Asuransi adalah sebuah transaksi perjanjian antara dua pihak. Pihak kesatu wajib membayar iuran, dan pihak kedua wajib memberi jaminan kepada pihak kesatu jika sesuatu menimpa pihak kesatu atau hartanya sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Asuransi tidak dibahas dalam fikih klasik, karena baru muncul pada abad ke‑13 dan ke‑14 di Italia, yakni asuransi perjalanan laut.
Para ahli fikih kontemporer, seperti Wahbah az‑Zuhaili (ahli fikih dan usul fikih), mendefinisikan asuransi sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk,yaitu at‑ta’min at‑ta‘awuni (asuransi tolong menolong) dan at‑ta’min bi qist sabit (asuransi dengan pembagian tetap).
At‑ta’min at‑ta‘awuni adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan. Kemudaratan yang menimpa para peserta at‑ta’min at‑ta‘awuni ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Adapun at‑ta’min bi qist sabit adalah akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang ke-pada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian, apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. Menurut Wahbah az-Zuhaili, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at‑ta’min bi qist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak.
Perbedaan antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al‑Buga (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus Suriah), terletak pada tujuan masing‑masing. At‑ta’min at‑ta‘awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata‑mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang hukum kebolehan at‑ta’min at‑ta‘awuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam. Allah SWT dalam surah al‑Ma’idah (5) ayat 2 berfirman, “…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong‑menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….”
Menurut Wahbah az‑Zuhaili, at‑ta’min at‑ta‘awuni boleh dilakukan. Namun, asuransi seperti ini jarang sekali dijumpai dalam kenyataan. Adapun tujuan utama at‑ta’min bi qis sabit adalah mendapatkan keuntungan di samping melakukan beberapa jaminan terhadap para pesertanya.
Ulama berbeda pendapat mengenai at‑ta’min bi qist sabit. Untuk melihat lebih jauh hukum at‑ta’min bi qist sabit perlu diperinci pembagiannya sesuai dengan objek asuransi itu sendiri. Mustafa al‑Buga memperinci bentuk asuransi dilihat dari objeknya sebagai berikut.
1) Asuransi kerugian. Dalam asuransi ini, peserta akan menerima ganti rugi ketika ia ditimpa suatu kerugian yang disebabkan peristiwa tertentu. Bentuk asuransi ini ada dua, yaitu: a) asuransi kerugian harta yang disebabkan kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan sejenisnya; dan b) asuransi yang menjamin kerugian yang timbul akibat tanggung jawabnya, seperti menabrak orang atau pekerja/pegawainya mendapat kecelakaan kerja.
2) Asuransi pribadi. Dalam asuransi ini, peserta menda patkan sejumlah uang jika ia mendapat suatu kerugian, baik ia masih hidup maupun wafat. Asuransi pribadi ini ada dua bentuk.
a) Asuransi yang berkaitan dengan kehidupan peserta, terdiri atas tiga bentuk.
(1) Asuransi kematian, berupa transaksi yang mewajibkan peserta untuk membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib memberikan sejumlah uang ketika peserta wafat. Uang ini dapat diserahkan kepada orang yang ditunjuk oleh peserta atau ahli warisnya.
(2) Asuransi dalam jangka waktu tertentu, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggang waktunya telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan uang ganti rugi jika ia meninggal sebelum tenggang waktu datang.
(3) Asuransi yang bersifat penerimaan sejumlah uang oleh peserta dari pihak perusahaan asuransi pada waktu tertentu. Uang itu diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh peserta (jika ia masih hidup) atau kepada ahli warisnya (jika ia telah meninggal). Dalam asuransi bentuk terakhir ini uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih besar daripada kedua bentuk asuransi sebelumnya.
b) Asuransi kecelakaan diberikan apabila peserta menderita kecelakaan badan.
Berbeda dengan at‑ta’min at‑ta‘awuni, hukum at‑ta’min dengan segala bentuknya yang disebutkan di atas masih diperselisihkan ulama. Ulama pertama yang membicarakan masalah asuransi dalam fikih Islam adalah Ibnu Abidin (1784–1836), ahli fikih Mazhab Hanafi. Yang dibicarakannya itu adalah asuransi keselamatan barang yang diangkut dengan kapal laut.
