Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi dan terunik; Zat Yang Maha Suci dan Yang Maha Mulia; dan asal serta tujuan kehidupan. Para filsuf di zaman kuno menamai Allah SWT antara lain dengan Pencipta, Akal Pertama, Penggerak Pertama, Penggerak yang Tiada Bergerak, Puncak Cita, dan Wajib al-Wujud.
Allah SWT adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah yang mereka tentukan.
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Ilah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha, yang berarti Allah. Kata Ilah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Dengan penambahan huruf alif lam di depannya sebagai kata sandang tertentu, kata Allah dari kata al-Ilah dimaksudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan Pencipta Alam Semesta.
Kata Allah adalah satu-satunya ism ‘alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat Yang Maha Suci. Nama lain sekaligus mengacu pada sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) yang berarti Allah mempunyai sifat perkasa.
Kata Allah sudah dikenal masyarakat Arab sebelum Islam. Itu terlihat dari nama mereka yang mengandung kata tersebut, seperti nama Abdullah (Abd Allah). Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat orang yang menganut agama wahyu sebelum Islam, yang hanya menyembah Allah SWT, sebagaimana yang dilakukan kaum Hanif.
Konsep masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekah, mengenai Allah SWT dapat diketahui melalui Al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan (QS.29:61, 63; QS.31:25; QS.39:38; QS.43:9,87; QS.13:17; QS.16:53; dan QS.29:65). Mereka merendahkan diri dan bersumpah pun atas nama-Nya (QS.6:109; QS.16:38; dan QS.35:42).
Zat Allah SWT lebih besar dari apa yang dikuasai akal manusia, dari apa yang terjangkau pikiran manusia atau yang mungkin diduga akal dan pikiran manusia. Akal dan pikiran manusia terbatas; Allah SWT menguasai segala batas yang membatasi akal pikiran manusia. Karena itu, akal pikiran manusia tidak akan pernah mampu mengetahui Zat Allah SWT.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal atau benda yang hakikatnya tidak terlalu penting untuk diketahui, sekalipun digunakan dan dimanfaatkan, misalnya hakikat listrik dan magnet. Oleh sebab itu, ajaran agama melarang manusia untuk memikirkan Zat Allah SWT, tetapi lebih baik memikirkan ciptaan-Nya.
Sikap tersebut sama sekali bukan pengekangan terhadap kebebasan berpikir atau dukungan bagi kebekuan wawasan, melainkan sikap yang menyadari keterbatasan diri (akal dan pikiran) manusia, yang akan menolong manusia agar tidak terperosok dan tersesat oleh pemaksaan di luar batas kemampuannya.
Akal pikiran dilindungi dari usaha mencoba-coba yang tidak mempunyai kelengkapan sarana. Mengenai hal ini, Allah SWT telah mengingatkan manusia dalam surah an-Nahl (16) ayat 60 yang berarti: “…dan Allah mempunyai sifat Yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Sikap seperti itu sama sekali tidak mengurangi kejelasan wujud-Nya.
Wujud-Nya nyata bersemayam di dalam setiap jiwa, tercermin dengan jelas pada keajaiban dan keindahan segenap ciptaan serta keagungan tanda-tandaNya. Bahkan, orang kafir pun (seperti termaktub dalam QS.31:25) apabila ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka tentu akan menjawab, “Allah.”
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, para filsuf dan sarjana dari berbagai bidang ilmu, dengan argumentasi sesuai keahlian dan bidang ilmu masing-masing, menegaskan dan membuktikan wujudNya. Sepanjang sejarah itu pula, para nabi dan rasul mengajarkan bukan hanya masalah kebenaran wujud-Nya, tetapi juga bagaimana seharusnya tindak lanjut yang dilakukan manusia atas pengakuan wujud-Nya tersebut.
Dalil Wujud Allah SWT. Bagi seorang mukmin, perasaan batin atau fitrah adalah dalil pertama atas wujud Allah SWT. Adapun para ahli ilmu pengetahuan, yang baru merasa puas dengan dalil ilmiah, mengemukakan empat dalil tentang wujud-Nya.
