Lembaga semi-pemerintah di lingkungan pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang bertugas mengumpulkan dan membagi zakat dan infak/sedekah berdasarkan syariat Islam disebut BAZIS. Badan tersebut didirikan pemerintah DKI Jakarta pada 5 Desember 1968 dengan SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. Cb-14/8/18/68.
BAZIS dibentuk berdasarkan syariat Islam dan beroperasi di wilayah DKI Jakarta. Organisasi badan ini dimulai dari tingkat daerah/propinsi, wilayah kota/kota madya, kecamatan, sampai ke kelurahan. Tugas pokok badan ini adalah mengumpulkan zakat mal (harta) di seluruh DKI Jakarta, sampai dengan membagikannya bagi orang yang berhak menerima zakat tersebut dengan prioritas untuk fakir miskin.
Pembentukan BAZIS oleh Pemda DKI Jakarta ini kemudian diikuti oleh propinsi lain yang dipelopori oleh pejabat atau unsur pemerintah dengan dukungan para ulama atau pemimpin Islam. Dengan kata lain, terbentuklah suatu badan amil zakat yang bersifat semi-pemerintah walaupun umumnya dibentuk dengan surat keputusan gubernur dan dengan nama yang berbeda, antara lain di Aceh (1975), Sumatera Barat (1973), Sumatera Selatan/Lampung (1975), Jawa Barat (1974), Kalimantan Selatan (1977), Kalimantan Timur (1972), Sulawesi Utara dan Selatan (1985), serta Nusa Tenggara Barat.
Walaupun badan ini tampil dengan nama yang berbeda, pada umumnya tetap mengambil nama dasar “amil zakat” dengan tambahan nama sesuai dengan fungsinya, seperti infak/sedekah dan derma. Bahkan badan amil zakat ini juga muncul dalam nama lain, seperti Badan Harta Agama di Aceh, Lembaga Harta Agama Islam di Sumatera Utara, dan Yayasan Sosial Islam di Sumatera Barat.
Dalam perkembangannya, ada lembaga zakat yang membatasi diri dalam pengumpulan zakat fitrah saja seperti yang terdapat di Jawa Barat, ada yang menitikberatkan pada zakat mal ditambah dengan infak/sedekah seperti di DKI Jakarta, dan ada pula yang ingin mencakup semua jenis harta benda Islam.
Usaha pembentukan badan amil zakat ini sebenarnya telah dimulai sejak Indonesia merdeka dengan maksud untuk mengembangkan dan meningkatkan pelaksanaan zakat di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, badan ini secara resmi dibentuk oleh pemerintah di Aceh pada 1939.
Perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan zakat itu baru benar-benar memadai pada masa Orde Baru, yang diawali dengan anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara yang lebih luas dan dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran itu disampaikan dalam pidatonya pada peringatan Isra Mikraj di Istana Negara pada 26 Oktober 1968. Presiden mengumumkan kepada umat Islam Indonesia bahwa secara pribadi ia bersedia untuk menjadi amil zakat.
Dengan anjuran ini terbentuklah badan amil zakat di berbagai propinsi yang dipelopori oleh pemda DKI Jakarta. Pada tahun itu juga pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 4/1969 ter-tanggal 15 Juli 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat, dan Peraturan Menteri Agama No. 5/1968 tertanggal 22 Oktober 1968 tentang pembentukan Baitulmal (perbendaharaan) di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota madya.
Pada tahun 1967 pemerintah sebenarnya telah menyiapkan suatu RUU zakat yang akan diajukan ke DPR Gotong Royong, dengan harapan akan mendapat dukungan dari menteri Sosial dan menteri Keuangan. Akan tetapi dalam jawabannya, menteri Keuangan berpendapat bahwa peraturan zakat tidak perlu dibuat dalam bentuk undang-undang, melainkan cukup dengan peraturan menteri saja. Atas dasar pertimbangan itu, keluarlah Instruksi Menteri Agama No. 1 tahun 1970 yang menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No. 4 dan No. 5 tahun 1968.
