Secara etimologis ‘Ariyah berarti “pergi dan kembali atau beredar”. Istilah ‘Ariyah juga bisa berarti “pinjam-meminjam”. Dalam terminologi fikih Islam, ‘Ariyah berarti “sebuah akad yang merupakan suatu sarana dalam Islam untuk saling menolong di antara sesama manusia tanpa pamrih”.
Ulama Mazhab Maliki merumuskan ‘Ariyah sebagai kebebasan memanfaatkan sesuatu tanpa ganti rugi; ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Perbedaan kedua definisi ini terlihat ketika muncul persoalan apakah orang yang meminjam barang tersebut dibolehkan untuk meminjamkan pula kepada orang lain untuk dimanfaatkan.
Menurut definisi pertama yang dikemukakan Imam as-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), ahli fikih dan usul fikih Mazhab Hanafi, orang yang memanfaatkan barang itu boleh meminjamkan kepada orang lain tanpa ganti rugi. Adapun menurut definisi ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, orang yang meminjam barang itu tidak dibenarkan meminjamkannya lagi kepada orang lain.
‘Ariyah sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah Ma’idah (5) ayat 2 yang berarti: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,…” Dasar hukum lain yang membolehkan akad ‘Ariyah ini adalah hadis Nabi SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Sufyan bin Umayah dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam kuda Abu Talhah dan mengendarainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Sufyan juga dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam baju perang Abu Sufyan. Lalu Abu Sufyan berkata, “Apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (gasab) wahai Muhammad?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ini saya pinjam dengan jaminan.” Karena menyangkut pemindahan hak pemanfaatan barang, ‘Ariyah mempunyai syarat yang harus dipenuhi.
Ulama mengemukakan syaratnya sebagai berikut: (1) peminjam adalah orang yang telah berakal, sehingga dapat dipercayai untuk memelihara barang ‘Ariyah ini; (2) barang yang dipinjamkan bukan barang yang habis jika dipakai, seperti rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak; dan (3) barang yang dipinjamkan dapat dikuasai secara langsung oleh peminjam.
Sehubungan dengan itu, barang yang dipinjamkan itu tidak boleh dimanfaatkan peminjam dalam hal yang dilarang agama. Misalnya, senjata dengan segala perangkatnya tidak boleh dipinjamkan kepada kaum kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam).
Persoalan lain yang dibahas ulama adalah segi kualitas dan kuantitas pemanfaatan barang tersebut oleh peminjam, apakah secara mutlak ia dapat memanfaatkan barang tersebut atau dalam bentuk terbatas sesuai dengan izin yang meminjamkan. Dalam kaitan ini, ulama mengatakan bahwa hal itu tergantung pada akadnya. Apabila peminjaman tersebut dilakukan secara mutlak, peminjam berhak untuk memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan keinginannya, baik digunakan sendiri maupun orang lain.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, jika seseorang meminjam mobil yang tidak dibatasi penggunaan, waktu, dan tempatnya, peminjam boleh memakainya di mana saja selama diinginkannya serta meminjamkannya kepada orang lain. Apabila pemilik barang memberikan pinjaman barang dengan batasan waktu, tempat, dan pemakaian, peminjam terikat dengan syarat yang ditentukan. Apabila syarat tersebut tidak diindahkannya, segala risiko kerugian barang pinjaman menjadi tanggungan peminjam.
Ulama berbeda pendapat mengenai status hukum akad ‘ariyah, apakah boleh dibatalkan sepihak oleh pemiliknya atau tidak. Menurut ulama Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali, sifat akad ‘ariyah tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Pihak yang meminjamkan dapat membatalkan pinjaman tersebut kapan saja ia mau dan pihak peminjam juga dapat mengembalikan barang kapan saja, tanpa membedakan apakah peminjaman itu bersifat mutlak atau dengan syarat tertentu.
Ada pengecualian jika pembatalan akad tersebut membawa mudarat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan mayat. Dalam hal ini, peminjam tidak dapat mengembalikan tanah tersebut dengan membongkar mayat serta memindahkannya ke tempat lain, dan pihak yang meminjamkan hanya dapat menunggu sampai mayat tersebut habis ditelan tanah.
Ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan peminjam. Jika peminjaman itu mempunyai tenggang waktu, pemilik barang tidak dapat meminta kembali barangnya sebelum habis waktu peminjaman. Namun, di antara mereka sendiri ada yang berpendapat bahwa pemilik barang dapat mengambil barangnya kembali jika akad ‘ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.
Sebagai akad yang sifatnya tolong-menolong, ‘ariyah ini sendiri bersifat amanah yang tidak dituntut dengan ganti rugi jika barang tersebut rusak, kecuali kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian pihak peminjam. Apabila barang tersebut hilang atau rusak berat karena pemakaiannya di luar kebiasaan yang berlaku secara adat, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi‘i, harus dikenakan ganti rugi sesuai dengan harga barang tersebut. Misalnya, seekor binatang yang tidak pernah digunakan oleh pemiliknyapada malam hari digunakan peminjam barang tersebut siang dan malam, sehingga binatang itu sakit atau mati; dalam hal ini, pihak peminjam harus membayar ganti rugi sesuai dengan harga binatang tersebut.
Ulama Mazhab Hanbali juga berpendapat sama. Alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud di atas. Selain itu, mereka juga mendasarkannya pada sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ahmad dan Akhrajahu al-Arba‘ah (Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah), “Pihak pemakai barang menanggung segala risiko kerusakan yang ditimbulkannya.”
Menurut ulama mazhab ini, berbeda halnya jika yang dipinjam tersebut adalah buku ilmu pengetahuan atau alat perang untuk jihad; jika hilang tanpa sengaja, tidak dikenai ganti rugi, karena barang yang dipinjam tersebut menyangkut kemaslahatan umum.
Adapun ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, apabila ada empat hal berikut: (1) barang tersebut sengaja dimusnahkan atau dirusak, (2) barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali, (3) barang itu tidak dimanfaatkan sesuai dengan adat yang berlaku atau syarat yang disepakati bersama, dan (4) pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan semula.
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Bakar bin Abdullah. at-Taqrib li Fiqh Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1980.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Khafif, Ali. Fiqh al-Mu‘amalat. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1972.
–––––––. asy-Syarikah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. Fiqh al-Mu‘awadah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Nasrun Haroen