Al-Minangkabawi, Ismail Bin Abdullah al-Khalidi

(Batusangkar, Sumatera Barat, antara 1125 H/1713 M – 1260 H/1844 M)

Ismail bin Abdullah al-Khalidi al-Minangkabawi adalah seorang ahli fikih, tasawuf, dan ilmu kalam (teologi), dari Minangkabau.

Ismail al-Minangkabawi, (dikenal pula sebagai Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi) belajar mengaji Al-Qur’an di surau kampungnya. Setelah itu ia belajar membaca kitab Arab Melayu dan kitab Arab yang mencakup fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis, dan ilmu bahasa (nahu, sharaf, dan balaghah).

Selama 35 tahun Ismail al-Minangkabawi menuntut ilmu di Mekah, Madinah, dan tempat lain di tanah Arab.

Gurunya meliputi antara lain Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (w. 1161 H/1748 M), ahli fikih Mazhab Syafi‘i; Syekh Abdullah asy-Syarqawi (w. 1227 H/1812 M), mantan syekh al-Azhar, Cairo, dan ahli fikih Mazhab Syafi‘i; Syekh Abdullah Affandi, tokoh Tarekat Naqsyabandiyah; Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (Baghdad, 1192 H/1778 M–1242 H/1826 M), mursyid (pembibing rohani) dalam Tarekat Naqsyabandiyah; dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, ahli ilmu kalam.

Setelah menamatkan pelajarannya, Ismail al-Minangkabawi mulai menuangkan ilmu pengetahuannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Diceritakan oleh Syekh Husain bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri (w. 1242 H/1826 M) murid al-Minangkabawi, bahwa ia bertemu dengan gurunya itu di pelabuhan Bahrein dan belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepadanya.

Kemudian pelajaran tersebut dilanjutkanny di sebuah desa yang tidak disebutkan namanya, di luar kota Basrah, sampai keduanya berpisah di desa tersebut setelah beberapa lama.

Setelah pengembaraan panjang di kawasan Timur Tengah, Ismail al-Minangkabawi kembali ke kampungnya, Simabur (Batusangkar). Di sini ia mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat, dan ilmu tarekat. Dalam ilmu usuluddin, ia mengajarkan ilmu kalam Asy‘ariyah, terutama pelajaran sifat dua puluh.

Dalam ilmu syariat, ia mengajarkan fikih Mazhab Syafi‘i. Adapun dalam ilmu tarekat, ia mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Sejak masa itu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah berkembang di Sumatera Barat dan sekitarnya. Oleh karena itu, ia dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau.

Apabila dilihat perkembangan tarekat di Sumatera Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu, dan Tapanuli Selatan, jauh sebelum masa Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berkembang Tarekat Syattariyah yang berpu­sat di Ulakan, Pariaman, yang dibawa Syekh Burhanuddin (w. 1111 H/1704 M), murid Syekh Abdur Rauf Singkel.

Dalam prakteknya, Tarekat Syattariyah ini lebih mementingkan amal batin daripada amal lahir. Hal ini berlainan dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang menyeimbangkan amal lahir dengan amal batin.

Tarekat Naqsyabandiyah sendiri mempunyai dua aliran, yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, dan aliran kedua berasal dari Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi, salah seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang banyak melakukan modifikasi terhadap tarekat tersebut. Aliran yang kedua inilah yang dikembangkan Ismail al-Minangkabawi.

Selain di kampungnya, Ismail al-Minangkabawi juga mengamalkan dan menyebarkan ilmu pengetahuannya di luar wilayah Sumatera Barat. Raja Ali Haji menyebut dalam bukunya Tuhfah an-Nafis bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi sering datang ke Kerajaan Melayu Riau ketika ia menjadi raja muda Riau.

Ia sendiri yang menjemput Ismail al-Minangkabawi ke pelabuhan dan kemudian membawa nya ke istana. Di sini keluarga kerajaan berkumpul untuk mendengarkan wejangan dari ulama tersebut.

Ismail al-Minangkabawi begitu dihormati dalam wilayah Kerajaan Melayu Riau karena dalam silsilah keturunannya ia mempunyai pertalian darah dengan orang Melayu dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan.