Tujuan umum usaha pengembangan zakat di Indonesia ialah agar bangsa Indonesia lebih mengamalkan seluruh ajaran agamanya, antara lain zakat, yang diharapkan dapat menunjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Zakat adalah ibadah wajib yang mempunyai hubungan dengan masalah sosial dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, pengelolaan zakat harus berdasarkan prinsip pengaturan yang baik sehingga dapat meningkatkan peranan dan fungsi zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Rasulullah SAW, Abu Bakar as-Siddiq, dan Umar bin Khattab sebagai pengendali pemerintahan mengatur pelaksanaan zakat secara langsung antara orang yang wajib zakat dan penerima zakat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya pemerintahlah yang berwenang menangani urusan zakat karena pemerintah mengetahui keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Agar pengurusan dan pengelolaan zakat dapat dikembangkan secara sistematis, efisien, dan memenuhi kebutuhan muzaki (orang yang wajib membayar zakat) maupun mustahak (penerima zakat), BAZIS Pemerintah DKI Jakarta menganut “prinsip pengelolaan”.
Ada 6 prinsip pengelolaan zakat dan infak/sedekah:
(1) syariat dan moral keagamaan: pengelolaan zakat dan infak/sedekah berlandaskan syariat dan moral agama Islam;
(2) kesadaran umum: pengumpulan zakat dan infak/sedekah hendaknya mempunyai dampak positif, menumbuhkan kesadaran bagi muzaki, munfiq (orang atau badan yang memberi infak), dan mutashaddiq (orang atau badan yang memberi sedekah) untuk melaksanakan kewajibannya;
(3) manfaat: hasil pengelolaan zakat dan infak/sedekah harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat;
(4) koordinasi: dalam pengelolaan zakat dan infak/ sedekahhendaknya terjalin koordinasi secara harmonis antar instansi/lembaga terkait agar tercipta efisiensi dan efektivitas yang optimal;
(5) keterpaduan: dalam pengelolaan zakat dan infak/sedekah secara menyeluruh perlu adanya keterpaduan antar instansi/lembaga terkait, dan keterpaduan antar ulama dan umara; dan
(6) produktif rasional: hasil pengumpulan zakat dan infak/sedekah hendaknya diarahkan serta didayagunakan secara produktif dan rasional.
Sebagai lembaga, BAZIS dipimpin oleh gubernur kepala daerah atau wakilnya yang beragama Islam. Menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 120 Tahun 2002, susunan organisasi BAZIS terdiri dari Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana. Yang termasuk dalam Badan Pelaksana BAZIS adalah Kepala, Wakil Kepala, Sekretariat, Bidang Pengumpulan, Bidang Pendayagunaan, Bidang Dana, dan Pelaksana BAZIS Kota Madya/Kabupaten Administrasi.
Pada umumnya masing-masing badan amil zakat itu mempunyai pedoman yang digunakan untuk mengelola zakat di daerahnya. BAZIS DKI, misalnya, telah merumuskan kembali pengertian zakat, jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat. Delapan ahnaf atau kelompok yang berhak menerima zakat juga dirumuskan kembali sesuai dengan sistem dan kondisi daerah masing-masing.
Sebagai contoh, bagian ibnu sabil (orang yang bepergian) tidak hanya diberikan kepada orang yang kehabisan bekal di jalan, tetapi dapat digunakan untuk membantu biaya peralatan, beasiswa pelajar serta mahasiswa Islam, dan biaya misi ilmiah atau keagamaan. Dalam pengelolaan zakat ini pemerintah bertugas membimbing, melaksanakan, dan mengawasi pengumpulan, pembagian, serta pemanfaatan zakat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BAZIS DKI Jakarta. Pedoman Pengelolaan Zakat dan Infaq/Shadaqah. Jakarta: BAZIS DKI Jakarta, 1987.
_______________. Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat. Jakarta: BAZIS DKI Jakarta, 1987.
Rahardjo, M. Dawam. “Zakat dalam Perspektif Sosial Ekonomi,” Pesantren, No.2, Vol. III, 1986.
Uswatun Hasanah