Badan Hisab dan Rukyat

Badan Hisab dan Rukyat adalah sebuah lembaga resmi pemerintah yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Tujuan utama lembaga ini adalah memberikan saran dalam penentuan bulan Kamariah dan hal yang berkaitan dengan masalah hisab dan rukyat.

Badan Hisab dan Rukyat dibentuk pada 1972 melalui SK Menteri Agama No. 76/1972 tanggal 16 Agustus 1972, dan diketuai oleh Sa’adoeddin Jambek, seorang pakar ilmu falak. Selanjutnya pada tanggal 23 September 1972 para anggota Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama dilantik oleh Menteri Agama Mukti Ali (1971–1978).

Yang melatarbelakangi terbentuknya badan ini antara lain adalah pertimbangan sebagai berikut.

(1) Masalah hisab dan rukyat awal setiap bulan Kamariah merupakan masalah penting, khususnya dalam menentukan hari besar Islam.

(2) Hari besar itu berhubungan erat dengan ibadah umat Islam. Selain itu, hari besar tersebut juga berkaitan dengan hari libur, hari kerja, dan hal lain yang berkenaan dengan pergaulan hidup, baik antar umat Islam sendiri maupun antara umat Islam dan umat lain yang sebangsa dan setanah air.

(3) Penentuan hari besar melalui hisab dan rukyat dapat memelihara persatuan umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Latar belakang tersebut sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan ibadah kaum muslim, misalnya dalam menentukan awal Ramadan, dan waktu Idul Fitri, Idul Adha, serta hari besar Islam lain.

Kegiatan hisab dan rukyat ini berdasar pada beberapa nas Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama. Ayat yang menyatakan hal itu antara lain adalah surah al-Baqarah (2) ayat 189, surah Yunus (10) ayat 5, surah Hud (11) ayat 114, surah al-Isra’ (17) ayat 12 dan 78, dan surah Taha (20) ayat 130.

Nas hadis mengenai hal itu antara lain adalah hadis dari Abdullah bin Umar bin Khattab, yang menyatakan awal waktu salat. Nabi SAW mengatakan, “Waktu zuhur berawal apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu asar” (HR. Muslim).

Hadis lain yang diriwayatkan Muslim menyatakan,“Apabila kamu melihat bulan (bulan sabit), maka berpuasalah, dan apabila kamu melihat hilal Syawal maka berbukalah. Apabila hilal tertutup awan atasmu, maka berpuasalah tiga puluh.”

Sejarah. Sejak masa kerajaan Islam, umat Islam yang berada di Indonesia telah menggunakan sistem penanggalan Hijriah. Sistem penanggalan Masehi baru digunakan setelah pemerintah Hindia Belanda menjadikan sistem ini penanggalan resmi. Meskipun begitu, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan penentuan tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah kepada penguasa pribumi.

Setelah terbentuk Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946, semua tugas pengaturan hari libur Islam, termasuk penentuan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah, menjadi wewenang departemen ini. Hal ini tercantum dalam Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um. 7/Um. 9/Um dan dipertegas lagi dengan Keputusan Presiden No. 25/1967, No. 148/1968, dan No. 10/1971.

Ide mendirikan Badan Hisab dan Rukyat sudah ada sejak 1971. Ketika itu berlangsung musyawarah para ulama yang ahli di bidang hisab dan rukyat untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan penentuan hari-hari besar Islam, terutama penentuan awal bulan Ramadan, awal bulan Syawal (Idul Fitri), dan Idul Adha. Musyawarah seperti ini diselenggarakan oleh Departemen Agama setiap tahunnya dengan maksud memperkecil perbedaan serta menjaga persatuan dan kesatuan (ukhuwah islamiah) umat Islam Indonesia.

Berbeda dengan musyawarah sebelumnya, perbedaan yang cukup tajam terjadi antar peserta mengenai penentuan tanggal 1 Ramadan 1391 H. Perbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan didapatnya kata sepakat mengenai penentuan awal Ramadan. Hasil musyawarah ini adalah usul agar segera dibentuk suatu wadah yang membicarakan masalah penentuan awal Ramadan dan hal yang berkaitan dengan hari besar Islam.

Dalam musyawarah tahun berikutnya (1972) perbedaan pendapat mengenai penentuan awal Ramadan ini pun terulang lagi, meskipun pada akhirnya dapat diselesaikan. Karena itu, sekali lagi peserta musyawarah mendesak Menteri Agama agar segera merealisasi berdirinya Badan Hisab dan Rukyat. Musyawarah ini, selain dihadiri para ulama hisab dan rukyat, juga diikuti pula oleh ormas Islam, Pusroh ABRI, Lembaga Meteorologi dan Geofisika, Planetarium, dan IAIN.