HAMKA menulis­ dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, bahwa Raja Muhammad Yusuf (1858–1899), yaitu yamtuan muda Riau dari keturunan Bugis, menambahkan “al-Khalidi” di ujung namanya. Hal demikian menandakan bahwa ia adalah salah seorang pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tarekat tersebut dipelajarinya dari Syekh Ismail al-Minangkabawi yang berulang-ulang datang ke Pulau Penyengat.

Ismail al-Minangkabawi menulis beberapa buku yang menyangkut amal keagamaan sehari-hari yang akan dilaksanakan masyarakat, terutama dalam bidang akidah, fikih, dan tasawuf.

Karya tulisnya yang baru ditemukan hanya dua, yaitu Kifayah al-Gulam fi Bayan Arkan al-Islam wa Syurutih (Kecukupan bagi Anak dalam Penjelasan tentang Rukun Islam dan Syaratnya) dan Risalah Muqaranah ‘Urfiyah wa Tauzi‘iyah wa Kamaliyah (Risalah tentang Niat Salat).

Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan (sifat dua puluh) dan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang kewajiban muslim dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup penjelasan tentang bersuci, salat, puasa, haji, dan nikah.

Adapun kitab kedua adalah buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat yang ada di dalam hati dan lafal takbiratulihram pada permulaan pelaksanaan salat.

Di samping itu, ia mendiktekan karyanya pada muridnya, Syekh Husain bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri. Kitab tersebut diberinya judul ar-Rahmah al-Habitah (Rahmat yang Turun), yang mempertahankan kebolehan rabitah (berperantara) dalam beribadah kepada Tuhan.

Bahkan menurutnya, mengambil guru sebagai perantara dalam ibadah adalah suatu hal yang sunah. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surah al-Mai’dah (5) ayat 35 yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…”

Sebagai pengikut aliran Asy‘ariyah, Ismail al-Minangkabawi mewajibkan setiap muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode kaum Asy‘ariyah, yaitu diawali dengan pengenalan sifat Tuhan (sifat dua puluh).

Menurutnya, Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap sifat-Nya itu. Setelah itu setiap muslim diwajibkan mengetahui rukun iman lainnya.

Adapun sebagai penganut Mazhab Syafi‘i, ia secara ketat berpegang pada pendapat mazhab tersebut. Dalam bukunya Risalah Muqaranah ia mempertahankan pendapat kalangan ulama Mazhab Syafi‘i tentang kesertaan niat dan amal yang didasarkan atas definisi niat masyhur dalam Mazhab Syafi‘i, yaitu qaœd asy-syai’ muqtarinan bi fi‘lih (menyengaja sesuatu disertai dengan mengerjakannya).

Kekecualian definisi ini hanya pada ibadah puasa, yang terpisah antara niat dan pengamalannya. Di samping itu, ia juga menentang paham yang berkembang dalam tasawuf, yang menafikan eksistensi niat dalam amal ibadah apabila orang telah sampai pada maqam fana, baka, dan ittihad.

Ismail al-Minangkabawi diakui pula sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, yang silsilah pengambilan tarekatnya sampai kepada Nabi SAW. Kelebihannya dalam tarekat ini adalah bahwa ia menerima baiat tarekat ini dari dua syekh mursyid, yaitu Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi dan Syekh Abdullah Affandi.

Kiprah Syekh Ismail al-Minangkabawi dalam mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat dan sekitarnya telah berhasil dengan baik. Hal ini terbukti dengan berkembangnya tarekat ini di pelosok Sumatera Barat dan daerah sekitarnya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
Abdullah, Muhammad Sagir. Syekh Ismail al-Minangkabawi, Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Solo: Ramadhani, 1985.
HAMKA. Dari Perbendaharaan Lama. Medan: Firma Maju, 1963.
Khatib, Syekh Ahmad. Fatwa tentang Thariqat Naqsyabandiyah, terj. A.M. Arief. Medan: Firma Islamiyah, 1978.

Yunasril Ali