Baghdad

Ibukota Irak modern, Baghdad, merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah Islam. Baghdad, bagian dari Babilonia Kuno, adalah sebuah situs kuno yang telah dihuni sejak 4.000 SM. Pada masa Khalifah Umar, panglima pasukan Islam, Sa‘d bin Abi Waqqas, berhasil menguasai Baghdad. Hingga kini mayoritas penduduk Baghdad adalah warga Arab muslim.

Baghdad menjadi ibukota Republik Irak sejak tahun 1932 dan merupakan kota terbesar di wilayah negara Irak modern dan salah satu kota terbesar di Timur Tengah. Baghdad juga menjadi pusat kebudayaan, pendidikan, industri, ekonomi dan perdagangan, serta politik dan pemerintahan Republik Irak.

Nama “Baghdad” sudah dikenal sebelum masa Islam. Para penulis modern umumnya cenderung mengakui nama itu berasal dari bahasa Persia, yang berarti “diberikan oleh Allah” atau “pemberian Allah.” Namun ada juga penulis lain yang menyebutnya berasal dari bahasa Arab. Sebuah dokumen dari masa Hammurabi (raja Babilonia, 1792–1750 SM) menyebutnya “Baghdadu”. Ini menunjukkan bahwa nama itu sudah digunakan sebelum Hammurabi. Nama itu tetap digunakan pada zaman Islam.

Sejak tahun 145 H/762 M, yakni zaman Islam klasik, Baghdad menjadi kota penting sebagai ibukota Dinasti Abbasiyah selama lebih kurang 500 tahun. Yakni, sejak pemerintahan Abu Ja‘far al-Mansur (137 H/754 M–159 H/775 M), khalifah kedua, sampai al-Musta‘sim (640 H/1242 M–656 H/1258 M), khalifah terakhir.

Baghdad pada waktu itu merupakan kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, serta peradaban Islam, dan perdagangan terbesar di dunia. Selama berabad-abad, kota Baghdad dapat bertahan terhadap bencana peperangan, kebakaran, dan banjir.

Fisiografi. Kota Baghdad, yang terkenal dalam cerita Seribu Satu Malam, berada di sebuah dataran subur, yakni kawasan pusat pertanian Irak, yang dilalui Sungai Tigris. Letaknya pada 39° LU dan 44° BT, sekitar 40 km di sebelah utara Sungai Eufrat dan sekitar 539 km di sebelah barat laut Teluk Persia. Luasnya 657 km2. Suhu rata-rata udara pada musim panas 39° C dan pada musim dingin 1° C.

Sungai Tigris, yang lembahnya merupakan salah satu pusat kebudayaan tertua umat manusia, membelah kota ini atas dua distrik utama, yaitu Karkh di tepi barat dan Rusafah di tepi timur. Bagian Karkh dan Rusafah mempunyai jalan utama dan pasar yang ramai.

Di pusat Baghdad juga terdapat bank modern, pusat pertokoan,­ dan hotel besar. Daerah pemukiman dan industri meluas ke segala penjuru dari pusat kota. Kota ini juga dilengkapi dengan sarana kesehatan, komunikasi, transportasi, dan pendidikan, serta ratusan bangunan masjid.

Universitas terkenal di kota ini adalah Universitas Baghdad, Universitas al-Hikmah, dan Universitas al-Muntasyiriyah. Museum Irak, yang terletak di tengah kota, menyimpan mata uang dan benda bersejarah dari zaman prasejarah hingga tahun 1600-an.

Penduduk. Penduduk Baghdad sampai Maret 2022 berjumlah sekitar 7.512.000 jiwa, mayoritas Arab muslim. Kaum Yahudi, Armenia, Arab Kristen, Persia, dan Kurdi adalah kelompok minoritas. Bahasa utama adalah bahasa Arab, tetapi kaum Persia dan Kurdi juga menggunakan bahasa mereka sendiri.

Kebanyakan penduduk menempati sebuah rumah yang dihuni paling tidak oleh tiga generasi keluarga. Pada umumnya keluarga golongan ekonomi atas dan menengah membangun rumah batu yang dikelilingi dengan taman dan pagar tinggi. Adapun keluarga ekonomi lemah menempati rumah proyek pemerintah di pinggir kota.

