Aminah binti Wahhab adalah ibu Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Aminah binti Wahhab bin Abdul Manaf bin Zuhrah. Ibunya bernama Barrah binti Abdul Uzza bin Usman bin Abdud Dar bin Qusay bin Kilab. Dari silsilah tersebut, terlihat bahwa Aminah adalah keturunan Quraisy yang terhormat. Ia putri kepala Bani Zuhrah yang bermartabat tinggi.
Aminah tumbuh menjadi gadis Quraisy yang cantik. Tetapi sebagai putri bangsawan, ia berada dalam pingitan, hingga kemudian dipersunting Abdullah (ayah Nabi SAW), putra Abdul Muthalib.
Aminah telah mengenal Abdullah sejak masa kanak-kanak. Mereka sering bermain bersama di halaman Masjidil haram. Keakraban mereka ditunjang dengan kedekatan antara orangtua mereka, Abdul Muthalib dan Wahhab, karena keduanya adalah pemimpin masyarakat Mekah.
Suatu ketika Abdul Muthalib datang ke rumah Wahhab bin Abdul Manaf untuk meminang Aminah buat putranya. Barrah, ibu Aminah, menghampiri anaknya dan mengatakan bahwa Abdullah telah selamat dari penyembelihan; ibunya menunggu reaksi Aminah yang ternyata berusaha bersikap tenang walaupun merasakan bahwa ibunya menyimpan sesuatu dalam hatinya. Kemudian, ayahnya datang dan berkata, “Tokoh dari Bani Hasyim datang meminangmu untuk putranya Abdullah.”
Setelah berita itu tersiar, datanglah seluruh kerabat Bani Zuhrah untuk memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada calon pengantin itu. Aminah merasa bahagia, tetapi juga terkejut, karena tidak menyangka akan dipinang pemuda rupawan dan mulia, yang pada waktu itu menjadi idaman para gadis Mekah. Aminah merasa bersyukur sebab Abdullah dapat terlepas dari penyembelihan dan meminang dirinya. Ia tidak menghiraukan banyaknya putri Quraisy yang juga menaruh hati pada Abdullah.
Pesta perkawinan Aminah dan Abdullah berlangsung selama 3 hari 3 malam dengan penuh keramaian dan kebahagiaan di kedua belah pihak. Seusai pesta, sesuai dengan adat, pengantin pria tinggal di rumah mertuanya selama 3 hari, dan pada hari ke-4 pulang ke rumahnya mendahului istrinya guna mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut istrinya.
Aminah merasa tenteram dan bahagia tinggal di rumah suaminya, walaupun masih sedih meninggalkan keluarga nya. Aminah dan Abdullah memulai hidup barunya dengan penuh kebahagiaan. Aminah sesekali menanyakan, mengapa banyak putri Quraisy yang ingin diperistri Abdullah. Abdullah menjawab, “Mereka ingin diperistri karena mereka percaya ada cahaya di wajah saya.” Salah seorang wanita yang melihat cahaya itu adalah Binti Naufal, adik Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani.
Akhirnya cahaya itu dimimpikan Aminah sendiri di suatu malam menjelang subuh. Aminah seolah-olah melihat ada cahaya yang keluar dari tubuh Abdullah. Cahaya itu menerangi seluruh jagad raya, dan ia seolah-olah mendengar suara bisikan kepadanya, “Wahai, Aminah, engkau telah mengandung seorang pemimpin seluruh umat manusia.”
Setelah pengantin baru itu melewati hari-hari bahagia selama sebulan, Abdullah harus meninggalkan istrinya untuk ikut bersama kafilah Quraisy yang akan berdagang ke negeri Syam (Suriah). Sebenarnya Abdullah dan Aminah sama-sama merasa berat untuk berpisah. Abdullah sangat terharu melihat istrinya, maka dia berkata,
“Sabarlah Aminah, saya pergi hanya dalam waktu yang tak lama. Percayalah! Malam-malammu akan dipenuhi dengan mimpi indah seperti yang pernah dikatakan adik Waraqah bin Naufal.” Tetapi Aminah tetap saja merasa sedih; ia selalu termenung mengingat suaminya. Ia selalu dihibur pembantunya yang setia, Ummu Aqman, dan keluarganya.
Satu bulan sejak keberangkatan Abdullah, Aminah belum merasakan beratnya mengandung. Dia selalu memikirkan nasib suaminya. Memasuki bulan kedua, terdengar berita bahwa tak lama lagi rombongan akan tiba di Mekah. Aminah menunggu kedatangan suaminya dengan gembira. Ia ingin menceritakan mimpinya dan mendengar pengalaman perjalanan suaminya.
