Salah satu persoalan mendasar filsafat agama dan teologi yang terus menjadi bahan perdebatan adalah masalah “baik dan buruk”. Ini bisa dilihat pada dua hal yang saling berkaitan, yakni baik dan buruk pada perbuatan Tuhan (Khaliq) dan manusia (makhluq).
Kalau teisme menghadapi persoalan kejahatan, maka ateisme menghadapi persoalan kebaikan. Salah satu persoalan teisme adalah mengapa kejahatan ada, padahal Tuhan adalah Maha Pencipta, Mahakuasa, dan sumber kebaikan.
Ini memberi kesan bahwa timbul pertentangan dalam diri Tuhan sebagai sumber kebaikan tetapi juga kejahatan. Kenyataan tersebut tidak benar secara logika. Sebaliknya, ateisme menghadapi persoalan kebaikan; mengapa kebaikan ada, padahal pencipta tidak ada.
Selanjutnya, ateisme merumuskan argumentasi penolakannya atas Tuhan, yaitu jika Tuhan Mahabaik, tentu dia akan membasmi kejahatan. Tetapi kejahatan belum terhapus. Karena itu, Tuhan lemah dan tidak sesuai dengan predikat Mahakuasa, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Ada empat argumen besar untuk menjawab persoalan ini. Pertama, kekuasaan mutlak Tuhan harus bersyarat. Tuhan tidak berkuasa menciptakan sesuatu yang bertentangan dalam dirinya. Pendapat semacam ini pernah dilontarkan Muktazilah dalam teologi Islam. Tuhan terbatas oleh sifat keadilan dan hukum alam yang telah dibuat-Nya sendiri. Kejahatan tidak berasal dari Tuhan, tetapi dari hukum alam itu sendiri. Kejahatan manusia juga berasal dari manusia yang sudah diberi akal untuk memilih yang baik dan terbaik.
Kedua, kejahatan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebaikan yang lebih tinggi. Misalnya, seseorang tidak bisa merasakan nikmatnya sehat kalau tidak pernah sakit, dan seterusnya.
Ketiga, setiap kejahatan adalah kutukan bagi manusia yang berdosa. Kalau diteliti dalam Al-Qu’ran, musibah yang menimpa kaum Ad, Samud, dan Luth berkorelasi dengan perbuatan buruk mereka. Keempat, keyakinan tentang segala sesuatu yang terjadi tidak terlepas dari hikmah Tuhan.
Pendapat yang keempat dekat dengan aliran Asy‘ariyah yang mengibaratkan perbuatan Tuhan seperti tukang kebun dengan kebunnya. Di dalam kebun ada beraneka bunga dan pohon, serta jenis rumput. Tukang kebun selalu menggunting rumput, tidak memotong pohon, dan begitu juga bunga.
Dipandang dari aspek rumput saja, tukang kebun tampaknya jahat dan tidak adil. Tetapi dilihat secara keseluruhan, katakanlah dari aspek keindahan seluruh kebun, maka rumput sebaiknya dipotong dan dirapikan.
Dalam ilmu kalam (teologi Islam), baik dan buruk sering dikorelasikan dengan persoalan otoritas akal dan wahyu. Adapun persoalan otoritas akal dan wahyu tersebut berkaitan dalam hal mengetahui baik dan buruk, serta bagaimana kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk (ma‘rifah al-husn wa al-qubh dan wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih) pada manusia.
Kaum Muktazilah berargumentasi bahwa baik dan buruk wajib diketahui melalui akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah kewajiban pula. Pemuka Muktazilah kedua dari cabang Basrah setelah Wasil bin Ata, yaitu Abu Huzail al-Allaf, mengatakan bahwa akal manusia mampu mengetahui yang baik dan yang buruk, dan oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan baik, seperti bersikap adil dan berkata benar, serta wajib menjauhi perbuatan buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim.
Kemampuan akal ini menjadikan manusia bebas untuk memilih dan sekaligus bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Seandainya manusia tidak bebas dan segala sesuatu ditetapkan Tuhan, termasuk perbuatannya, maka kejahatan tentu perbuatan Tuhan juga. Prinsip ini menurut Muktazilah memberikan gambaran negatif kepada Tuhan, sedangkan Tuhan bebas dari segala kekurangan.
Dari aliran Asy‘ariyah, Asy‘ari sendiri tidak sependapat dengan argumen kaum Muktazilah. Menurut pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat pula mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.
Asy‘ari juga berpendapat bahwa baik dan buruk itu ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh akal manusia. Oleh karena itu, baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan apa itu baik dan buruk kepada manusia.
Sementara dari aliran Maturidiyah Bukhara, al-Bazdawi mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk, Tuhanlah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.
Al-Maturidi sendiri berpendirian bahwa akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Pengetahuan ini yang memastikan adanya perintah dan larangan.
Al-Maturidi selanjutnya mengatakan bahwa akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik, dan bersikap tidak adil dan tidak lurus adalah buruk. Karena itu, akal memandang mulia terhadap orang yang adil serta lurus dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tidak adil dan tidak lurus.
Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal (fa yajib al-amr wa an-nahy bi dzarurah al-‘aql).
Al-Maturidi melanjutkan bahwa akal tetap tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Terlihat bahwa yang diwajibkan akal ialah adanya perintah dan larangan, bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Akal hanya dapat mengetahui sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan. Kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu. Pendapat ini diterima pengikutnya di Samarkand. Dalam hal ini, golongan Maturidiyah Samarkand sependapat dengan golongan Bukhara.
Daftar Pustaka
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ammar, Hasan Abu. Akidah Syi’ah Seri Tauhid: Rasionalisme dan Alam Pemikiran Filsafat dalam Islam. Jakarta: Yayasan Mulla Shadra, 2002.
al-Asy‘ari, Abul Hasan Ismail. Aliran Theologi Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos,1997.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Allah dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah. Jakarta: UI-Press, 1987.
_____________. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986.
Amsal Bakhtiar