Dalam asuransi ini, pemilik barang berkewajiban membayar upah atas kapal yang dipergunakan untuk mengangkut barang tersebut. Di samping itu, pedagang ini pun berkewajiban membayarkan sejumlah uang kepada pihak perusahaan asuransi sebagai jaminan atas kerusakan yang mungkin terjadi terhadap barang tersebut, seperti kapal itu kebakaran, tenggelam, atau dibajak orang.
Apabila hal itu terjadi, pihak perusahaan akan membayar kerugian yang diderita pedagang itu. Dalam hal ini, Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi pedagang itu mengambil uang ganti rugi atas barangnya yang telah musnah, karena akad seperti itu “mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan”.
Menurut ketentuan dalam bermuamalah, apabila ada satu pihak menderita kerugian yang tidak disebabkan oleh perbuatan pihak lain yang berakad, pihak kedua itu tidak boleh dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian, karena transaksi seperti itu mengandung garar (penipuan) yang dilarang syarak (hukum Islam).
Oleh sebab itu, Wahbah az‑Zuhaili meletakkan pembahasan asuransi dalam pemba hasan‘aqd al‑garar (akad yang mengandung penipuan). Ulama fikih mengemukakan beberapa analisis dalam membahas hukum at‑ta’mn bi qist sabit.
(1) Akad ini mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, karena tidak ada sebab syar‘i (hukum) yang mengacu kepada kewajiban seseorang membayar ganti rugi. Ganti rugi dalam fikih muamalah hanya dapat diberlakukan jika kerugian ditimbulkan oleh suatu sikap permusuhan atau tindakan sewenang-wenang dari pihak lain terhadap jiwa dan harta benda seseorang.
(2) Asuransi sulit untuk dimasukkan ke dalam akad penipuan semata‑mata, karena asuransi tidak bermaksud menipu pesertanya. Namun, pihak asuransi juga tidak dapat memastikan akan terjadi kecelakaan yang menimpa diri atau barang peserta asuransi. Jika pihak asuransi dan pemilik barang mengetahui secara pasti akan terjadi suatu bahaya atau kecelakaan, boleh diberlakukan ganti rugi.
(3) Asuransi bukan salah satu bentuk akad wadi‘ah (titipan) yang dapat dituntut ganti rugi apabila pemegang titipan lalai dengan kewajibannya. Dalam asuransi, barang yang ditanggung tidak berada di tangan pihak penanggung (perusahaan asuransi). Dalam kasus asuransi keselamatan barang seperti dibicarakan di atas, pihak penanggung adalah pemilik kapal laut. Statusnya ketika itu dapat dikategorikansebagai pemberi jasa atau pekerja, sehingga akadnya dapat berupa ijarah (sewa‑menyewa).
(4) Asuransi juga tidak dapat dikategorikan ke dalam akad mudarabah (tabungan berjangka). Ada dua penyebab.
a) Setoran wajib yang dibayarkan peserta asuransi menjadi milik perusahaan asuransi dan pihak perusahaan bebas menggunakan uang tersebut, sedangkan peserta tidak mendapatkan apapun jika ia tidak ditimpa kecelakaan atau kerugian.
b) Salah satu syarat dalam murabah adalah keuntungan yang diperoleh dibagi antara pemilik modal dan pekerja sesuai dengan kesepakatan mereka, sedangkan dalam asuransi tidak demikian. Kalaupun ada bagian yang dapat diterima dari perusahaan asuransi tersebut, jumlahnya sudah ditentukan, yaitu 3% atau 4%.
Berkaitan dengan itu, Wahbah az‑Zuhaili menyimpulkan bahwa asuransi termasuk ‘aqd al‑garar yang dilarang Rasulullah SAW (HR. Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, dan at‑Tirmizi). Akan tetapi, Muhammad Abduh (pembaru dari Mesir, 1849–1905) mengatakan bahwa asuransi jiwa termasuk ke dalam akad murabah, karena bersifat tolong-menolong.
Oleh karena itu, ia membolehkan akad asuransi jiwa dalam fatwanya. Muhammad Abduh merupakan orang pertama yang memfatwakan masalah asuransi jiwa.
Pendapat lain datang dari Syekh Muhammad Bahis al‑Muti (1854–1935), mufti Mesir. Ia berpendapat bahwa menurut hukum Islam jaminan atas harta benda adakalanya dengan cara kafilah (tanggungan) atau ta‘addi/itlaf (perbuatan sewenang‑wenang dari orang lain).