Pertama, dalil kejadian. Dalil ini lahir dari perhatian dan penyaksian terhadap seluruh kejadian alam raya yang akhirnya mengarahkan pikiran pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun di alam raya ini terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menjadikannya, yaitu Allah SWT.
Kedua, dalil peraturan dan pemeliharaan. Dalil ini lahir dari pengamatan yang cermat terhadap gerak kehidupan dan sistem peredaran benda serta planet di langit yang mengantar pengetahuan manusia untuk menyaksikan keteraturan dan keterpeliharaan di dalamnya. Dengan itu semua, manusia memperoleh ilmu pasti mengenai sistem gerak dan peredaran benda serta planet di langit. Kepastian tersebut memastikan manusia dalam pikirannya akan wujud yang bertindak sebagai pengatur dan pemelihara, yaitu Allah SWT.
Ketiga, dalil gerak. Dalil ini lahir dari pengamatan yang mendalam setelah memperhatikan benda ringan yang memiliki sifat terapung atau ke atas dan benda berat yang tenggelam atau ke bawah dan memperhatikan matahari, bulan, dan benda langit lainnya tidak jatuh, sekalipun tanpa penyangga. Hukum yang dijumpai pada benda alam mengakibatkan pikiran manusia mengakui adanya wujud yang mengatur hukum gerak tersebut, yaitu Allah SWT.
Keempat, disebut juga dalil kejadian, dengan kerangka berpikir yang berbeda dengan dalil pertama. Apabila dalil pertama menyimpulkan bahwa apa yang ada di alam raya ini mustahil terjadi dengan sendirinya, dalil keempat ini menyimpulkan bahwa alam yang mustahil terjadi dengan sendirinya itu tidak ada sebelumnya atau ‘adam, kemudian menjadi ada atau mewujud, dan akhirnya habis atau fana. Proses dari ‘adam, kemudian mewujud, dan akhirnya fana itu membawa pikiran kepada keharusan mengakui adanya wujud yang menguasai dan menciptakan proses tersebut, yaitu Allah SWT.
Nama Allah SWT. Setiap nama Allah SWT pasti mengandung sifat yang berkaitan dengan nama dan keluhuran Allah SWT. Melalui wahyu-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya, Allah SWT memberitahukan kepada makhluk-Nya tentang nama-Nya. Nama Allah itu disebut dalam Al-Qur’an dengan al-Asma’ al-Husna yang berarti “nama-nama yang baik” (QS.7:180; QS.17:110; QS.20:8; dan QS.59:24). Al-Qur’an menyebut 99 nama atau sifat Allah (lihat faktaneka).
Ke-99 nama Allah SWT itu disebutkan da lam hadis. Sebuah hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyebutkan, “Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa saja yang menghafal nama-nama itu tentu masuk ke surga. Dia adalah tunggal (Esa), senang kepada yang tunggal/ganjil.”
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dikatakan, “Barangsiapa menghitungnya, tentu ia masuk surga.” Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh at-Tirmizi dengan tambahan sebagai berikut: “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia: Sikap dan pendirian untuk tidak melekatkan pada Allah SWT nama atau sifat yang tidak digunakan syarak (hukum Islam) sudah umum, sekalipun nama dan sifat tersebut mengesankan kesempurnaan, misalnya menyebut bahwa Allah SWT itu “Profesor Maha Jenius”.
Namun, penyebutan seperti itu masih dapat diterima, sejauh hal itu dimaksudkan sebagai penjelasan dari nama atau sifat tertentu dari Allah SWT (seperti al-‘Alim) dan tidak dipandang sebagai terjemahan yang baku dari salah satu nama atau sifat Allah SWT yang telah ditetapkan syarak.
Abu Bakar bin Arabi, setelah memeriksa ayat Al-Qur’an dan hadis, berhasil menghimpun 1.000 nama Allah SWT. Demikian juga beberapa ulama lainnya menyebutkan tidak hanya 99 nama Allah SWT. Nama Allah SWT yang banyak itu dimungkinkan karena ada di antara ulama yang membagi nama tersebut pada yang hakiki (sebenarnya) dan majasi (metafora).
