Al-Ma’mun

Khalifah ketujuh Abbasiyah adalah al-Ma’mun (lengkap: Abdullah Abu Abbas bin ar-Rasyid al-Ma’mun). Al-Ma’mun merupakan gelar kekhalifahan yang berarti “hamba Allah yang dipercaya”. Gelar keagamaan itu diberikan karena para khalifah­ Abbasiyah menganggap diri mereka sebagai khalifah pengganti Nabi SAW dan sekaligus juga khalifah di bumi.

Al-Ma’mun lahir pada pertengahan Rabiulawal­ 170 H/785 M. Bapaknya adalah Harun ar-Rasyid (khalifah Abbasiyah kelima, 170 H/786 M–194 H/809 M). Ibunya bernama Marajil, keturunan bangsa Persia (Iran), yang meninggal sewaktu melahirkannya.

Al-Ma’mun mempunyai tiga saudara, yakni al-Amin (kha­lifah keenam, 194 H/809 M–198 H/813 M), Ibra­him, dan al-Mu‘tasim (khalifah kedelap­an, 218 H/833 M–228 H/842 M).

Semasa kecilnya, al-Ma’mun sudah mempelajari berbagai­ ilmu pengetahuan. Ia banyak belajar ha­dis dari bapaknya, Harun ar-Rasyid, dan guru yang bernama Hasyim, Abid bin Awwam, Yusuf bin Atiah, dan lain-lain.

Di samping itu ia juga belajar sastra, fikih, tata bahasa Arab, dan filsafat. Al-Ma’mun termasuk keturunan Bani Abbas yang pintar, berpendirian kokoh, mempunyai cita-cita tinggi, suka menyantuni­ orang, berpengetahuan, berpikir logis, pembe­rani, dan dermawan.

Al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah ketujuh sewaktu­ berumur 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya (198 H/813 M–218 H/833 M) dipandang sebagai puncak keemasan dan kebesaran Daulah Abbasiyah.

Pengangkatannya sebagai khalifah dilatarbela­kangi perang saudara dengan pasukan al-Amin. Sewaktu al-Amin menjabat sebagai khalifah di Baghdad, al-Ma’mun menjadi gubernur (amir) di kota Khurasan (Merv, kini masuk Iran), ibukota Asia Tengah pada waktu itu.

Al-Amin dipengaruhi perdana menterinya (wazir) untuk membatalkan pewarisan kekhalifahan kepada al-Ma’mun dan mengangkat anak kand­ ungnya sendiri, Musa al-Amin.

Al-Ma’mun mencium adanya rencana ini dan kemarah­ annya bangkit. Di pihak lain al-Amin sadar­ akan perasaan saudaranya itu, maka ia mengirim­ utusan ke Khurasan untuk membawa al-Ma’mun ke Baghdad.

Perutusan itu ditolak al-Ma’mun. Atas penolakan ini al-Amin mengirim pasukan ke Khurasan. Al-Ma’mun yang mengetahui­ hal itu, segera mem­ persiapkan pasukan dan menyusul ke kota Rayy (Teheran sekarang). Di sini terjadi pertempuran dengan­ kekalahan di pihak pasukan al-Amin.

Serangan al-Amin kedua kalinya juga gagal karena­ ter­ jadi selisih pendapat antara para panglimanya­. Akhirnya al-Ma’mun mengepung Baghdad selama­ hampir setahun, sehingga mengakibatkan al-Amin meninggal dunia.

Setelah itu naiklah al-Ma’mun sebagai khalifah ketujuh Abbasiyah. Sampai 6 tahun berikutnya (198 H/813 M–204 H/819 M), ia tetap berkedudukan di Khurasan dan baru setelah itu memindahkan kedudukannya ke Baghdad. Maka selama waktu tersebut, ia lebih dipandang sebagai tokoh di Iran dan Khurasan daripada tokoh bangsa Arab.

Kebijakan ini diambil al-Ma’mun dengan tujuan:

(1) Ia ingin mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk­ ibukota­ atas wafatnya saudaranya,­ al-Amin; dan

(2) ia ingin menjajaki­ kekuatan­ pendukung saudaranya itu dalam lingkung­an kel­uarga Abbasiyah. Ia ingin menyelami pendirian­ sebenarnya keluarga Abbasiyah tentang dirinya,­ karena semenjak kecil ia lebih cenderung kepada keluarga ibunya (keturunan Persia) daripada­ keluarga bapaknya (keturunan Arab).

