Amir

(Ar.: al-amir)

Kata amir (bentuk jamak: umara’) berarti “penguasa”, “pemimpin”, “komandan”, atau “raja”. Secara terminologis, istilah ini merupakan sebutan bagi kepala pemerintahan di daerah, penguasa militer, atau kepala negara. Dalam Al-Qur’an hanya ada istilah uli al-amr, yang juga berarti “penguasa”. Dalam hadis, istilah “amir” ditemukan sekitar 40 kali dan “umara” 24 kali.

Pada periode awal pemerintahan Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, istilah ‘amil (pekerja, pemerintah, atau gubernur) yang bersinonim dengan amir sering juga digunakan untuk menyebut penguasa di daerah. Selama pemerintahan Madinah, para komandan militer disebut amir, al-jaisy, atau amir al-jund.

Adakalanya para gubernur, yang pada mulanya adalah para jenderal yang menaklukkan berbagai daerah, juga disebut amir. Amir sebagai komandan militer bertugas mengorganisasi tentara dan mengangkat para pembantunya yang disebut ‘Arif. Para ‘Arif bertugas mencatat semua unit militer yang mereka pimpin, mendistribusikan gaji, dan melaporkan berbagai insiden kepada amir. Amir terkadang juga memimpin ekspedisi militer dan menandatangani perjanjian.

Amir sebagai penguasa daerah, yang identik dengan jabatan gubernur, bertugas melaksanakan administrasi pemerintahan daerah, menangani masalah politik, mengumpulkan pajak, membangun masjid, memelihara keamanan di daerah taklukan Islam, dan bertugas sebagai pemimpin agama. Ia bertindak sebagai imam salat dan khatib dalam salat Jumat. Amir juga bertugas mengurus administrasi pengadilan dan mengangkat hakim (kadi). Sebagai pengua sa daerah, amir bertanggung jawab kepada khalifah yang berkedudukan di Madinah.

Amir dapat pula berarti “pemimpin kaum muslimin”. Hal ini muncul pada pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah, yaitu pertemuan antara orang Islam Ansar dan Muhajirin, yang memilih Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW meninggal. Ketika kedua golongan itu berdebat, pihak Ansar berkata, “Dari kami seorang amir dan dari kamu seorang amir.” Pihak Muhajirin menjawab, “Kami adalah umara dan kamu sebagai wuzara’.”

Akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Kata “amir” juga pernah digunakan untuk sebutan bagi kepala negara atau khalifah, yaitu Amirulmukminin, yang digunakan Umar bin Khattab.

Sejak Dinasti Umayah berkuasa di Damascus, Suriah, istilah “amir” hanya digunakan untuk penguasa di daerah propinsi, yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya pun mulai dibedakan. Dalam melaksanakan tugas ia didampingi seorang atau lebih katib (sekretaris), seorang Hajib (pengawal), sahib al-kharaj (pejabat pendapatan), sahib asy-syurtah (pejabat kepolisian), sahib al-barid (kepala kantor pos), kepala keagamaan, dan hakim (kadi). Amir juga diberi wewenang mengangkat wakilnya –ada juga yang langsung diangkat oleh khalifah– di daerah atas persetujuan khalifah.

Selain itu amir mengawasi pula pencetakan mata uang yang di dalamnya tercantum namanya. Adapun tipe, bobot, dan tempat pencetakan mata uang ditentukan oleh khalifah. Ada beberapa orang amir yang terkenal karena uang dirham mereka yang baik. Tugas amir yang lain adalah mengatur sistem penarikan pajak, memimpin delegasi untuk menyampaikan baiat kepada khalifah yang baru diangkat, membangun sarana umum (seperti jembatan, kanal, dan jalan), dan mengirimkan sebagian penghasilan daerah ke Damascus. Semua amir pada masa Dinasti Umayah adalah orang Arab dan diangkat khalifah.

Administrasi pemerintahan daerah pada masa Dinasti Umayah tersebut diteruskan oleh Dinasti Abbasiyah yang dimodifikasi dengan kecenderungan baru. Dinasti Abbasiyah menciptakan birokrasi baru dengan menempatkan kembali aristokrasi kabilah dan menekankan sentralisasi. Penguasa daerah atau gubernur tetap disebut amir. Semula para amir berasal dari keluarga Abbasiyah.

Namun dalam perkembangan terakhir, banyak amir yang berasal dari Persia (Iran) dan Turki. Pada umumnya para amir pada periode ini bertanggung jawab dalam administrasi urusan sipil dan keuangan. Ia didampingi pejabat keuangan yang disebut amil dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengirimkan upeti kepada khalifah.

Pada masa ini banyak amir yang membatasi hubungan dengan khalifah, bahkan mereka mendirikan dinasti kecil yang mempunyai kekuasaan penuh di daerah masingmasing, seperti Dinasti Aghlabiyah, Tahiriyah, Ikhsyidiyah, Tuluniyah, Samaniyah, dan Hamdaniyah. Gejala ini merupakan disintegrasi politik pemerintahan Abbasiyah. Bani Buwaihi bahkan pernah menjarah Baghdad, mencopot semua atribut kekuasaan khalifah, mengangkat para menteri, dan mencampuri urusan pengangkatan khalifah. Dalam hal ini, kedudukan khalifah hanya sebagai simbol.

Para khalifah Dinasti Umayah di Spanyol hingga masa pemerintahan Abdurrahman an-Nasir (Abdurrahman III) diberi gelar amir. Para gubernur Dinasti Umayah dan gubernur Dinasti Fatimiyah di Mesir dinamakan atau disebut amil. Pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk, Ayubiyah, dan Mamluk, amir adalah sebutan bagi para pejabat militer.

Istilah lain yang sinonim dengan amir adalah waliyul amri, yang berarti “orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengemban suatu urusan atau tugas”. Pada masa Rasulullah SAW, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan para khalifah Islam sesudahnya, orang yang diangkat dan dipercaya untuk menjadi penguasa di daerah juga disebut waliyulamri. Kemudian dalam pengertian selanjutnya, khalifah, sultan, atau kepala negara juga disebut waliyulamri.

Pemakaian istilah “amir” dalam sejarahnya bisa digunakan untuk penguasa di daerah, pejabat militer, dan kepala negara. Waliyulamri juga bisa digunakan untuk para penguasa di daerah dan kepala negara. Di Indonesia terkenal dengan istilah “umara”, yang berarti “para penguasa” atau “para pemimpin pemerintahan”.

Daftar Pustaka

Duri, A. “Amir,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1979.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. Lon-don: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Departemen Agama RI. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Tim Penyusun Texbook Sejarah Kebudayaan Islam, 1981/1982.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1973.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allaih. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
at-Tabari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: ar al-Fikr, 1987.
Wensink, A.J. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-hadis an-Nabawi. Leiden: E.J. Brill, 1936.

J Suyuti Pulungan