Ekonomi. Baghdad berperan sebagai kota dagang dan industri bagi Irak, terutama industri yang mengolah bulu domba menjadi permadani, wol, hiasan dinding, dan sajadah; industri kulit; industri tekstil; dan industri pengolahan kurma serta jenis makanan lain. Penyulingan minyak bumi juga merupakan kegiatan industri terpenting di kota ini.

Produk lain adalah semen dan rokok. Konstruksi dan perdagangan menyediakan banyak lapangan kerja. Sekitar 70 persen tenaga kerja industri nasional Irak tinggal di Baghdad.

Baghdad juga merupakan pusat jaringan kereta api dan jalan raya yang menghubungkan kota ini dengan kota lain di Irak dan negara tetangganya di sekitar Teluk Persia. Kota Baghdad dihubungkan melalui jaringan kereta api dengan kota lain di utara dan barat laut seperti Mosul dan Kirkuk (kota minyak di Irak Utara), serta Aleppo (di Suriah).

Ke arah tenggara, Baghdad dihubungkan melalui jalan raya dan jalan kereta api dengan kota Basrah, kota penting di Teluk Persia. Kebutuhan bahan bakar kota itu dipasok dari wilayah Mosul dan Kirkuk melalui pipa minyak bawah tanah. Untuk lalu lintas udara terdapat sebuah lapangan terbang internasional.

Sejarah. Baghdad telah dihuni manusia sejak tahun 4.000 SM. Daerah ini merupakan bagian dari Babilonia Kuno. Dari tahun 500 SM hingga 600 M, daerah itu berganti-ganti dikuasai oleh orang Persia, Yunani, dan Romawi. Kemudian, setelah Islam datang, Baghdad dikuasai oleh kaum Arab muslim hingga sekarang.

Irak dikuasai oleh Islam di bawah pimpinan Sa‘d bin Abi Waqqas (sahabat; w. antara 51 H/671 M–58 H/678 M) pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khalifah kedua al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpusat di kota Madinah. Penduduk­nya menerima Islam sebagai agama mereka, sehingga menjadi agama golongan mayoritas.

Sejarah Baghdad sesudah Islam dibagi atas dua periode besar: (1) periode Dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 500 tahun dan (2) periode sejak jatuhnya Dinasti Abbasiyah hingga sekarang.

Periode pertama dimulai sejak Abu Ja‘far al-Mansur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Dialah pendiri kota Baghdad yang sebelumnya hanya sebuah perkampungan kecil. Ia meletakkan batu fondasi pembangunan kota baru itu sebagai ibukota pemerintahannya pada 145 H/762 M.

Pemilihan Baghdad sebagai ibukota Dinasti Abbasiyah yang masih muda itu didasarkan pada pertimbangan faktor politis strategis dan geografis. Al-Mansur tidak memilih Damascus, ibukota Dinasti Umayah, karena di kota itu masih banyak pendukung dinasti yang baru saja digulingkannya itu.

Demikian pula, ia tidak memilih kota Basrah dan Kufah karena di dua kota itu banyak pengikut Ali bin Abi Thalib yang menjadi musuhnya. Lagi pula letaknya jauh dari Persia, padahal inti kekuatan yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah rakyat Persia.

Pemilihan kota Baghdad didahului suatu penelitian. Al-Mansur mengirimkan beberapa ahli, yang kemudian tinggal beberapa hari di lokasi itu dalam musim yang berbeda, untuk mempelajari dan meneliti keadaan tanah, udara, dan lingkungannya. Berdasarkan laporan peneliti itu bahwa letak geografis lokasi Baghdad sangat baik, maka al-Mansur menetapkannya sebagai tempat ibukota pemerintahannya.

Untuk pembangunan Baghdad, al-Mansur mempekerjakan sekitar 100.000 orang ahli bangunan, terdiri dari arsitek, tukang batu, tukang kayu, pemahat, pelukis, dan lain-lain, yang didatangkan dari Suriah, Mosul, Basrah, Kufah, Iran, dan daerah lainnya. Biaya yang dihabiskan untuk pembangunan itu mencapai sekitar 4.883.000 dirham.

Kota Baghdad dibangun berbentuk bundar, sehingga disebut juga “Kota Bundar” (al-Mudawwarah). Di sekelilingnya dibangun dua lapis tembok besar dan tinggi; bagian bawah selebar 50 hasta, dan bagian atas 20 hasta, serta tingginya 90 kaki (27,5 m). Di luar tembok dibangun parit yang dalam, yang berfungsi ganda sebagai saluran air dan benteng pertahanan.