Di lain pihak kebijakan untuk tinggal beberapa­ tahun di Khurasan adalah guna memberikan­ kesempatan kepada unsur pendukung al-Amin untuk bernapas lega dan secara perlahan-lahan memperlihatkan dirinya sebagai lawan terbu­ka.

Ia juga dapat menyelami kemelut yang terjadi dan cara menghadapinya nanti setelah ia kembali ke ibu­kota (Bagh­dad). Tetapi pertempuran berikutnya malah terjadi bukan di Irak atau Khurasan, tetapi di Suriah, kemudian­ di Kufah, melawan keluarga Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat. Semuanya itu dapat dipatahkan pasukan­ al-Ma’mun.

Ada beberapa kebijakan al-Ma’mun selama kekhali­ fahannya yang menurut sejarawan sangat mempengaruhi­ perkembangan Islam pada masa berikutnya­. Ia memajukan ilmu pengetahuan­ dalam berbagai bidang disiplin ilmu.

Untuk itu, pada tahun 830 di Baghdad ia mendirikan Bait­ ulhikmah, perpustakaan terbesar pada za­mannya, yang juga berfungsi sebagai akademi dan balai penerjemah.

Lembaga ini, yang sebenarnya telah dirintis sejak zaman Khalifah Harun ar-Rasyid, menerjemahkan buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab di bawah pim­pinan Hunain bin Ishaq (w. 873), se­orang dokter beragama Kristen Nestorian, yang men­guasai berbagai bahasa. Para penerjemahnya diberi imbalan 500 dinar per bulan dan al-Ma’mun sendiri yang melakukan pembayarannya.

Maka filsafat, kebudayaan, dan sekolah Yunani seperti di Antiokia (Antakya, Turki) sangat berpengaruh di Baghdad. Karya sastra, karya ilmiah, dan filsafat Yunani menjadi berkem­bang.

Sikap keagamaan yang bebas dan rasional juga ber­kembang, sebagaimana aliran Muktazilah yang merupakan aliran teologi rasional. Dua buah tempat penelitian ilmiah (observatorium) dibangun, satu di Damascus dan satu lagi di Baghdad dekat Baitulhikmah.

Para ahli sejarah menilai bahwa al-Ma’mun adalah “Kaisar Augustus”nya orang Arab (pemerintahan Kaisar Oktavianus Augustus merupakan puncak kebesaran­ Kekaisaran Romawi pada tahun 14). Ia memahami betul bahwa para khalifah adalah pilihan Allah SWT dan hamba yang berguna untuk memajukan­ negara dan bangsa.

Baghdad menjadi pusat­ semangat ilmiahnya yang khas dan merupakan sumber ke­jayaan Eropa pada masa berikutnya. Pujian ini tidak terlepas dari corak kepemim­pinan al-Ma’mun yang berpikir rasional dan memadukan­ filsafat Yunani dengan ajaran Islam.

Per­nah suatu kali seorang yang beraliran Khawarij datang dan berkata kepadanya, “Apa peganganmu sebagai khalifah?” Al-Ma’mun menjawab, “Al-Qur’an.” Kata Khawarij itu lagi, “Apa bunyinya?” Lalu al-Ma’mun menyebutkan firman Allah yang berarti: “Barangsiapa yang tidak memutuskan hu­kum dengan apa yang telah diturunkan Allah, itulah­ orang-orang yang kafir” (QS.5:44).

Khawarij itu bertanya lagi, “Adakah engkau punya ilmu penge­tahuan?” “Ada,” kata al-Ma’mun, “yakni ijmak umat dan aku suka menakwilkan ijmak tersebut.” Lalu Khawarij itu berucap, ”sadaqta (engkau­ benar), assalamu ‘alaikum, ya Amir al-Mu’minin.”

Al-Ma’mun juga memberi kelonggaran gerak bagi kaum Syiah walaupun Daulah Abbasiyah beraliran Suni. Ini ter­bukti dari sebuah peristiwa pada 201 H/817 M, tahun yang merupakan titik balik yang sangat mendasar pada jalan pik­iran al-Ma’mun.

