Secara kebahasaan, al-bakhil berarti kikir (pelit) dan loba (tamak). Naquib al-Attas (sejarawan, filsuf, dan seniman Malaysia) mengemukakan arti bakhil dengan mengutip pendapat al-Jahiz (teolog, ilmuwan, dan sastrawan Basrah). Pada dasarnya bakhil adalah sifat manusia dewasa yang waras dan kaya. Anak, orang gila, dan orang miskin tidak dapat disebut bakhil.
Ungkapan bakhil pada dasarnya muncul ketika membicarakan masalah harta dan kekayaan. Orang bakhil adalah orang yang tidak mau memberi dan menyisihkan sebagian harta miliknya untuk orang lain. Ia termasuk orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah.
Sifat bakhil tertanam dalam diri seseorang dan membuatnya tidak memiliki rasa kepedulian sosial. Bahkan karena kekikirannya, ia berkeyakinan bahwa harta yang dimilikinya itu adalah miliknya sendiri yang diperoleh melalui usahanya sendiri.
Ia lupa bahwa di dalamnya terdapat harta orang lain yang harus dikembalikan kepada yang berhak, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat (51) ayat 19 yang berarti: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Istilah bakhil juga digunakan pada hal yang berkaitan dengan non-materi, seperti tidak mau mengucapkan salam kepada orang lain. Hal ini dikatakan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya:“Orang yang paling bakhil adalah orang yang tidak mau mengucapkan salam” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Kata al-bakhil sebagai kata sifat tidak digunakan dalam Al-Qur’an. Yang digunakan hanya bentuk madi (kata kerja masa lampau), seperti bakhila dalam surah al-Lail (92) ayat 8 dan bakhilu dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 180; bentuk mudari‘ (kata kerja masa sekarang), seperti yabkhalu dalam surah Muhammad (47) ayat 38 dan yabkhalun dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 180; dan bentuk masdar, seperti al-bukhl dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 37.
Dalam Al-Qur’an digunakan pula kata asy-syuhh yang pengertiannya sepadan dengan kata bakhil. Kata asy-syuhh digunakan di tiga tempat, yaitu dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 128, surah al-hasyr (59) ayat 9, dan surah at-Tagabun (64) ayat 16.
Ayat tersebut di atas menggambarkan kejelekan orang kikir dan ancaman yang ditujukan kepada mereka di akhirat nanti. Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 36 dan 37 Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”
Demikian juga dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 180 Allah SWT berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.”
Hadis Rasulullah SAW banyak pula menjelaskan keadaan orang bakhil ini. Dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi, Rasulullah SAW memberi gambaran bahwa seorang jahil (orang kafir) yang murah hati lebih disukai Allah SWT daripada seorang ‘Abid (yang tekun beribadah) yang bakhil. Rasulullah SAW juga memberi gambaran bahwa orang bakhil termasuk kelompok yang tidak dimasukkan ke dalam surga, bahkan mereka itu jauh dari Allah SWT, surga, dan manusia (HR. Ahmad bin Hanbal dan at-Tirmizi).
Bakhil merupakan salah satu penyakit batin yang amat besar bahayanya dan termasuk dalam kategori akhlak yang tidak terpuji (akhlaq madzmumah). Sifat bakhil yang telah tertanam dalam jiwa seorang mukmin juga dapat menimbulkan beberapa sifat jelek lainnya, seperti hilangnya rasa persaudaraan antara sesama manusia, rasa kepedulian terhadap penderitaan orang lain, rasa kegotong-royongan (ta‘awun), dan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia.
Oleh karena itu, sifat bakhil itu harus dijauhi. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim yang berarti: “Jauhkanlah dirimu dari sifat bakhil. Sifat bakhil itu telah menyebabkan kaum-kaum sebelum kamu terjerumus ke dalam pertumpahan darah, membawa mereka menghalalkan yang diharamkan kepada mereka, dan menyebabkan mereka memutuskan hubungan silaturahmi.”
Sifat itu seharusnya tidak boleh ada dalam diri seorang mukmin. Keadaan demikian telah digambarkan Rasulullah SAW, “Ada dua sifat jelek yang tidak boleh berkumpul dalam jiwa seorang mukmin, yaitu bakhil dan berakhlak jelek” (HR. at-Tirmizi).
Untuk menghindarkan diri dari sifat bakhil ini, Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT agar dijauhkan dari sifat jelek tersebut, termasuk sifat bakhil. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ahmad bin Hanbal, Rasulullah SAW berdoa: Allahumma inni a‘udzu bika min al-kasal wa al-haram wa al-jubun wa al-bukhl, wa fitnah al-Masih, wa ‘adzab al-qabr (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari sifat malas, pikun, lemah hati, bakhil, fitnah al-Masih, dan siksa kubur).
Daftar Pustaka
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Mizan, 1987.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
at-Tirmizi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah. Sunan at-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Thib Raya