Ameer Ali

(Cuttack, Orissa, India, 6 April 1849 – Sussex, Inggris 4 Agustus 1928)

Ameer Ali adalah tokoh pembaru pemikiran Islam, sejarawan, pengacara, dan guru besar hukum Islam. Ia memiliki pertalian darah dengan Ali ar-Rida, imam ke-8 Syiah. Kakeknya, Ahmad Afzal Khan, adalah prajurit Nadir Syah (penguasa Iran; 1688–1747) yang ikut menyerang Delhi, India, lalu menetap di sana. Ayahnya, Sa’adat Ali Khan, adalah seorang dokter.

Ameer Ali memulai pendidikannya di Muhsiniyah College di Calcutta. Di samping itu, ia juga mempelajari dasar agama Islam dalam bahasa Urdu langsung pada seorang maulvi (guru). Setelah menyelesaikan sarjana muda di bidang hukum dan master di bidang sejarah pada 1868, ia melanjutkan pendidikan hukum ke London atas beasiswa dari pemerintah Inggris. Ia menyelesaikan pendidikannya pada 1873. Kemudian ia kembali ke India dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris, pengacara, dan guru besar dalam hukum Islam.

Pada 1909 Ameer Ali menetap di London, karena ia diangkat sebagai anggota Judicial Committee of Privacy Council (Dewan Kehormatan Komite Pengadilan). Ia orang India pertama yang menduduki jabatan terhormat itu. Ketika Liga Muslim India berdiri pada 1906 di India, Ameer Ali juga ikut mendirikan cabang organisasi ini di London. Akan tetapi, Ameer Ali kemudian keluar dari Liga Muslim, karena organisasi ini bekerjasama dengan Kongres Nasional India dalam tuntutan “mendirikan pemerintahan sendiri untuk India”.

Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, khususnya sejarah dan sastra, telah terlihat sejak ia kecil. Ketika masih belajar di Muhsiniyah College, ia sudah membaca buku penting yang berbahasa Inggris, seperti The Decline and Fall of the Roman Empire karya Gibbon, Paradise Lost karya Milton, dan beberapa karya Shakespeare.

Karya Gibbon tersebut telah selesai dibaca ketika ia berumur 12 tahun. Melalui buku itulah timbul kekagumannya terhadap kebangkitan orang Islam (Saracenic). Tidak mengherankan bahwa kemudian ia sangat berminat untuk menjadi ahli sejarah Islam.

Ternyata di kemudian hari ia sangat dikenal dengan dua buku sejarah Islamnya, yaitu The Spirit of Islam (Api Islam, 1891) dan A Short History of the Saracens (Sejarah Ringkas Kebangkitan Umat Islam, 1899). Kedua buku ini telah berulang kali dicetak ulang sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Kegiatannya di bidang politik dimulai dengan mendirikan National Muhammaden Association 1877 yang bertujuan menciptakan rasa persamaan dan persaudaraan sesama bangsa India, sekaligus untuk melindungi kepentingan kaum muslimin India dan sebagai sarana latihan politik bagi mereka.

Organisasi yang didirikannya itu kemudian menjadi besar dengan 30 cabang tersebar di berbagai dae­rah. Secara de facto dan de jure, organisasi itu merupakan organisasi yang mewakili umat Islam India dan keberadaannya meningkatkan rasa percaya diri umat Islam India.

Ameer Ali melihat bahwa ide Sir Sayid Ahmad Khan untuk memajukan umat Islam India melalui pendidikan saja tidak cukup. Menurutnya, upaya pendidikan itu harus dibarengi dengan kegiatan politik; jika kedudukan politik umat Islam India tidak digairahkan dan dinaikkan, mereka akan senantiasa kalah oleh komuni­tas Hindu. Pandangan Ameer Ali itu diikuti tokoh pembaru Islam berikutnya, seperti Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah dalam bentuk the two nation theory (teori dua negara).

Sebagai seorang tokoh pembaru pemikiran Islam, Ameer Ali melontarkan pemikiran rasionalnya dengan tujuan untuk kemajuan umat Islam India. Pemikiran rasional yang dilontarkannya antara lain tentang ijtihad, rasionalisme, dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang ijtihad ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam saat itu antara lain disebabkan adanya anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan adanya sikap berpegang teguh kepada pendapat ulama abad ke-9 yang situasi dan kondisinya tentu jauh berbeda dengan­ kondisi umat Islam di zamannya.

Menurutnya, ijtihad tersebut tidak dapat dipisahkan dengan rasionalisme dan kebebasan berkehendak manusia. Ketika akan membahas persoalan ini, ia memulainya dengan membahas firman Allah SWT dalam surah ar-Ra‘d (13) ayat 11 yang intinya menyatakan bahwa perubahan nasib tidak akan muncul bagi umat Islam sebelum mereka berupaya mengubahnya sendiri.

