Menurut hukum Islam, aurat adalah anggota tubuh manusia yang wajib ditutup sampai batas tertentu karena perintah Allah SWT. Aurat tersebut meliputi bagian tubuh yang dapat menimbulkan berahi atau syahwat dan nafsu angkara apabila dibiarkan terbuka. Karena merupakan bagian dari kehormatan manusia, anggota tubuh tersebut harus ditutup dan dijaga.
Kata “aurat” berasal dari akar kata: (1) ‘awira yang berarti “hilang perasaan”, “hilang cahaya atau lenyap penglihatan (untuk mata)”; (2) ‘Ara yang berarti “menutup dan menimbun”; dan (3) a‘wara yang berarti “mencemarkan apabila terlihat”, atau “sesuatu akan mencemarkan apabila tampak”. Secara bahasa, aurat berarti “malu”, “aib”, dan “buruk”. Jadi pengertian aurat secara kebahasaan adalah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang apabila terbuka atau tampak akan menimbulkan rasa malu, aib, dan keburukan lainnya.
Aurat yang terbuka memberi dampak terhadap yang bersangkutan dan terutama bagi yang melihatnya. Bagi yang bersangkutan, aurat yang terbuka akan menimbulkan rasa malu. Bagi yang melihatnya akan timbul perasaan yang kurang baik seperti terangsang, berahi, risi, dan malu.
Kewajiban menutup aurat, khususnya aurat tertentu, sudah menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk para ahli di luar lingkungan ilmu agama. Tidak terdapat permasalahan dan perselisihan mendasar bahwa aurat laki-laki adalah bagian tubuhnya antara pusat dan lututnya. Imam Ahmad (Imam Hanbali) dalam salah satu riwayatnya menyatakan bahwa aurat laki-laki adalah dua kemaluan, depan dan belakang. Demikian pula salah satu riwayat dari Imam Malik.
Adapun tentang aurat perempuan terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, termasuk muka dan kedua telapak tangannya, bahkan kukunya. Pendapat lainnya mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Tentang yang terakhir ini ada yang menambahkan bahwa kekecualian itu termasuk juga kedua telapak kakinya.
Ada yang memberi batasan aurat perempuan itu dari sudut dengan siapa perempuan itu berhadapan. Aurat perempuan yang berhadapan dengan Allah SWT (di waktu salat) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Aurat perempuan yang berhadapan dengan muhrimnya adalah bagian tubuhnya antara pusat dan lutut. Namun jika muhrimnya laki-laki, auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kepala, leher, kedua tangan, dan kedua kakinya. Aurat perempuan yang berhadapan dengan bukan muhrimnya adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali muka, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kakinya.
Ulama bersepakat bahwa menutup aurat, apa dan bagaimana pun batasnya, adalah wajib secara hukum. Mereka mendasarkan kewajiban menutup aurat itu dengan ayat Al-Qur’an (surah an-Nur [24] ayat 30, 31, dan 60; surah al-Azhab [33] ayat 33 dan 59; dan surah al-A‘raf [7] ayat 26) dan beberapa hadis Nabi SAW.
Sebagian ulama menyatakan bahwa Islam dalam menentukan hukum tentang keharusan menutup aurat menggunakan metode serta memperhatikan prinsip tadrij (bertahap). Metode ini dimulai dengan firman Allah SWT yang berarti: “Hai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan lain…” (QS.33:32).
Tahap berikutnya adalah firman Allah SWT yang berarti: “Dan hendaklahkamu berdiam di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah…” (QS.33:33).
Tahap selanjutnya adalah firman Allah SWT yang berarti:
“…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak pula) mengawini isteri-isterinya selama lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” (QS.33:53).
Dan akhirnya adalah firman Allah SWT yang berarti:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.33:59).
Kewajiban menutup aurat juga didasarkan atas alasan bahwa hal itu merupakan faktor penunjang bagi terlaksananya firman Allah SWT yang lain, misalnya perintah kepada laki-laki dan perempuan beriman agar menahan pandangan mereka (QS.24:30–31) dan larangan mendekati perbuatan zina (QS.17:32). Di samping itu, menutup aurat sesuai dengan prinsip sadd az-zara’i‘ (menutup peluang ke arah dosa yang lebih besar).
Aurat selalu berkaitan dengan masalah kebudayaan manusia pada umumnya, seperti pakaian dan pergaulan. Aurat sering kali dihubungkan dengan jilbab (pakaian yang menutup seluruh atau sebagian besar badan bagian atas) dan cadar (kain tipis/transparan guna menutup seluruh bagian wajah perempuan). Persoalan aurat membawa akibat pada tata cara berbusana kaum muslimin, khususnya kaum muslimat. Busana yang tidak tipis, tidak ketat, dan tidak mencolok antara lain merupakan pengaruh dari ajaran Islam tentang aurat.
Daftar Pustaka
Anis, Ibrahim. al-Mu‘jam al-Wasit. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1972.
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
al-Husaini, al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayah al-Akhyar. Bandung: Syarikah al-Ma‘arif, t.t.
Ibnu Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar as-Sadir, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Maududi, Abul A’la. al-Hijab. Cairo: Dar al-Ansar, t.t.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Autar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. al-Mu‘jam as-sagir. New Delhi:al-Anshari, t.t.
Moch. Qasim Mathar