Ia mengutus tokoh Syiah menuju­ Madinah untuk mengundang Ali ar-Rida, keturunan­ Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Kedatangan ar-Rida di Khurasan­ disambut­ dengan penghor­matan. Kemudian al-Ma’mun mengawinkan ar-Rida dengan putrinya, Umm al-Fazl.

Secara tak diduga, ia meng­angkat ar-Rida menjadi khalifah penggantinya setelah ia meninggal. Lalu hal itu diumumkan ke wilayah Islam pada waktu itu.

Sebagai tanda kesungguhannya, ia menukar lambang resmi Abbasiyah yang berwarna hitam de­ngan warna hijau (lambang keluarga Alawiyin), baik pada pakaian resmi seperti jubah dan serban maupun panji, bendera, dan tanda lain kedaulatan Abbasiyah.

Dengan tindakannya itu, akan terjadi pergeseran kekuasaan dari keluarga Abbasiyah yang Suni kepada keluarga Alawiyin yang Syiah secara sukarela dan da­mai. Namun Ali ar-Rida meninggal sebelum al-Ma’mun wafat. Dengan demikian, pergeseran kekuasaan itu tidak terjadi.

Yang menjadi latar belakang kebijakannya itu adalah lebih akrabnya al-Ma’mun dengan keluarga­ ibunya daripada­ bapaknya. Pada sisi lain semasa mudanya ia melihat betapa seringnya terjadi permusuhan antara keluarga Abbasiyah dan keluarga­ Alawiyin sejak Daulah Abbasiyah terbentuk, padahal keduanya sama-sama keturunan Bani Hasyim.

Ia ingin men­damaikan kembali kedua keluarga­ ini sebagaimana keduanya menggulingkan Daulah Umayah sebelum Abbasiyah berdiri.

Keinginan al-Ma’mun untuk digantikan ar-Rida sebagai khalifah yang kedelapan menguatkan­ keyakinan Syiah Dua Belas, bahwa ar-Rida menjadi urutan kedelapan dari Dua Belas Imam Syiah.

Pada hakikatnya al-Ma’mun mempunyai maksud baik dalam melaksanakan kebijakan tersebut, tetapi­ fanatisme­ kel­uarga yang berkembang sejak lahirnya Syiah tidak hilang dari corak berpikir dan cara berkuasa Syiah pada masa berikutnya.

Kaum Syiah tak bisa melupakan perlakuan Bani Umayah, yang tidak memberi peluang pada mereka untuk bergerak,­ begitu juga perlakuan para khalifah Abbasiyah­ sebelum al-Ma’mun.

Justru inilah yang akhirnya menggagalkan kebijakan­ al-Ma’mun untuk menciptakan kedamaian­. Secara berangsur­-angsur ide Syiah mulai­ berkembang dan menguasai seluruh sistem pe­merintahan. Kemudian terjadilah ke­tidaksenangan pihak keluarga Abbasiyah lainnya yang mengakibatkan tim­bulnya berbagai pemberontakan dan pe­perangan antara kedua belah pihak.

Pada waktu itu al-Ma’mun berada dalam kebimbangan untuk angkat­ senjata, karena ia takut akan terjadi apa yang telah menimpa saudaranya, al-Amin.

Pada 204 H/819 M al-Ma’mun kembali ke Baghdad bersama para pengikutnya. Pada mulanya mereka masih memakai lambang warna hijau, dan hal itu tidak menjadi perhatian masyarakat Baghdad. Tetapi akhirnya terjadi rasa tidak senang masyarakat terhadap lambang tersebut, maka terpaksa al-Ma’mun menukar kembali warna hijau dengan warna hitam sebagai lambang warna Abbasiyah.

Pada masa aman inilah al-Ma’mun kembali me­lakukan pembenahan ke dalam. Perekonomian mulai dibenahi kembali. Pertanian dikembangkan secara luas dengan teknik maju. Anggur dari Shiraz dan Esfahan (keduanya kini di Iran) pada waktu itu menjadi komoditi utama dalam perdagangan seluruh­ Asia, demikian juga bahan tambang.

Al-Ma’mun mengembangkan paham Muktazilah,­ aliran teologi rasional. Hal ini terjadi karena kebijakannya untuk menyerap ilmu pengeta­huan yang berasal dari Yunani. Wa­laupun pada masa itu terdapat ulama dari Syiah, Khawarij,­ dan Suni, berbagai macam diskusi didominasi kaum Muktazilah.

