupakan asl (pokok), bukan far‘ (cabang), dalam ketetapannya sebagai hukum. Misalnya, jika terjadi perselisihan antara pemilik modal dan pekerja dalam suatu perserikatan patungan, yang dipandang sebagai asl (pokok) ialah pemilik modal, sedangkan pekerja dipandang far‘ (cabang). Pemilik modal bebas dari tanggung jawab, sedangkan pekerja harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya.
(2) Sesuatu itu harus zahir (nyata, jelas). Kejelasan itu terdiri atas dua bentuk. Pertama, tidak sampai ke peringkat yakin. Misalnya, seorang wanita menikah dengan seorang pria yang lemah syahwat dan kemudian wanita itu menuntut untuk berpisah karena keadaan suaminya tersebut, tetapi suami mengatakan sebaliknya.
Dalam hal ini, perkataan wanita tersebut dipandang sebagai dasar, sekalipun kejelasannya tidak sampai ke peringkat yakin, karena dialah yang tahu apakah keperawanannya masih ada atau tidak. Kedua, sampai ke peringkat yakin. Misalnya, dua orang yang berebut sesuatu benda. Pemegang benda itu dipandang sebagai asal dan dia akan tetap dipandang sebagai pemilik selama belum ada bukti yang membatalkan pemilikannya itu.
Sebagai asas kehidupan individual dan sosial dalam Islam, bara’ah merupakan milik manusia yang paling fundamental. Di atas bara’ah dibangun hukum yang menimbulkan kewajiban dan hak. Namun, kewajiban dan hak itu sendiri tidak terlepas dari ahliyyah (kemampuan) manusia. Anak-anak, orang gila, dan orang yang dalam keadaan mabuk, misalnya, bebas dari tanggung jawab karena ketidakmampuannya melaksanakan kewajiban tersebut.
Pada dasarnya, manusia dengan bara’ah ahliyyahnya adalah makhluk merdeka. Akan tetapi, kemerdekaannya itu dibatasi ketentuan yang terdapat dalam wahyu, yang melahirkan hak dan kewajiban. Pembatasan kebebasan itu sendiri akan membawa manusia kepada kemaslahatan hidupnya yang sesuai dengan tabiat dan kepribadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Ibnu Kasir, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Hadisah, 1384 H/1964 M.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
as-Sabuni, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1981.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi Taubih al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1968.
Yunasril Ali