Akhirnya rombongan sampai di Mekah. Aminah menanti kedatangan suaminya dengan cemas. Kecemasan itu memuncak tatkala semua kafilah telah sampai, sedangkan suaminya tidak tampak. Ternyata Abdullah tidak ikut pulang bersama kafilah itu karena dia terserang penyakit batuk dalam perjalanan. Hal ini disampaikan mertua Aminah dengan hati-hati, agar ia bersabar dan mendoakan kesembuhan suaminya. Abdul Muthalib mengutus kakak Abdullah, Haris, untuk merawat dan membawanya pulang jika sudah sembuh.
Dua bulan sejak kedatangan kafilah itu, Abdullah belum pulang juga, tetapi Aminah tetap menunggu dengan sabar. Beberapa hari kemudian Haris membawa berita duka, bahwa Abdullah telah meninggal dan dikuburkan di Yatsrib. Kesedihan dan kemurungan bercampur jadi satu pada diri Aminah, tetapi bayi dalam kandungannya membuat ia harus kuat menanti kelahiran anaknya itu, buah kasihnya dengan Abdullah. Pada 12 Rabiulawal malam Senin tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570, menjelang tengah malam, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat, berwajah bersih, dan tampan, yang mengingatkannya pada suaminya.
Saat-saat menjelang kelahiran bayi itu, Aminah takut sekali. Namun, hatinya terhibur karena merasakan seolah-olah banyak wanita (istri para rasul) duduk di sampingnya untuk memberikan semangat dalam perjuangan untuk melahirkan bayinya. Akhirnya bayinya lahir. Maka disuruhnya pembantunya untuk menyampaikan berita gembira ini kepada mertuanya.
Abdul Muthalib juga sangat gembira memandang cucunya; ia teringat lagi pada anaknya, Abdullah. Ia kemudian mengambil cucunya dan menggendongnya ke Ka’bah sebagai pernyataan rasa syukurnya. Cucunya itu diberinya nama Muhammad. Seusai berdoa, cucunya itu dikembalikan kepada Aminah.
Sebagaimana tradisi orang Arab yang memberikan bayinya untuk disusui kepada wanita kampung, Aminah harus pula melepaskan anaknya untuk disusui orang lain. Namun, sebelum melepaskan anaknya kepada Halimah binti Abi Dua’ib as-Sa‘diyah, ia tetap menyusui sendiri bayinya itu. Setelah 2 tahun, tugas Halimah selesai; Aminah menerima kembali anaknya.
Selanjutnya ia membawa anaknya ke Yatsrib untuk berziarah ke kuburan suaminya, yang telah 7 tahun berbaring di sana. Untuk itu, ia mempersiapkan segala sesuatu agar dia dan anaknya dapat ikut bersama kafilah yang akan membawa dagangan. Setelah tinggal di Yatsrib selama sebulan, Aminah bersiap-siap untuk pulang bersama kafilah yang akan kembali ke Mekah.
Namun di tengah perjalanan, sesampai di Abwa’, sebuah desa antara Madinah dan Mekah (kira-kira 37 km dari Madinah), Aminah, ibunda Nabi SAW, menderita sakit. Sakitnya itu membawa kematiannya. Ia dikuburkan di tempat itu juga. Muhammad SAW ketika itu berumur sekitar 6 tahun.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Aisyah. Ibunda Para Nabi, terj. Abdulkadir Mahdamy. Solo: CV Pustaka Mantiq, 1990.
al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. Fiqhus-Sirah. Beirut: Darul Fikr, t.t.
Duwaidar, Amin. Suwar min hayAh ar-Rasul. Cairo: Darul Ma’arif, 1968.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Litera Antar Nusa, t.t.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
al-Malik, as-Sayid Muhammad bin Alwi. Tanda-tanda Kenabian Muhammad Rasulullah SAW, terj. Idrus H Alkalaf. Jakarta: CV Bintang Pelajar, t.t.
an-Nadawi, Abu Hasan al-Hasani. Riwayat Hidup Rasulullah SAW, terj. H Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Prof. Muhtar Yahya. Jakarta: PT Jayamurni, 1973.
Yasien, Syekh Khalil. Muhammad di Mata Cendekiawan Barat. Jakarta: Gema Insan Press, 1990.
Abd Karim Hafid