Kesederhanaan ajaran Islam, yang berpangkal pada kesale­han, membuka pelu­ang munculnya berbagai macam bid’ah. Inilah yang diatasi kaum Muktazilah.

Akhirnya al-Ma’mun menjadikan aliran Muktazilah­ mazhab pemerintahan. Untuk itu, ia menjalankan tindakan mihnah (pemeriksaan keyakinan­ seseorang). Ia khawatir jangan-jan­gan di kalangan muslim muncul penafsiran bahwa Al-Qur’an itu kalam Allah.

Pada mulanya al-Ma’mun tidak menjelaskan pendirian­ nya secara terbuka, karena khawatir akan terjadi perbedaan pendapat dengan para ulama yang pada umumnya beraliran Suni. Barulah pada 212 H/827 M al-Ma’mun mengumumkan pendiriannya yang cenderung kepada Muktazilah, tetapi pada saat itu baru terbatas di kalangan istana.

Tokoh utama Muktazilah pada waktu itu, Ahmad bin Abi Dawud dan Su­mamah bin al-Asyras, mendorong­ al-Ma’mun untuk mengu­mumkan pendiriannya kepada umat secara resmi. Namun, ia masih dicegah hakim agung pada waktu itu, Yahya bin Aksum, yang menyarankan agar khalifah tidak condong kepada salah satu pihak. Barulah setelah Yahya bin Aksum wafat dan di­ gantikan Ahmad bin Abi Dawud, al-Ma’mun mengumumkan pendiriannya­ secara resmi.

Mihnah pertama-tama dilakukan al-Ma’mun di kalangan pejabat kehakiman, kemudian para ulama­ dan para gubernur, tetapi pemuka agama lainnya tak diganggu. Isi mihnah itu menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah.

Kalau Al-Qur’an itu kalam Allah, itu berarti Al-Qur’an itu kadim, sedangkan ia diciptakan, dan yang kadim hanyalah Allah. Siapa yang menolak keyakinan resmi itu dipecat dari jabatannya.

Pelaksanaan mihnah itu diserahkan kepada gu­bernur Baghdad, Ishaq bin Ibrahim. Pada mulanya mihnah ha­nya berakibat pemecatan bagi yang menentang,­ tetapi lama-kelamaan terjadi tindakan lebih­ keras.

Di samping ada yang dipenjarakan, juga ada yang dihukum mati. Hal ini, menurut al-Ma’mun, penting karena yang mengakui Al-Qur’an itu kalam­ Allah dan kadim sudah menjadi syirik dan harus dihadapkan kepada mata pedang. Tercatat al-Ma’mun melakukan lima kali tindakan mihnah.

Dari sederetan fukaha yang ditindak akibat mihnah, terdapat Imam Ahmad bin Hanbali, yang menentang pendapat Muktazilah, sehingga dibelenggu­ dan dipenjara.

Sebelum meninggal dalam usia 48 tahun, al-Ma’mun,­ sewaktu menunjuk saudaranya al-Mu‘tasim sebagai peng­gantinya menjadi khalifah kedelapan, meninggalkan sepucuk surat wasiat berisi perintah untuk melanjutkan kebijaksanaan mihnah tersebut dan selalu bermusyawarah dengan Hakim Agung Ahmad bin Abi Dawud.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ameer. The Spirit of Islam. New York: Humanities Press, 1974.
Amin, Ahmad. duha al-Islam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
Bek, Muhammad Khudari. Muhadharah Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1970.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic Peoples, transl. by Joel Carmichael and Moshe Perlmann. New York: Carpricorn Book, 1960.
von Grunebaum, Gustave E. Classical Islam: A History 600–1258. London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Hassan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-saqifi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hitti, Philip K. History The Arabs. London: The Macmillan Press LTD, 1974.
Kennedy, Hugh. The Early Abbasid Caliphate: A Political History. London, 1981.
Lapidus, Ira M. A History of The Islamic Society. New York: Cambridge University Press, 1989.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Tarikh al-Khulafa’. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Watt, W. Montgomery. The Majesty: That was Islam The Islamic World 661–1100. London: Sidgwick & Jackson, 1974.
YASWIRMAN