Alamsjah Ratu Perwiranegara

(Kotabumi, 25 Desember 1925 – Jakarta, 8 Januari 1998)

Alamsjah Ratu Perwiranegara adalah mantan menteri Agama RI (1978–1983) yang berlatar belakang dunia militer. Ia juga pernah memangku berbagai jabatan lain seperti sekretaris negara, wakil ketua DPA, dan menko Kesra. Sebagai menteri Agama, ia pernah mengeluarkan keputusan tentang aliran kepercayaan dan penyiaran agama serta bantuan luar negeri untuk agama.

Alamsjah Ratu Perwiranegara menempuh pendidikan HIS (Hollandsch Inlandsche School; setingkat­ sekolah dasar), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs; setingkat SMP), dan SMA. Pada 1943, ia masuk tentara sebagai Pembela Tanah Air (Peta) dengan pangkat letnan dua. Ketika Belanda hendak kembali menguasai Republik Indonesia pascakemerdekaan 17 Agustus 1945, Alamsjah menjadi gerilyawan di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan.

Perwira muda Alamsjah dikenal sebagai seorang pemberani. Ketika bergerilya itulah ia bersama pasukannya pernah membakar Panjang dan Tanjungkarang sebelum Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang. Ia juga pernah memimpin perang 5 hari 5 malam di Palembang. “Tak ada yang menang, juga tak ada yang kalah,” katanya.

Di bidang militer ini kariernya terus menanjak, dengan pangkat terakhir sebagai letnan jenderal. Menjelang pembubaran PKI, Alamsjah adalah tokoh penting yang mendampingi Jenderal Soeharto. Pada 1966, ia menjadi koordinator staf pribadi ketua Presidium Kabinet, setahun berikutnya (1967) menjadi deputi khusus menteri Pangad merangkap koordinator staf pribadi ketua kabinet.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Alamsjah beberapa kali dipercaya memegang jabatan penting, antara lain sebagai sekretaris negara merangkap sekretaris operasional pembangunan (1968–1972), duta besar RI untuk Belanda (1972–1974), wakil ketua DPA (1977–1978), menteri Agama (1978–1983), dan menko Kesra (1983–1988).

Ketika nama Alamsjah diumumkan menjadi menteri Agama menggantikan Prof. Dr. H A. Mukti Ali, ia menjadi bahan pembicaraan karena tokoh yang satu ini bukanlah seorang ulama, tapi seorang militer dengan pangkat letnan jenderal. Alamsjah dilantik sebagai menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan III pada 31 Maret 1978. Ternyata, prestasinya tidak kalah dengan para menteri Agama yang berlatar belakang ulama.

Hanya 12 hari setelah dilantik, Alamsjah membuat gebrakan. Ia mengeluarkan Surat Keputusan No. 4 Tahun 1978 tertanggal 11 Maret 1978, yang berisi penegasan bahwa aliran kepercayaan itu bukanlah agama melainkan kebudayaan. Sejak saat itu, aliran kepercayaan dibina Departemen Pendidikan Nasional.

Penegasan Alamsjah tersebut cukup melegakan umat Islam, yang ketika itu sangat khawatir jika aliran kepercayaan disamakan dengan agama dan berada di bawah naungan Departemen Agama. Waktu itu reaksi masyarakat Islam terhadap aliran kepercayaan memang sangat keras, sampai-sampai para wakil Partai Persatuan Pembangunan (PPP) walk out dalam Sidang Umum MPR pada 1978.

Pada 23 Mei 1978, melalui Surat Keputusan No.44 Tahun 1978, Alamsjah memberi kebebasan berdakwah dan kuliah subuh melalui radio, tanpa memerlukan izin terlebih dahulu. Sebelumnya, menjelang Pemilu 1977, panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Sudomo, memberlakukan izin dakwah. Tapi, menurut Alamsjah, kebijakan itu perlu ditinjau kembali. Setelah diawali pertemuan dengan Sudomo, Alamsjah pun meluncurkan SK No. 44 Tahun 1978 itu.

Di masa Alamsjah menjadi menteri Agama, Pancasila sering kali dibenturkan dengan sebagian umat Islam, yang dianggap tidak mau menerima Pancasila. Alamsjah tahu itu, dan berupaya untuk menenteramkan. Untuk pertama kalinya, di pertengahan 1978, di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur, Alamsjah berpidato berapi-api, bahwa Pancasila adalah hadiah umat Islam untuk perwujudan negara Indonesia, karena tokoh umat Islam dalam BPUPKI bersedia mencoret 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945.

Tujuh kata tersebut adalah, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Menurut Alamsjah, hal itu menunjukkan pengorbanan luar biasa yang diberikan umat Islam. “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan,” katanya.

Pancasila, kata Alamsjah, milik umat Islam karena pembuatnya adalah tokoh pendahulu yang beragama Islam. Usai mengucapkan pernyataannya itu, KH Bisri Syamsuri, pemimpin Pondok Pesantren Denanyar yang juga Rois Aam Nahdlatul Ulama pada waktu itu, dengan spontan setengah berteriak mengatakan, “Wiwit saiki sapa sing nentang Pancasila, podo karo nentang aku.” (Mulai sekarang, siapa yang menentang Pancasila, sama dengan menentang saya). Sejak saat itu, sepanjang 1978, Alamsjah tiada henti-hentinya mengucapkan pernyataannya tersebut di berbagai tempat.

Masih di 1978, ketika berkembang isu “kristenisasi” dan “islamisasi”, Alamsjah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 (10/8/1978) tentang Tata Cara Penyiaran Agama. Surat keputusan ini dikeluarkan untuk melindungi seluruh umat beragama dari penyiaran agama oleh orang yang berbeda agama. Juga, Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 (15/8/1978) tentang Tata Cara Penerimaan Bantuan Luar Negeri yang berisi pengontrolan bantuan dari luar negeri terhadap agama tertentu di Indonesia.

Umat Islam menyambut baik kedua surat keputusan tersebut, tapi sebaliknya keputusan tersebut mendapat reaksi keras dari umat Katolik dan Protestan. Apa tanggapan Alamsjah? Ia tidak surut. Bahkan balik bertanya, “Bukankah ini sebagai kebijaksanaan yang mengatur cara bermain dan pengakuan terhadap eksistensi masing-masing? Bagaimana jadinya apabila tidak ada aturan main yang harus saling menghormati?

Demikian pula, akibat bantuan luar negeri yang tidak diketahui pemerintah?” Akhirnya, Surat Keputusan Nomor 70 dan 77 tersebut menjadi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1979 tentang Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri. Di masa Alamsjah itulah muncul istilah yang menjadi bidang garapannya, yakni Trilogi Kerukunan Hidup Beragama. Trilogi ini mengatur kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah.

Daftar Pustaka

Perwiranegara, Alamsjah Ratu. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama, 1980.
Sempurnadjaja, R. Krisna dan Suparwan G. Parikesit. H Alamsjah Ratu Perwirane-gara: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Tim Redaksi MBM Tempo. Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985–1986. Jakarta: PT. Grafitipers, 1986.
Wafatnya Jenderal Santri,” Gatra, Jakarta, 17 Januari 1998.

Herry Mohammad