Untuk memproses pendirian lembaga ini dibentuklah satu tim perumus yang terdiri atas lima orang, yaitu A. Wasit Aulawi, M.A.; H Z.A. Noeh; dan H Sa’adoeddin Jambek (ketiganya mewakili Departemen Agama); Drs. Susanto (Lembaga Meteorologi dan Geofisika); dan Drs. Santoso Nitisastro (Planetarium).

Setelah mengadakan beberapa kali pertemuan, dalam rapat tanggal 23 Maret 1972 tim perumus membuat rumusan tujuan, status, dan tugas Badan Hisab dan Rukyat sebagai berikut:

(1) bertujuan untuk mengusahakan bersatunya umat Islam dalam menentukan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah;

(2) berstatus resmi, berada di bawah Departemen Agama, dan berkedudukan di Jakarta; serta

(3) bertugas pokok untuk memberi saran kepada Menteri Agama tentang penentuan permulaan tanggal bulan Kamariah.

Selanjutnya pada tanggal 2 April 1972 disusun daftar nama personalia Badan Hisab dan Rukyat yang diketuai Sa’adoeddin Jambek. Akhirnya pada 16 Agustus 1972 Menteri Agama meresmikan pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Susunan personalia badan ini disahkan dengan SK Menteri Agama­ No. 77/1972 tanggal 16 Agustus 1972.

Kegiatan. Tugas utama badan ini adalah melakukan hisab dan rukyat. Kata “hisab” berasal dari bahasa Arab yang berarti “perhitungan”. Dalam konteks badan ini, hisab ialah perhitungan gerakan­ benda langit untuk mengetahui keadaannya pada suatu saat yang diinginkan.

Umpamanya, apabila penggunaan hisab dikhususkan pada “hisab awal waktu” ataupun “hisab awal bulan”, maka yang dimaksudkan adalah penentuan kedudukan matahari atau bulan sehingga kedudukannya pada bola langit pada saat tertentu dapat diketahui.

Hisab awal waktu selalu dikaitkan dengan kedudukan matahari, yang diukur dengan kesatuan waktu yang disebut “waktu matahari bertengahan”,­ yaitu waktu yang dapat dibaca pada jam. Waktu inilah yang digunakan para ahli hisab sebagai kesatuan waktu untuk mengukur benda langit pada bola langit.

Hisab yang dilakukan dengan memakai kesatuan waktu tersebut ada tiga macam, yaitu (1) hisab awal waktu, (2) hisab awal bulan, dan (3) hisab gerhana matahari atau bulan. Hisab awal waktu adalah kegiatan perhitungan yang dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan matahari pada awal waktu salat dengan menggunakan kesatuan awal waktu tersebut.

Hisab awal bulan adalah penentuan kedudukan hilal (bulan sabit) pada saat terbenamnya matahari yang diukur dengan derajat. Adapun hisab gerhana matahari atau gerhana bulan adalah penentuan waktu terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan dengan maksud agar umat Islam melaksanakan salat gerhana matahari (salat kusuf) atau salat gerhana bulan (salat khusuf).

Kata rukyat juga berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat dengan mata” atau “melihat dengan akal”. Dalam konteks badan ini, yang dimaksud dengan rukyat adalah melihat dengan mata, yakni memperhatikan hilal di bagian langit sebelah barat pada saat menjelang bulan baru.

Sebelum mengamati kedudukan hilal di langit, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan secara cermat, yaitu penentuan: (1) tinggi hilal, (2) azimut, dan (3) letak kemiringan­ bulan dari ekliptika.

Selain melakukan hisab dan rukyat dalam rang­ka penentuan awal Ramadan, awal Syawal, dan 10 Zulhijah, sejak 1978 Badan Hisab dan Rukyat bersama dengan para ahli hisab setiap tahun mengadakan musyawarah kerja evaluasi pelaksanaan kegiatan hisab untuk menyusun suatu kegiatan yang menunjang tugas badan tersebut.

Melalui kegiatan ini, Badan Hisab dan Rukyat setiap tahun merumuskan hal berikut:

(1) arah kiblat ibukota propinsi di seluruh Indonesia;

(2) arah kiblat kota besar tertentu di luar negeri;

(3) jadwal waktu terjadinya bayang-bayang benda searah dengan kiblat pada setiap tanggal 1 bulan Syamsiah bagi kota propinsi di seluruh Indonesia;

(4) daftar imsakiah Ramadan untuk ibukota propinsi di seluruh Indonesia;

(5) jadwal waktu salat untuk ibukota propinsi di seluruh Indonesia;

(6) awal bulan Kamariah, saat terjadinya ijtimak (pertemuan antara matahari dan bulan), dan tinggi hilal pada setiap permulaan bulan Kamariah; dan

(7) garis batas tanggal pada peta dunia setiap awal bulan Kamariah.