Dari ayat tersebut ia berkesimpulan bahwa Allah SWT memberikan kesempatan yang luas bagi manusia untuk mengubah keadaan mereka sendiri, sekaligus menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak. Oleh sebab itu, umat Islam tidak harus terkungkung pendapat lama yang barangkali tidak relevan lagi untuk zaman sesudahnya. Ia mengemukakan berbagai argumen yang menyatakan bahwa Islam sangat menghargai penemuan akal manusia yang berawal dari kebebasan berpikir dan berkehendak.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ijtihad sebagai sarana untuk mencapai berbagai penemuan haruslah bersifat rasional dan semestinya lebih memajukan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Bertolak dari hal ini, Ameer Ali melihat bahwa kebebasan berkehendak manusia dengan ijtihad dan ilmu pengetahuan merupakan aspek yang amat rasional dalam Islam.

Aspek inilah yang akan membawa umat Islam kepada kejayaannya, sebagaimana yang telah dibuktikan para ilmuwan periode awal Dinasti Abbasiyah. Untuk mengantisipasi keadaan ini, ia mengatakan bahwa semangat ijtihad, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, dan sikap rasional umat Islam harus dibangkitkan kembali.

Pandangan lain yang dikemukakan Ameer Ali adalah mengenai akhirat. Menurutnya, gagasan hidup akhirat tersebut merupakan fenomena umum umat manusia sejak zaman primitif. Gagasan ini muncul ketika umat manusia merasa ingin berkumpul kembali dengan orang yang mereka kasihi dan telah terpisah dari mereka oleh kematian. Dengan berbagai bukti sejarah, ia mengemukakan pandangannya secara kronologis.

Ia berpendapat bahwa ajaran tentang adanya hari akhirat memiliki nilai strategis yang penting, karena melalui ajaran ini umat manusia telah dilatih dengan prinsip tanggung jawab. Ajaran ini dapat menggerakkan perseorangan atau bangsa untuk berbuat yang terbaik untuk dirinya dan orang lain, meninggalkan perbuatan yang tercela, dan sekaligus mengangkat derajat umat manusia.

Sehubungan dengan masalah wanita dan perbudakan, Ameer Ali berpendapat bahwa sejarah membuktikan betapa kejamnya manusia kepada kaum wanita dan budak. Islam menawarkan konsep bagaimana sebaiknya memperlakukan wanita dan bagaimana caranya memberantas perbudakan tersebut, sehingga kaum wanita dan budak dapat menduduki tempat terhormat sesuai dengan kodrat mereka.

Dikatakannya pula, sekalipun membenarkan poligami, Islam sebenarnya menganut sistem monogami dalam perkawinan. Poligami hanya diizinkan dalam bentuk terbatas pada situasi dan kondisi yang amat sulit.

Dalam masalah perbudakan, Ameer Ali berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu bukti nafsu dan kesombongan manusia. Perbudakan itu ada dalam sejarah hidup manusia dari semua bangsa, seperti Yahudi, Yunani, Romawi, dan Jerman.

Agama Kristen sebagai suatu sistem dan suatu kepercayaan tidak melontarkan protes terhadap perbudakan dan tidak memberikan peraturan dan cara memberantasnya; bahkan membiarkannya berjalan sebagaimana adanya. Barulah ketika Islam datang, perbudakan secara perlahan-lahan tetapi pasti dihapuskan Islam melalui berbagai cara. Pembebasan budak dijadikan sebagai salah satu bentuk sanksi hukuman bagi pelanggar tindak pidana atau ajaran tertentu.

Pemikiran Ameer Ali tidak hanya berpengaruh di India, tetapi juga menyebar di bagian dunia Islam lainnya. Kedua bukunya yang disebutkan di atas menjadi rujukan di berbagai perguruan tinggi Islam.

Daftar Pustaka

Ahmad, Aziz. Islamic Modernisme in India and Pakistan, London: Oxford University Press, 1967.
Ali, Amir. A Short History of The Saracens. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
–––––––. Islamic Hitory and Culture. Delhi: Amar Prakashan, 1981.
–––––––. The Spirit of Islam. New York: Humanities Press, 1974.
al-Biruni. Makers of Pakistan and Modern Muslim India. Lahore: Muhammad Ashraf, 1950.
Haq, Muhir U. Islam in Secular India. Simla: Indian Institute of Advanced, 1972.
–––––––. Muslim Politics in Modern India 1857–1947. Meerut: Meenakshi Prakashan, 1970.

Nasrun Haroen