Ulama yang membagi nama Allah SWT secara majasi mendasarkan diri antara lain pada hadis: “Janganlah kamu mencaci masa (zaman), sebab sesungguhnya Allah itulah masa” (HR. Muslim dari Abu Hurairah) dan “Biarkanlah ia mengeluh kesakitan karena keluhan itu adalah salah satu dari nama-nama Allah SWT yang disenangi oleh orang sakit” (HR. Aisyah RA). Semakin mudah suatu arti majasi ditangkap, nama Allah SWT akan semakin diperkaya; demikian pula sifat-Nya.
Sifat Allah SWT. Sifat Allah SWT, sebagaimana juga nama-Nya, yang tersebut dalam Al-Qur’an ada banyak sekali. Akal manusia tidak mampu mengetahui hakikat sifat-Nya itu. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memberi kesan kejisiman Allah SWT. Misalnya, yad Allah atau “tangan Allah” (QS.3:73, QS.5:64, dan QS.48:10); qabdatuh atau “genggaman-Nya” (QS.39:67); bi a‘yunina atau “dengan mata-mata Kami” (QS.54:14), wajhu rabbika atau “wajah Tuhanmu” (QS.55:27); dan istawa ‘ala al-arsy atau “Ia (Allah) bersemayam di atas singgasana” (QS.20:4).
Menghadapi ayat serupa itu, ulama cenderung untuk memahaminya secara majazi (metaforis), tidak sebagai hal yang benar-benar bersifat jisim (fisik) pada Allah SWT yang dianut al-Mujassimah/al-Musyabbihah (kelompok kecil di kalangan umat Islam). Dengan demikian mereka mengartikan kata yad Allah sebagai “kekuasaan Allah”, qabdatuh sebagai “kekuasaan-Nya”, bi a‘yunina sebagai “dengan perhatian Kami”, wajhu rabbika sebagai “diri Tuhanmu”, dan istawa ‘ala al-‘arsy sebagai “Ia berkuasa dalam kekuasaan-Nya”; demikian pula dengan ayat-ayat lain yang serupa.
Pemikiran tentang Allah SWT. Para sufi telah menambah ragam khazanah perenungan yang mendalam tentang Allah SWT, antara lain teori mahabah Rabi’ah al-Adawiyyah (w. 801), teori makrifat Zunnun al-Misri (w. 860), teori fana dan baka Abu Yazid al-Bustami (w. 874), teori hulul al-Hallaj (w. 922), dan teori wahdatul wujud Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 1240). Semua itu merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari para sufi untuk mengantar diri mereka dan juga manusia lain kepada suatu kondisi yang mengakibatkan seorang hamba merasa sangat dekat kepada Allah SWT.
Golongan kalam (teologi) dalam Islam melahirkan berbagai aliran dan mazhab, antara lain dua aliran besar, yaitu Muktazilah yang dipandang mewakili pemikiran kalam rasional dan Asy‘ariyah yang dipandang mewakili pandangan keagamaan/ketuhanan tradisional dengan membentenginya dengan pemikiran rasional. Dari kedua aliran inilah berbagai pemikiran kontemporer tentang Allah SWT lahir dan berkembang.
Daftar Pustaka
al-Asy‘ari. Kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. Cairo: al-Muniriyah, t.t.
al-Banna, Hasan. Allah fi al-‘Aqidah al-Islamiyyah, terj. Mukhtar Yahya. Sala: Ramadhani, t.t.
–––––––. Aqidah Islam, terj. M. Hasan Baidaie. Bandung: al-Ma’arif, 1983.
al-Bazdawi. Kitab Ushul ad-Din, ed. Hans Peter Lines. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
al-Ghurabi, Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah wa Nasy’at ‘Ilm al-Kalam. Cairo: t.p., 1958.
HAMKA. Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985.
Ibnu Taimiyah. al-‘Aqidah al-Wasitiyyah. Beirut: Dar al-Arabiyah, t.t.
Muhaiyaddeen, M.R. Bawa. Asma’ul Husna the 99 Beautiful Names of Allah. Philadelphia: The Fellowship Press, 1989.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
asy-Syahristani. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar Fikri, t.t.
St. Nursiah Hamid