Dalam kenyataannya, sering kali ditemukan perbedaan dalam menentukan awal bulan Hijriah. Perbedaan itu disebabkan dua hal pokok, yaitu segi penetapan hukum serta segi sistem dan metode penghitungan. Dari kedua hal pokok ini timbul pula berbagai kelompok/aliran.

(1) Kelompok rukyat. Kelompok ini berpegang pada rukyat, tetapi tidak berarti tidak mementingkan hisab. Mereka menganggap hisab sebagai alat pembantu saja untuk suksesnya rukyat.

(2) Kelompok ijtimak. Kelompok ini berpegang pada ijtimak sebagai pedoman untuk penentuan awal bulan Hijriah. Kelompok ini melakukan hisab hanya sampai pada penentuan ijtimak dan tidak menjelaskan berapa derajat kedudukan bulan di atas ufuk. Mereka hanya berpen­dirian bahwa apa­bila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka keesokan harinya dianggap sebagai bulan baru. Apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka keesokan harinya diang-gap sebagai bulan yang sedang berjalan.

(3) Kelompok ufuk hakiki. Kelompok ini memandang ufuk hakiki sebagai kriteria untuk menentukan wujud hilal. Dalam menghisab, kelompok ini berpegang pada kedudukan hakiki bulan pada saat matahari terbenam. Mereka berpendirian bahwa apabila bulan berada di atas ufuk hakiki, maka bulan dianggap ada; tetapi apabila hilal berada di bawah ufuk hakiki malam itu, maka keesokan harinya dianggap sebagai akhir bulan yang sedang berjalan.

(4) Kelompok ufuk mar’i. Kelompok ini berpegang pada kedudukan hilal di atas ufuk mar’i (yang dapat dilihat langsung dengan mata) sebagai kriteria dalam menentukan awal bulan. Kelompok ini berpendapat bahwa apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenam, maka hilal dianggap sudah wujud; dan apabila hilal berada di bawahnya, maka malam itu dan keesokan harinya dianggap sebagai akhir bulan yang sedang berjalan.

(5) Kelompok hisab urfi. Dalam menghisab, kelompok ini berpegang pada kaidah tradisional, misalnya menentukan perhitungan masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan peredaran bulan.

(6) Kelompok hisab hakiki. Kelompok ini melakukan hisab dengan sistem penentuan awal bulan Kamariah dengan metode penentuan kedudukan bulan pada saat matahari terbenam.

Ada banyak alat yang digunakan untuk hisab dan rukyat, antara lain jam alarm, altimeter (pengukur ketinggian), kronometer atau lonceng astronomi (jam atau pengukur waktu yang sangat tepat), gawang lokasi (alat untuk menentukan posisi hilal), jarum pedoman atau kompas (alat penunjuk mata angin), mesin hitung atau kalkulator, mistar radial (alat pengukur derajat posisi suatu benda langit dari posisi yang ditentukan), pemotret bintang dan pesawat ekuatoral (alat untuk mengambil gambar benda langit), pesawat lingkaran meridian atau transit teodolit (teropong yang hanya bergerak bebas sepanjang bidang meridian, arah utara-selatan), pesawat pelaluan (seperti pesawat lingkaran meridian), radio, rubu‘ mujayyab (alat hitung fungsi goneometrik untuk proyeksi suatu peredaran benda langit pada lingkaran vertikal), stopwatch, teodolit (alat untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit), dan tongkat istiwa’ (tongkat yang ditancapkan pada bidang datar di tempat terbuka sehingga matahari dapat menyinarinya dengan bebas).

Penetapan struktur dan personalia Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI ditetapkan setiap tahun dengan surat keputusan Menteri Agama. Personalia yang duduk dalam badan ini diambil dari instansi terkait dan ulama organisasi Islam, seperti:  Departemen Agama, IAIN/UIN, Majelis Ulama Indonesia, Planetarium dan Observatorium, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dinas Oseanografi, PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, dan Persis (Persatuan Islam).

Daftar Pustaka

Affandi, Syekh Muhammad Arief. al-Ma‘arif ar-Rabbaniyyah bi al-Masa’il al-Falakiyyah. Cairo: t.p., t.t.
Depag RI. Almanak Hisab dan Rukyah. Jakarta: Badan Hisab dan Rukyah Depar-temen Agama RI, t.t.
Jambek, Sa’adoeddin. Arah Kiblat. Jakarta: Tinta Mas, 1960.
_________________. Hisab Awal Bulan. Jakarta: Tinta Mas, 1976.
Jameelah, Maryam. Hisab Urfi dan Hakiki. Yogyakarta: Toko Buku Siaran, 1957.

Thib Raya

Data diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Pebruari 2023).