Di tengah kota dibangun istana khalifah yang diberi nama al-Qasr ad-dzahabi (Istana Emas), nama yang melambangkan keindahan dan kemegahannya. Di samping istana dibangun pula sebuah masjid raya yang disebut Masjid Jami al-Mansur.

Dengan luas 100 m x 100 m dan kubah setinggi 130 kaki (40 m), masjid itu dibangun dari batu bata, serta tiangnya dari kayu balok dan besi. Al-Mansur juga membangun tempat pengawal istana, polisi, tempat tinggal keluarganya, pasar, dan tempat berbelanja.

Kota Baghdad mempunyai empat buah gerbang, yaitu Bab al-Kufah di sebelah barat daya, Bab asy-Syam di sebelah barat laut, Bab al-Basrah di sebelah tenggara, dan Bab al-Khurasan di sebelah timur laut, dengan empat jalan utama yang bertitik pusat di tengah kota dan terpencar ke empat penjuru kota.

Jalan-jalan utama itu membentuk titik pusat, yakni istana khalifah. Pada masing-masing gerbang dibangun menara sebagai tempat pengawal yang bertugas mengawasi musuh yang hendak menyerang kota. Di atas setiap pintu gerbang dibangun pula tempat beristirahat yang dihiasi dengan ukiran indah. Khalifah sering menggunakan tempat ini untuk beristirahat.

Sebelum meninggal, al-Mansur membangun pula istana megah dan indah di seberang Sungai Tigris dengan taman yang menyerupai gambaran surga dalam Al-Qur’an. Di sebelah utara dibangunnya istana ketiga yang disebut ar-Rusafah sebagai hadiah kepada putra mahkota, al-Mahdi (775–785).

Ia namai kota yang dibangun­nya itu Madinah as-Salam (Kota Perdamaian), nama yang merujuk kepada Al-Qur’an yang menggambarkan kehidupan surga yang disebut Dar as-Salam (QS.6:127; 10:26); juga disebut Madinah Abu Ja‘far (Kota Abu Ja‘far), Madinah al-Mansur (Kota al-Mansur), Madinah al-Khulafa’ (Kota Para Khalifah), dan Madinah az-Zaura’ (Kota Sumur Dalam).

Khalifah-khalifah sesudah al-Mansur berusaha terus memperindah dan memajukan Baghdad dengan membangun sarana peribadatan, pendidikan dan penelitian, kesehatan, perdagangan, dan sebagainya. Pada tahun 800, Baghdad telah menjadi pusat peradaban, pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam, perdagangan, ekonomi, dan politik, dengan penduduk lebih dari satu juta.

Puncak keemasan kota Baghdad dicapai pada pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786–809) dan Khalifah al-Ma’mun (813–833). Kekayaan kebudayaan dan peradaban Islam di Baghdad mengharumkan nama Islam di dunia pada waktu itu. Dari kota ini memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke berbagai penjuru dunia, karena situasi dan kondisi sangat mendukung melalui kebijaksanaan pemerintahan Abbasiyah.

Dalam bidang pemerintahan, baik bangsa Arab maupun non-Arab yang ada di kota itu memperoleh hak persamaan untuk menduduki jabatan politik. Dengan kebijaksanaan ini, setiap warga Baghdad mempunyai peluang yang sama untuk ikut ambil bagian dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kebijaksanaan ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan sunah yang menyatakan bahwa seluruh bangsa adalah sama. Keutamaan­nya­ terletak pada takwa dan karya nyatanya.

Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, pemerintah menggalakkan pengembangan pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi dengan memberikan kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Kebijaksanaan ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan sunah yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan seruan kepada orang beriman agar menggunakan akal untuk meneliti rahasia ayat Tuhan di langit dan di bumi.

Pemerintah juga mendorong para ulama (sarjana) untuk mendiskusikan masalah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan; serta mendorong gerakan penerjemahan karya ilmiah yang berbahasa Yunani, Persia, Suriah, India, dan Koptik ke dalam bahasa Arab. Ribuan judul buku diambil dari perpustakaan lama, diboyong ke perpustakaan baru di Baghdad. Untuk ini pemerintah menyediakan dana dan fasilitas serta hadiah yang cukup. Gerakan penerjemahan ini berlangsung kurang lebih 100 tahun.

Pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah sendiri. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan sekelompok pengikut tarekat yang duduk berzikir mengelilingi seorang guru). Beberapa masjid di Baghdad pada waktu itu sudah dilengkapi dengan ruang baca atau perpustakaan.

Lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah, yang disebut Kuttab, menggunakan kurikulum yang berintikan Al-Qur’an, tafsir, hadis, ar-riyadhah (olahraga), sastra Arab, sejarah nabi, aljabar, dan adab. Pendidikan tinggi dimulai di Baitulhikmah, yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah; dan pada masa al-Ma’mun diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.

Lembaga ini memiliki ribuan buku pengetahuan. Lembaga pendidikan lain adalah Majalis al-Munawarah, yakni lembaga pengkajian masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan istana khalifah yang mengalami perkembangan pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun. Lembaga pendidikan dengan bentuk dan sistem seperti yang dikenal sekarang adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan Nizam al-Mulk (1018–1092) pada abad ke-11.

Adanya kemauan pemerintah Bani Abbas untuk memajukan pendidikan menyebabkan berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang pesat. Istana khalifah, rumah para sarjana, masjid, dan perpustakaan di Baghdad berfungsi sebagai perguruan dan didatangi pelajar dari berbagai negeri.

Sarjana yang berdiam di kota Baghdad mengkaji dan mengembangkan ilmu kedokteran, kimia, fisika, farmakologi, astronomi, astrologi, matematika, geografi, historiografi, filsafat, kesusastraan, seni, musik, tafsir, ilmu hadis, fikih, teologi, bahasa, dan tasawuf. Mereka menjadi penulis yang produktif dalam berbagai bidang dan menghasilkan ribuan naskah, makalah, dan buku.

Mereka juga mengadakan penelitian dan eksperimen. Mereka bukan hanya ahli dalam satu bidang ilmu, tetapi juga di bidang lain. Pengetahuan agama dan pengetahuan umum menyatu dalam diri mereka.

Pada masa itu tidak dikenal dikotomi antara ilmu agama dan umum. Kota Baghdad menjadi gudang para filsuf, teolog, tokoh pemikir dan pendidik, serta mujtahid terkenal.

Pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang dipusatkan oleh Dinasti Abbasiyah di kota Baghdad berpengaruh pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di kota lain, seperti Cairo, Basrah, Kufah, Damascus, Samarkand, Bukhara, dan Khurasan (kini Iran Timur). Para pelajar yang menuntut ilmu di Baghdad, setelah kembali ke negeri masing­-masing, aktif mengembangkan pengetahuan mereka.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban serta kejayaan umat Islam yang berpusat di Baghdad baru berakhir ketika Baghdad dihancurkan bangsa Mongol di bawah Hulagu Khan (1217–1265) dari Asia Tengah pada 1258. Seluruh kekayaan kota, buku ilmu pengetahuan dan filsafat, gedung pemerintah, perpustakaan, istana kerajaan, rumah penduduk, masjid, dan budaya berharga lainnya mereka bakar habis. Walaupun demikian, pengembangan ilmu pengetahuan masih berlanjut di kota lain.

Setelah Baghdad dihancurkan Hulagu Khan, tahun 1401 kota itu diserang kembali oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk (1336–1405). Bangsa ini menguasainya selama hampir 100 tahun sebagai bagian Dinasti Khan yang berpusat di Samarkand. Lalu, Baghdad secara bergantian dikuasai oleh Persia, Turki, dan Inggris.

Tahun 1508, Baghdad dikuasai Persia di bawah pimpinan Ismail I, pendiri Kerajaan Safawi di Persia; kemudian tahun 1683, dikuasai Turki dan menjadi bagian dari Kerajaan Turki Usmani. Peperangan, kebakaran, dan banjir yang berulang kali menimpa Baghdad menyebabkan penduduknya pada tahun 1700 tinggal 15.000 jiwa. Dalam Perang Dunia I (1914–1918), Inggris merebut Baghdad dari Turki Usmani.

Tahun 1921, Baghdad menjadi ibukota Kerajaan Irak. Pada 1932, ketika Irak menyatakan kemerdekaannya, Baghdad tetap sebagai ibukota; demikian juga pada 1958, ketika Irak menjadi negara republik.

