Lembaga yang mengurus keuangan negara dalam pemerintahan Islam disebut baitulmal. Baitulmal sudah ada sejak masa Nabi SAW, tetapi belum melembaga. Uang dan harta yang terkumpul langsung dibagikan Nabi SAW kepada pos-pos yang ditetapkannya. Baitulmal baru melembaga pada masa Khalifah Umar bin Khattab karena Islam telah menguasai daerah baru.
Pada masa kekalifahan Abu Bakar as-Siddiq, kegiatan baitulmal masih tetap seperti pada masa Nabi Muhammad SAW. Pada tahap awal Abu Bakar menjadi khalifah, dia memberikan sepuluh dirham kepada setiap orang. Pada tahap kedua masa kekuasaannya, dia menambahkan sepuluh lagi sehingga menjadi dua puluh dirham untuk perseorangan.
Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, baitulmal sebagai suatu lembaga didirikan atas usulan yang diajukan Walid bin Hisyam (ahli fikih, wafat tahun 25 H/646 M), walaupun tindakan Umar tersebut dikritik keras oleh Ali bin Abi Thalib. Umar mengangkat Abdullah bin Arqam sebagai pejabat tinggi baitulmal.
Selain itu, dia juga mengangkat Abdurrahman bin Ubaydi al-Qari dan Mu’ayqib sebagai pembantunya. Perbendaharaan sederhana juga didirikan di Madinah dan seluruh pusat pemerintahan di semua wilayah. Para penjaga dikirim ke sana. Setiap wilayah memiliki pejabat perbendaharaan masing-masing dan mereka bebas dari kontrol gubernur.
Ketika timbul suatu perkelahian di antara Sa‘d bin Abi Waqqas, gubernur Kufah yang kuat tetapi pemboros, dan Ibnu Mas‘ud, pejabat perbendaharaan, Sa‘d bin Abi Waqqas-lah yang dipecat oleh Usman bin Affan.
Pada masa Abbasiyah, pemerintah memberi perhatian besar terhadap bidang perpajakan dan administrasi keadilan sosial. Kantor pajak (diwan al-kharaj) atau departemen keuangan ditetapkan seperti keadaannya pada masa pemerintahan Bani Umayah. Orang yang mengepalai urusan perpajakan menjadi orang terpenting dalam pemerintahan Abbasiyah.
Cara pengumpulan dan pembagian uang negara sangat tergantung pada kepala baitulmal, karena dialah yang mengawasi para pejabat yang menangani berbagai kategori pajak. Para pejabat baitulmal masa itu harus memiliki syarat berikut: merdeka, muslim, berakhlak baik, jujur, dan mampu bekerja.
Mereka juga harus mampu berijtihad, karena mereka menangani pajak yang meliputi kebebasan menentukan taksiran atau pengeluaran uang. Selain itu, agen-agen kecil yang kerjanya mengumpulkan atau menyampaikan pajak dapat saja seorang budak atau Dzimmi dari golongan yang seagama dengan mereka.
Catatan dan laporan perbendaharaan ini harus ditangani oleh bagian administrasi departemen khusus yang berada di bawah kontrol sekretaris negara (katib ad-diwan).
Tidak semua sumber uang negara itu menjadi milik baitulmal. Kekayaan baitulmal yang terbesar berasal dari uang pajak tanah yang dimiliki seluruh masyarakat dengan penggunaan yang sangat tergantung pada petunjuk imam atau para wakilnya. Yang masuk ke kas baitulmal adalah seperlima (khumus) dari ganimah dan pajak hasil tambang serta harta temuan.
Bagian inilah yang dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat Islam seluruhnya. Adapun empat perlimanya dipergunakan untuk golongan yang telah ditentukan, seperti keluarga Nabi Muhammad SAW, anak yatim, fakir miskin, dan para musafir. Dengan demikian, bagian uang terakhir tersebut tidak berada di bawah pengawasan imam.
Selain itu, masih terdapat tiga sumber lagi harta yang masuk ke baitulmal, yaitu: (1) harta yang tidak ada pemiliknya, seperti kekayaan seorang budak yang lari, dan harta yang ditemukan dari perampok yang tertangkap; (2) harta dari orang murtad; (3) tanah milik atau perkebunan yang mati pemiliknya dan tidak ada orang yang akan mewarisinya.
Adapun penggunaan uang baitulmal itu dibagi dua, yaitu (1) untuk membiayai tugas negara, seperti gaji tentara, para pejabat negara, dan memelihara penjara; (2) untuk membuat jalan umum, penyediaan air minum, dan memperbaiki kerusakan tanah kharaj (tanah rampasan perang).
Setelah semua keperluan negara terpenuhi, fukaha (ahli fikih) Hanafiyah mengatakan bahwa sisa uang harus disimpan untuk keperluan pada masa yang akan datang. Adapun fukaha Syafi‘i mengatakan sisanya itu harus segera dihabiskan untuk kepentingan umum.
Daftar Pustaka
First Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1987.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Litera AntarNusa, 1990.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Husaini, S.A.Q. Arab Administration. New Delhi: New Delhi-6, 1976.
Khudary, Muhammad Beyk. Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah: ad-Daulah al-‘Abbasiyyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Rosenthal, Erwin J. Islam in Modern National State. London: Cambridge University Press, 1965.
Syalabi, Ahmad. Sedjarah dan Kebudajaan Islam, jilid II, terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Hanif. Jakarta: Jaya Murni, 1971.
Miftah Adebayo Uthman