Al-Murabitun adalah nama sebuah dinasti Islam yang berkuasa di Magribi dan Spanyol (Andalusia) pada tahun 448 H/1056 M–541 H/1147 M. Nama al-Murabitun berkaitan dengan komunitas muslim dalam ribat (Ar.: ribat; semacam madrasah) yang berbenteng. Mereka menyandang fungsi agama sekaligus militer; memiliki kualifikasi keagamaan tertentu seperti qari, muhadis, fukaha, dan sufi; serta sangat dihormati masyarakat.
Asal-usul dinasti ini berasal dari Lemtuna, salah satu puak dari suku Sanhaja. Mereka biasa juga disebut al-mulassimun (pemakai kerudung sampai menutupi wajah di bawah mata). Dinasti ini berawal dari sekitar 1.000 anggota pejuang.
Kegiatan mereka antara lain menyebarkan agama Islam dengan mengajak suku lain untuk menganut agama Islam. Mereka mengambil ajaran Mazhab Salaf (Gerakan Salafiyah) secara ketat. Wilayah mereka meliputi Afrika barat daya dan daerah Spanyol.
Sekitar abad 5 H/11 M salah seorang pemimpin mereka, Yahya bin Ibrahim, melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di tanah suci ini ia menyadari benar bahwa para pengikutnya masih awam terhadap ilmu pengetahuan agama. Untuk meningkatkan pengetahuan keagamaan mereka, dicarilah seorang yang sanggup melaksanakan tugas tersebut. Kemu dian Yahya bertemu dengan Abdullah bin Yasin yang bersedia mengemban tugas tersebut.
Untuk membina kehidupan keagamaan yang baik, Abdullah bin Yasin dibantu Yahya bin Umar (w. 447 H/1056 M–448 H/1057 M), seorang pemimpin puak Lemtuna, dan Abu Bakar bin Umar (saudaranya). Mereka mendirikan satu tempat penggemblengan yang dinamakan ribat yang terletak di Pulau Niger, Senegal. Para penghuni ribat tersebut di kemudian hari disebut al-murabitun.
Perkumpulan ini berkembang dengan cepat sehingga dalam waktu yang relatif pendek sudah dapat menghimpun sekitar 1.000 orang pengikut. Mereka berasal dari warga setempat ditambah para pemimpinnya dari Lemtuna dan Masufa. Para pengikut itu kemudian juga dikirim ke berbagai suku untuk menyebarkan ajaran mereka sehingga jumlah anggota al-Murabitun berkembang pesat.
Di bawah seorang pemimpin spiritual (Abdullah bin Yasin) dan seorang komandan militer (Yahya bin Umar), mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara. Kemudian mereka juga berhasil menaklukkan Kerajaan Sijilmasat yang dikuasai Mas‘ud bin Wanuddin al-Magrawi tahun 447 H/1055 M–1056 M.
Ketika Yahya bin Umar meninggal dunia, jabatannya digantikan saudaranya, Abu Bakar bin Umar. Kemudian Abu Bakar melakukan penaklukan ke daerah Sahara Maroko. Tahun 450 H/1058 M ia menyeberang ke Atlas Tinggi (High Atlas). Setelah itu diadakan penyerangan ke Maroko tengah dan selatan.
Selanjutnya ia memerangi suku Barghawata yang dianggap menganut paham bid’ah. Pada penyerangan ini Abdullah bin Yasin tewas (451 H/1059 M). Sejak saat itu Abu Bakar memegang tampuk kekuasaan secara penuh dan lambat laun ia berhasil mengembangkan sistem kesultanan.
Sebagai suatu kesultanan, Abu Bakar memandang wilayahnya masih terlalu kecil, khususnya negeri Agmat yang dijadikan sebagai tempat pemerintahannya. Oleh sebab itu, ia bermaksud memperluas wilayahnya. Dalam hal ini istrinya, Zaenah (bekas permaisuri raja Agmat), yang terkenal cerdas mempunyai peran besar dalam mendorong Abu Bakar untuk memperluas wilayahnya.
Abu Bakar berhasil menaklukkan daerah sebelah utara Atlas Tinggi dan akhirnya pada 462 H/1070 M ia dapat menaklukkan daerah Marrakech (Maroko). Kemudian ia mendapat informasi bahwa Bulugan, raja Kala dari Bani Hammad, mengadakan penyerangan ke Magribi dengan melibatkan sebagian kaum Sanhaja. Mendengar berita itu ia memutuskan kembali ke Sahara untuk menegakkan perdamaian di antara kaum al-Murabitun.
Sekembalinya dari Sahara, setelah berhasil memadamkan penyerangan Bulugan, ia menyerahkan kekuasaannya kepa-da Yusuf bin Tasyfin (w. 500 H/2 September 1107), karena ia mengklaim bahwa Maroko berada di bawah kekuasaannya. Akhirnya Abu Bakar kembali lagi ke Sahara dan kemudian hidup di Sudan sampai akhir hayatnya (1080).