Sejak merdeka, pemerintah Irak terus memodernisasi Baghdad dengan menggunakan sebagian penghasilan dari minyak untuk mengendalikan banjir, membangun industri, mendirikan lembaga pendidikan, transportasi, telekomunikasi, listrik, pusat pertokoan, dan sebagainya, sehingga Baghdad kembali mengulang masa lalunya sebagai kota terpenting di Timur Tengah, yakni sebagai kota perdagangan dan jalur perhubungan antara Timur dan Barat.

Sebagian hasil industri negara Timur Tengah, seperti minyak dan permadani, diekspor melalui Baghdad. Banyaknya kesempatan kerja menyebabkan masuknya banyak penduduk desa dan tenaga kerja asing, sehingga kota itu mengalami kekurangan perumahan. Karena itu, pada era 60-an dan 70-an, pemerintah mengusahakan pengadaan rumah untuk masyarakat ekonomi menengah dan lemah.

Dalam Perang Iran-Irak (1980-an) Baghdad sering mendapat hantaman peluru kendali yang banyak menelan korban jiwa dan materi. Dalam Perang Teluk 1991, kota ini juga hampir hancur karena menjadi sasaran utama muntahan berbagai jenis senjata mutakhir yang dilakukan oleh tentara Sekutu di bawah pimpinan Amerika Serikat.

Perang yang berlangsung lebih kurang sebulan itu mengakibatkan kehancuran sarana pendidikan, kesehatan, penerangan, telekomunikasi, transportasi, pusat budaya, industri, peninggalan sejarah, dan perumahan penduduk, serta menelan banyak korban jiwa. Setelah itu, pemerintah Irak di bawah pimpinan Presiden Saddam Husein sibuk membangun Baghdad kembali.

Pada Maret 2003 pasukan Amerika Serikat dan koalisinya melakukan invasi ke Irak. Penyerangan itu didasarkan atas keyakinan di pihak Amerika Serikat bahwa Irak memproduksi senjata pemusnah massal, yang kemudian ternyata tidak terbukti. Baghdad sebagai simbol kepemimpinan Saddam Husein yang dijaga pasukan elite Irak bernama Republican Guards (Garda Republik) menjadi sasaran utama tentara Amerika Serikat.

Melalui pengepungan dan pelumpuhan fungsi sebagai ibukota, akhirnya kota Baghdad dapat dikuasai oleh marinir Amerika Serikat. Ini ditandai dengan dirobohkannya patung raksasa Presiden Saddam Husein pada 10 April 2003, lambang berakhirnya kekuasaan Saddam.

Pada 2014, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) muncul sebagai kekuatan utama bersenjata di kawasan itu. ISIS sempat merebut sebagian besar Irak, termasuk kota kedua terbesar di Irak, Mosul. Namun gerak maju mereka ke Baghdad dapat diredam. Pasukan pemerintah berhasil mengusir ISIS pada 2017.

Daftar Pustaka

Ali, Sayid Ameer. A Short History of the Saracens. New Delhi: t.p., 1981.
Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
Brockelmann, Carl, ed. History of the Islamic Peoples. London: Routledge and Kegan Paul, 1980.
Duri, A.A. “Baghdad,” The Encyclopaedia of Islam, eds. H.A.R. Gibb, et al., Vol. I. Leiden: E.J. Brill, 1974.
Fernea, Robert A. “Baghdad,” The World Book Encyclopaedia, Vol. 2. Chicago-London-Sydney-Toronto: World Book, Inc., 1986.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: t.p., 1979.
Hitti, Philip K. Capital Cities of Arab Islam. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1973.
__________. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Ibnu al-Athir. al-Kamil fi at-Tarikh, Vol. XII. Beirut: t.p., 1977.
Khadduri, Madjid. “Iraq,” The World Book Encyclopaedia, Vol. 10. Chicago-London-Sydney-Toronto: World Book, Inc., 1986.
Radi, Ali Muhammad. Asr al-Islam az-zahabi al-Ma’mun al-‘Abbasi. Cairo: Dar al-Qawiyah at-Tibaah, t.t.
Turner, Arthur Campbell. “Baghdad,” Grolier Academic Encyclopaedia, Vol. 3. t.tp.: Grolier International, 1983.
https://worldpopulationreview.com/world-cities/baghdad-population, diakses pada 14 Maret 2022.
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14542954, diakses pada 14 Maret 2022.

Suyuti Pulungan

Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)