Asy‘ariyah adalah salah satu aliran terpenting dalam teologi Islam; disebut juga aliran Ahlusunah waljamaah yang berarti golongan mayoritas yang berpegang teguh pada sunah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy‘ari (260 H/873 M–324 H/935 M). Asy‘ariyah muncul pada awal abad ke-9 ketika aliran Muktazilah mengalami kemunduran.
Aliran Asy‘ariyah muncul sebagai reaksi terhadap paham Muktazilah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam. Kaum Muktazilah pada masa pemerintahan al-Ma’mun melakukan mihnah (Muktazilah) yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pengaruh aliran Muktazilah mulai memudar di mata masyarakat. Dalam situasi seperti ini, muncullah al-Asy‘ari, seorang yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muktazilah.
Al-Asy‘ari menyelami ajaran Muktazilah melalui gurunya, al-Jubba’i, seorang tokoh Muktazilah yang terkenal. Karena memiliki ketekunan dan kemampuan intelektual yang begitu tinggi, ia menjadi murid kesayangan al-Jubba’i. Al-Jubba’i sering mengutusnya dalam berbagai forum diskusi dan perdebatan. Dengan begitu, al-Asy‘ari menjadi terlatih dan terampil dalam berdebat dan beradu argumentasi.
Kemudian, ia banyak melakukan diskusi dengan al-Jubba’i tentang berbagai masalah keagamaan. Namun ia sering merasa tidak puas terhadap jawaban dan penjelasan yang diberikan gurunya.
Ketika berusia 40 tahun, al-Asy‘ari menyatakan diri keluar dari kelompok Muktazilah. Berbagai pendapat telah diajukan mengenai sebab al-Asy‘ari meninggalkan Muktazilah dan bahkan berbalik menentang aliran ini. Beberapa di antaranya adalah:
(1) al-Asy‘ari bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang menyuruhnya meninggalkan aliran yang dianutnya itu dan selanjutnya memerintahkannya untuk membela sunah Rasulullah SAW;
(2) al-Asy‘ari tidak puas dengan jawaban dan penjelasan yang diberikan gurunya, al-Jubba’i, tentang berbagai masalah keagamaan;
(3) al-Asy‘ari melihat bahwa aliran Muktazilah tidak dapat diterima secara umum oleh umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran, sementara ketika itu belum ada aliran teologi lain yang dapat diandalkan;
(4) al-Asy‘ari kalah bersaing dengan Abu Hasyim (anak al-Jubba’i) dalam menggantikan posisi al-Jubba’i sebagai tokoh Muktazilah.
Setelah keluar dari kelompok Muktazilah, al-Asy‘ari merumuskan pandangan teologinya dalam al-Luma‘ Fi ar-Radd ‘ala Ahl az-Ziyag wa al-Bida‘ (Kecermerlangan tentang Penolakan terhadap Penganut Penyimpangan dan Bid’ah) dan al-Ibanah ‘an usul ad-Diyanah (Uraian Dasar Agama).
Ajaran pokok al-Asy‘ari ada tujuh. Pertama, tentang sifat Allah SWT. Tentang hal ini al-Asy‘ari berbeda pendapat dengan Muktazilah. Baginya Allah SWT mempunyai sifat (Sifat Duapuluh) seperti al-‘ilm (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-hayah (hidup), as-sama‘ (mendengar), dan al-basar (melihat).
Sifat tersebut berada di luar Zat Tuhan dan bukan Zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan Zat-Nya seperti pendapat Muktazilah, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat lainnya.
Kedua, tentang kedudukan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah (firman Allah SWT) dan bukan makhluk dalam arti “diciptakan”. Karena merupakan sabda Allah SWT, pastilah Al-Qur’an bersifat kadim.
Ketiga, tentang melihat Allah SWT di akhirat. Allah SWT akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah SWT mempunyai wujud.
Keempat, tentang perbuatan manusia. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun al-Asy‘ari mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif. Paham ini dikenal dengan istilah al-kasb.
Kelima, tentang antropomorfisme. Al-Asy‘ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya seperti disebut di dalam Al-Qur’an (QS.55:27 dan QS.54:14). Akan tetapi, tidak dapat diketahui bagaimana bentuk-Nya.
Keenam, tentang dosa besar. Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang ‘asi (durhaka). Permasalahan dosa besar diserahkan kepada Allah SWT, apakah akan diampuni atau tidak.
Ketujuh, tentang keadilan Allah SWT. Ia adalah pencipta seluruh alam dan memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, Ia dapat berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat memasukkan seluruh manusia ke surga atau sebaliknya memasukkannya ke neraka.
