Secara kebahasaan ananiyyah berarti “kesan”, “penonjolan diri”, “pengakuan atau menghubungkan semua masalah (kebaikan) kepada satu pribadi”. Secara terminologis ananiyyah berarti “sikap mementingkan diri sendiri”. At-Tahanawi (1892–1974), ahli filsafat dan muhaddits, dalam kitabnya al-Kasysyaf (Pembuka Tabir) mengatakan bahwa anani adalah suatu pernyataan mengenai hakikat segala sesuatu yang dihubungkan dengan diri seseorang, seperti pada pernyataan, “Inilah diriku, jiwaku dan kekuasaanku”.
Menurutnya, ungkapan ini termasuk ke dalam perbuatan syirik yang tersembunyi. Dalam kitabnya at-Tuhfah al-Mursalah (Ajaran yang Diwahyukan), ia mengatakan bahwa anani adalah suatu pernyataan yang mengungkapkan keadaan hakikat dan batin bukan dalam arti yang sesungguhnya. Makna ucapan la ilaha (tidak ada Tuhan) sesungguhnya untuk menghilangkan sifat anani.
Di dalam ilmu jiwa, anani dikenal dengan istilah egoistis, yaitu mementingkan diri sendiri. Dengan jiwa seperti ini ia berusaha memelihara kelangsungan hidupnya dengan kecenderungan mengingkari keberadaan orang lain.
Selanjutnya dalam ilmu akhlak sebagaimana dijelaskan Jamil Shaliba, ahli filsafat, anani diartikan sebagai sikap yang terlalu mencintai diri sendiri sehingga menghilangkan kecintaan kepada yang lainnya. Kepentingan pribadi lebih utama dari yang lain. Orang seperti ini berpendirian bahwa dunia ini ada hanya karena peranan yang dimainkannya. Ia melihat kemaslahatan orang lain dari segi kemaslahatan yang ada pada dirinya sendiri.
Anani termasuk salah satu sikap budi pekerti yang buruk. Menurut al-Ghazali, anani itu terjadi antara lain karena kecantikan, kekayaan, kedudukan yang tinggi, kepandaian, dan jasa yang pernah diberikannya. Orang yang terkena sikap ini sebenarnya kurang menyadari bahwa segala sesuatu yang dimilikinya itu berasal dari Tuhan. Mereka juga kurang menyadari bahwa semua yang dimilikinya itu bersifat sementara dan kelak akan sirna.
Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa kecantikan atau ketampanan akan segera sirna sejalan dengan pertambahan usia. Demikian pula dengan kedudukan yang dipegangnya juga akan berakhir dengan datangnya batas waktu yang ditentukan. Ia lebih lanjut menambahkan bahwa sikap anani itu pada hakikatnya merupakan bukti kurangnya wawasan dan kesadaran seseorang terhadap sesuatu yang dimilikinya. Kekurangan tersebut kemudian ditutup-tutupinya dengan cara bersikap egoistis.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma‘ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulumad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab, 1978.
Umarie, Barmawie. Materi Akhlak. Yogyakarta: Ramadhan, 1978.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie Du Liban dan London: Macdonald & Evans Ltf., 1974.
Abuddin Nata