Sultan Alauddin adalah raja Goa pertama yang masuk Islam bersama raja Tallo, Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Ayahnya bernama Karaeng Tunijallo (1545–1590) dan ibunya adalah saudari tiri raja Tallo. Nama sebenarnya adalah I Mangu’rangi Daeng Manrabia. Setelah wafat, ia digelari “Tumenanga ri Gaukanna” (yang beradu pada pengabdiannya).
Ada beberapa pendapat mengenai kapan Sultan Alauddin masuk Islam. Menurut buku harian raja Goa dan Tallo, yaitu Lontara Bilang, ia masuk Islam pada hari Jumat, 22 September 1603 (9 Jumadilawal 1012). Ligtvoet, seorang peneliti sejarah yang menerjemahkan Lontara Bilang ke bahasa Belanda, berpendapat bahwa tanggal yang tepat adalah Jumat, 22 September 1606 (19 Jumadilawal 1015).
Adapun para orientalis seperti Raffles, Van Solt, dan Speelman, berpendapat sama dengan buku harian raja Tallo dan Goa tersebut. Crawfurd dan Matthes mengemukakan tahun 1605 M/1014 H berdasarkan sumber lain, Kronik Tallo.
Sultan Alauddin adalah raja Goa ke-14. Ia adalah ayah Sultan Malik as-Said dan kakek Sultan Hasanuddin yang terkenal dengan gelar “Ayam Jantan dari Timur”. Nama “Alauddin” diberikan kepadanya setelah ia diislamkan oleh Abdul Makmur Khatib Tunggal bergelar Datok ri Bandang, salah seorang dari tiga penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang berasal dari Minangkabau.
Pengislaman Sultan Alauddin bersamaan dengan pengislaman raja Tallo yang juga menjadi mangkubumi (perdana menteri) Kerajaan Goa, yaitu I Malingkaang Daeng Nyonri, yang digelari Karaeng Katangka dan setelah masuk Islam dinamai Sultan Abdullah Awwal al-Islam.
Setelah Sultan Alauddin dan mangkubuminya masuk Islam, secara berangsur-angsur rakyat Goa dan Tallo juga diislamkan. Pengislaman itu baru selesai pada 1607 yang dinyatakan dengan penyelenggaraan salat Jumat pertama di Tallo pada 9 November 1607 (18 Rajab 1017).
Sultan Alauddin kemudian berusaha juga menyebarkan Islam ke kerajaan tetangganya, sebab ada kesepakatan tradisional antara raja di Sulawesi Selatan, bahwa siapa saja dari raja itu yang menemukan jalan yang lebih baik diimbau untuk menyampaikannya kepada raja tetangganya. Ajakan masuk Islam itu diterima baik oleh sebagian kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, namun ditolak oleh tiga kerajaan Bugis, yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo yang terikat oleh Aliansi Tellumpocco.
Karena penolakan itu, Sultan Alauddin melancarkan perang pengislaman terhadap tiga kerajaan tersebut pada 1607. Perang tersebut, yang dinamakan Perang Tamappalo, berhasil mengislamkan Kerajaan Soppeng pada 1607 (versi lain: 1609), Kerajaan Wajo pada 1610, dan Kerajaan Bone pada 1611 (menurut Lontara Bilang, 23 November 1611/23 Ramadan 1020).
Pada 1626 Sultan Alauddin melanjutkan penyebaran Islam dan perluasan pengaruhnya ke Buton, Dompu (Sumbawa), dan Kengkelu (Tambora, Sumbawa). Pada 1633 ia menerima pernyataan tunduk dari utusan Kerajaan Bima (Sumbawa). Pada 1638 ia menerima penyerahan daerah Mandar dari orang Gorontalo.
Sultan Alauddin meninggal dalam usia 53 tahun dan digantikan putranya, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung alias Karaeng Lakiung dengan gelar Sultan Malik as-Said, yang melanjutkan pengembangan agama Islam ke Bima, Kutai, Gorontalo, dan Buton. Nama Sultan Alauddin diabadikan menjadi nama IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di Makassar (dulu: Ujungpandang).
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, ed. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983.
Daeng, Patunru Abdurrazak. Sejarah Gowa. Makassar: KSST, 1969.
La Side. “Peranan Kerajaan Gowa sebagai Negara Maritim Abad 16–17.” Seminar Sejarah Nasional II. Yogyakarta: t.p., 1970.
Mattulada. Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti Baru, 1982.
Noorduyn, J. Islamisasi Makassar. Jakarta: Bharatara, 1972.
Raksakusumah, Said. Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan Melawan Penjajah Belanda Bagian I Gowa. Bandung: Sanggabudaya, 1976.
M Rusydi Khalid