Dalam masalah asuransi, jaminan dengan cara kafilah tidak cocok, karena dalam akad kafÎlah ada utang yang harus dibayar dan benda yang dijadikan jaminan yang sepenuhnya diserahkan kepada penjamin. Jika benda itu musnah, pihak penjamin wajib menggantinya dengan barang yang sejenis atau dengan nilai yang sama. Dalam asuransi tidak ditemukan proses seperti ini.
Adapun ganti rugi yang harus dibayar oleh orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap barang orang lain pada prinsipnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al‑Baqarah ayat 194 yang berarti: “…Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu….”
Dalam asuransi, perusahaan tentunya tidak melakukan tindakan ta‘adda/itlaf terhadap barang tersebut. Bahkan, kecelakaan yang menimpa barang atau orang yang menjadi peserta asuransi sama sekali tidak terkait dengan perusahaan. Oleh sebab itu, asuransi pun tidak dapat dikategorikan ke dalam cara ini.
Dalam seminar fikih Islam (1960) di Damascus, Suriah, Ahmad Mustafa az‑Zarqa (guru besar usul fikih dan fikih di Universitas Damascus) mengemukakan pendapatnya tentang asuransi sebagai berikut.
1) Masalah asuransi adalah masalah baru, tidak ada nasnya.
2) Asuransi tidak termasuk ke dalam jenis pertaruhan atau untung‑untungan.
Menurutnya, unsur tolong‑menolong yang ada dalam asuransi membuat akad ini berada jauh dari akad untung‑untungan. Kedua pihak yang berakad dalam asuransi memperoleh manfaat yang pasti. Pihak perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dan peserta merasa aman terhadap bahaya yang dikhawatirkannya, di samping mendapat ganti rugi. Akad ini juga tidak mengandung jahalah (kesamaran). Oleh sebab itu, hukum asuransi halal menurut syarak.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh as‑Sadiq Muhammad Amin ad‑Darir (guru besar fikih Islam di Universitas Khartum, Sudan), at‑Tayyib Hasan an‑Najjar, Bahjat Ahmad Hilmy, dan Dr. M. Sadiq Fahmi (ketiganya ulama besar Mesir).
Dr. M. Umruddin (Dekan Fakultas Sastra Universitas Aligarh, India) dalam kesempatan itu tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas. Ia hanya menganjurkan umat Islam menghindarkan diri dari asuransi karena bagaimanapun juga asuransi itu terkait dengan riba, yang dilarang secara tegas oleh nas.
Majma‘ al‑Buhus al‑Islamiyyah dalam konferensinya (1385 H/1965 M) di Cairo, Mesir, tidak memberikan kesimpulan final tentang hukum asuransi. Lembaga ini hanya menyatakan bahwa asuransi yang diselenggarakan badan perkumpulan dengan tujuan tolong‑menolong, seperti at‑ta’min at‑ta‘awuni, dibolehkan secara hukum. Demikian juga halnya dengan asuransi pensiun bagi pegawai negeri yang diselenggarakan pemerintah.
Akan tetapi asuransi yang berkembang pada saat ini (seperti asuransi kecelakaan, pertanggungjawaban tertanggung, dan asuransi jiwa), diputuskan oleh konferensi harus diteliti lebih jauh dengan melibatkan berbagai ahli yang terkait.
Menanggapi masalah asuransi dengan segala bentuknya yang berkembang pada saat ini dan yang masih diperselisihkan, KH Ali Yafie (salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia) mengatakan bahwa asuransi itu diciptakan di dunia Barat dan diatur hukum Barat, sehingga mempunyai watak, bentuk, sifat, dan tujuan yang berbeda dari wujud muamalah yang dikenal dalam fikih di dunia Islam.
Daftar Pustaka
al-Buga, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal li at-Tiba‘ah, 1981.
Ibnu Abidin. Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1974.
Uwais, Abdul Halim. at-Takaful al-Ijtima fi Dau’ al-Fiqh al-Islami. Jiddah: asy-Syarikah as-Sa‘udiyyah li al-Abhas wa at-Tausiq, 1988.
Yafie, K.H. Ali. Menggagas Fiqih Sosial. Bandung: Mizan, 1994.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Amm. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Nasrun Haroen