Pemikiran al-Asy‘ari tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam karena sederhana dan tidak filosofis. Akibatnya, dalam waktu singkat pendapatnya itu memperoleh pendukung yang tidak sedikit jumlahnya.
Faktor lain yang mempercepat proses perkembangan aliran ini adalah dukungan pihak pemerintah Bani Abbas yang berkuasa saat itu. Al-Mutawakkil, khalifah pengganti al-Wasiq, membatalkan pemakaian aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara dan aliran Asy‘ariyah ditetapkan sebagai penggantinya.
Selain itu, faktor yang turut mempercepat proses perkembangan Asy‘ariyah adalah kemampuan al-Asy‘ari dalam mempertahankan pendapatnya dari serangan lawannya serta penguasaannya yang mendalam terhadap ilmu keislaman.
Aliran ini pernah mendapat tantangan keras dari pihak penguasa, yaitu ketika Dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh Bani Buwaihi yang berpaham Muktazilah. Sampai masa kekuasaan Bani Buwaihi jatuh ke tangan Bani Seljuk, kelompok Asy‘ariyah masih belum mendapat tempat di hati penguasa.
Penguasa Bani Seljuk, Tugril Beq, dan Perdana Menteri Abu Nasr Muhammad bin Mansur al-Kundari beraliran Muktazilah (416 H/1025 M–456 H/1064 M). Di masa ini, al-Kundari melakukan tekanan terhadap golongan Asy‘ariyah berupa kutukan dan cacian pada khotbah Jumat dan cera mah di masjid, bahkan tokoh Asy‘ariyah dilarang mengajar dan memberikan khotbah.
Al-Kundari juga mengeluarkan perintah untuk menangkap dan memenjarakan para pemuka Asy‘ariyah, antara lain Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. Dengan demikian, penyiaran aliran ini menjadi terhambat.
Intimidasi terhadap golongan Asy‘ariyah berakhir setelah terjadi pergantian kekuasaan dari tangan Tugril Beq kepada Alp Arslan. Berbeda dengan Tugril Beq, Alp Arslan mempu nyai perdana menteri yang sangat setia mendukung paham Asy‘ariyah, yakni Nizam al-Mulk (1063–1092).
Aliran Asy‘ariyah kemudian mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi alam pikiran dunia Islam. Penyebaran ajaran ini ke berbagai pelosok dunia Islam dilakukan Madrasah Nizamiyah yang didirikan Nizam al-Mulk.
Madrasah Nizamiyah mempunyai cabang hampir di setiap kota penting dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Semua sekolah itu menerapkan kurikulum yang bercorak Asy‘ariyah. Melalui sekolah Nizamiyah inilah pendapat aliran Asy‘ariyah diajarkan.
Di Mesir dan Suriah, teologi Asy‘ariyah juga berkembang dengan subur karena mendapat dukungan yang kuat dari penguasa, yakni Dinasti Ayubiyah. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, pendiri Dinasti Ayubiyah, menghapuskan sistem pengajaran yang bercorak Syiah peninggalan Dinasti Fatimiyah dan menggantikannya dengan sistem pengajaran bercorak Suni Asy‘ariyah.
Di Andalusia dan Afrika Utara (kawasan Magribi) aliran ini disebarluaskan Ibnu Tumart, pendiri Dinasti Muwahhidun. Di masa sebelumnya, yakni masa pemerintahan Dinasti al-Murabitun, buku yang berisi paham Asy‘ari-yah dilarang beredar.
Aliran Asy‘ariyah berkembang di dunia Timur, India, Afghanistan, Pa-kistan sampai ke Indonesia berkat jasa dan dukungan Mahmud Ghaznawi (971–1030), pendiri Dinasti Ghaznawiyah yang berpusat di India. Untuk selanjutnya penyebaran paham Asy‘ariyah dilakukan peng ikutnya. Khusus di Indonesia pemikiran Asy‘ariyah dipelajari melalui karya al-Ghazali dan as-Sanusi.
Tokoh terpenting yang mempunyai andil dalam penyebaran aliran ini men-cakup antara lain al-Baqillani (w. 403 H/1013 M), Abdul Ma‘ali al-Juwaini, al-Ghazali, ar-Razi, dan as-Sanusi (w. 895 H/1490 M).