Pada 1062 Yusuf bin Tasyfin mendirikan ibukota di Maroko. Ia juga berhasil menaklukkan Fez (1070) dan Tangier (1078). Pada 1080–1082 ia berhasil meluaskan wilayahnya sampai ke Aljir (Aljazair). Ia mengangkat para pejabat dari kalangan al-Murabitun untuk menduduki jabatan gubernur pada wilayah taklukan, sementara ia sendiri memerintah di Maroko.
Puncak prestasi dan karier politiknya dicapai ketika ia berhasil menyeberang ke Spanyol. Ia datang ke Spanyol atas undangan amir Cordoba, al-Mu’tamid bin Abbas, yang terancam kekuasaannya oleh Raja Alfonso VI (raja Leon Castilla). Dalam melaksanakan tugasnya ini, Yusuf bin Tasyfin mendapat dukungan kuat dari Muluk at-Tawa’if yang ada di Andalusia.
Dalam sebuah pertempuran besar di Zallakah, 12 Rajab 479/23 Oktober 1086, ia berhasil mengalahkan Raja Alfonso VI. Selanjutnya ia juga berhasil merebut Granada dan Malaga. Mulai saat itulah ia memakai gelar Amirulmukminin.
Pada akhirnya ia juga berhasil menaklukkan Muluk at-Tawa’if dan al-Mu’tamid, karena kelemahan intern. Kemudian ia menggabungkan wilayah itu ke dalam kerajaan yang te lah dibangunnya. Al-Mu’tamid menyerahkan kekuasaannya setelah anaknya sendiri tewas dalam suatu pertempuran di Cordoba.
Yusuf bin Tasyfin juga berhasil menaklukkan Almeria dan Badajoz. Namun di Laventa ia mendapat perlawanan sengit dari Ceuta dan pihaknya dapat dikalahkan di Cuarte. Akan tetapi, ia dapat memperoleh kemenangan kembali. Maridali ditaklukkan pada 503 H/1110 M. Kemudian Kerajaan Saragosa dan Pulau Balearic berhasil diduduki oleh Dinasti al-Murabitun.
Ketika Yusuf bin Tasyfin meninggal dunia, ia mewariskan kekuasaannya kepada anaknya, Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Warisan itu berupa satu wilayah kerajaan yang luas dan besar yang terdiri atas negeri di Magribi, bagian Afrika, dan Spanyol. Ali melanjutkan politik pendahulunya dan berhasil mengalahkan anak Alfonso VI pada 1108.
Selanjutnya ia menyeberang ke Andalusia, merampas Talavera de la Rein. Keponakannya, Mazdali, melakukan serangan ke Oreja dan Zorila, namun ia dapat dikalahkan, bahkan terbunuh di Mastava.
Ali menyeberang ke Andalusia untuk ketiga kalinya pada 511 H/1117 M dan kemudian menyerang Lambra, meskipun tidak berhasil menaklukkannya. Lambat laun Dinasti al-Murabitun meng alami kemunduran dalam memperluas wilayahnya. Hal itu disebabkan perubahan sikap mental mereka, yakni adanya kemewahan yang berlebihan.
Kondisi itu mengubah mereka dari sikap yang keras dalam kehidupan Sahara menjadi sikap yang lemah lembut dalam kehidupan Spanyol yang penuh gemerlap dan kemewahan materi.
Ali mengalami kekalahan pada pertempuran yang terjadi di Cuhera (522 H/1129 M). Kemudian ia mengangkat anaknya, Tasyfin bin Ali, menjadi gubernur Granada dan Almeria. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan moral kaum al-Murabitun di samping untuk mempertahankan serangan dari Raja Alfonso VII.
Dinasti al-Murabitun memegang tampuk kekuasaan selama sekitar 90 tahun dengan enam orang penguasanya, yaitu: Abu Bakar bin Umar (memerintah 448 H/1056 M), Yusuf bin Tasyfin (453 H/1061 M–500 H/1107 M), Ali bin Yusuf (500 H/1107 M–537 H/1143 M), Tasyfin bin Ali (537 H/1143 M–539 H/1145 M atau 541 H/1147 M), Ibrahim bin Tasyfin, dan Ishak bin Ali.
Dinasti al-Murabitun berakhir tatkala dikalahkan Dinasti Muwahhidun yang dipimpin Abdul Mukmin. Dinasti Muwahhidun ini menaklukkan Maroko pada 541 H/1146 M atau 1147 M yang ditandai dengan terbunuhnya penguasa al-Murabitun terakhir, Ishak bin Ali.
Daftar Pustaka
Brockelmann, Carl. History of The Islamic People. London: Routledge & Kegan Paul, 1982.
Gibb, Hamilton A.R. dan J.H. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.
ZUHAD