Al-Baqillani atau lengkapnya Muhammad bin at-Tayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani mendalami ajaran Asy‘ariyah melalui dua orang gurunya, Ibnu Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Keduanya adalah murid langsung al-Asy‘ari. Namun dalam beberapa hal dijumpai perbedaan pandangan antara al-Baqillani dan al-Asy‘ari. Perbedaan keduanya terutama terletak pada dua masalah pokok, yaitu soal sifat Tuhan dan perbuatan manusia.
Bagi al-Baqillani, apa yang disebut sifat oleh al-Asy‘ari, bukanlah sifat, melainkan hal. Pendapatnya ini sesuai den-gan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Sifat memberi pengertian sesuatu yang menetap, sedangkan hal sesuatu yang tidak menetap.
Adapun perbuatan manusia, menurut al-Asy‘ari, diciptakan Tuhan. Manusia diberi daya untuk mewujudkan kehendaknya, namun daya itu juga diciptakan Tuhan. Dengan kata lain, daya yang ada pada diri manusia tidaklah efektif. Adapun menurut al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia. Adapun bentuk dan sifat gerak itu ditentukan manusia sendiri. Oleh karena itu, manusia dapat mengubah gerak yang terdapat dalam dirinya ke dalam bentuk perbuatan seperti berbaring, duduk, berdiri, berjalan, dan berlari.
Al-Juwaini yang bernama lengkap Abdul Ma‘ali al-Juwaini mendapat gelar Imam al-Haramain karena ia pernah tinggal di Mekah dan Madinah untuk memberikan pelajaran dan fatwa. Bukunya yang terkenal adalah al-Irsyad (Petunjuk), yang menguraikan masalah fikih yang bersumber pada ajaran Imam Syafi‘i dengan corak paham Asy‘ariyah.
Dalam pandangan teologinya, ia tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran al-Asy‘ari, misalnya dalam soal antropomorfisme. Ia berpendapat bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmani, seperti muka, tangan, mata, dan wajah, harus ditakwilkan. Tangan ditakwilkan dengan kekuasaan, mata diartikan penglihatan, dan wajah Tuhan diterjemahkan de ngan wujud Tuhan, dan seterusnya.
Adapun dalam soal perbuatan manusia, al-Juwaini sejalan dengan pendapat al-Baqillani dan bahkan lebih maju lagi. Ia berpendapat bahwa manusia diberi daya oleh Tuhan untuk mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa dengan efek yang terdapat dalam proses kausalitas (sebab-akibat).
Dengan kata lain, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Atas pengaruh al-Ghazali, yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ajaran al-Asy‘ari meluas di kalangan Ahlusunah waljamaah. Ia juga mengajar di Madrasah Nizamiyah.
Ia diberi gelar hujjah al-Islam karena melalui karyanya ia membela Islam dari paham yang menyesatkan, seperti paham Batiniah. Paham Batiniah adalah paham yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mempunyai arti zahir (lahir) dan arti batin. Arti batin hanya disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada Ali bin Abi Thalib, tidak kepada yang lainnya.
Berbeda dengan al-Baqilani dan al-Juwaini, seluruh pendapat al-Ghazali seirama dengan pikiran al-Asy‘ari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia kembali kepada pendapat al-Asy‘ari yang asli dengan memberikan argumen yang lebih kuat.
As-Sanusi bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi (833 H/1427 M–895 H/1490 M). Penye-baran konsep teologinya tentang sifat Tuhan dan sifat rasul sangat populer di Indonesia. Ia membagi sifat Tuhan dan sifat rasul ke dalam tiga bagian, yaitu sifat wajib, mustahil, dan jaiz.
Sifat wajib bagi Tuhan ada 20, sifat mustahil bagi Tuhan juga ada 20, dan sifat jaiz hanya satu. Sifat wajib yang 20 itu dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian, yaitu sifat nafsiyyah (kedirian Tuhan), sifat salbiyyah (sifat yang membedakan Zat Tuhan dengan lainnya), dan sifat ma‘ani (sifat yang abstrak). Adapun sifat wajib bagi rasul ada 4, begitu pula sifat mustahilnya ada 4, dan sifat jaiznya hanya 1.
Daftar Pustaka
al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Kitab al-Luma‘. Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.
_______. al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah. Damascus: Idarah at-Tiba’ah al-Muniriyah, 1348 H/1929 M.
_______. Maqalat al-Islamiyyah wa Ikhtilaf al-Musallin. Cairo: Matba‘ah ad-Daulah, 1950.
al-Juwaini, Imam al-Haramain. Kitab al-Irsyad ila Qawati‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad. Cairo: Maktabah al-Khaniji, 1950.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiquh. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1972.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Musdah Mulia