Al-Malahi

Alat permainan atau sesuatu yang memberi kesenangan kepada manusia sehingga lupa dan berpaling dari kewa­jibannya disebut al-malahi (jamak dari kata milha). Dalam Al-Qur’an, kata lahw (akar kata al-malahi) disebut sepuluh kali, lima di antaranya menerangkan sifat kehidupan dunia, seperti dalam surah al-An‘am (6) ayat 32: “Dan tiadalah ke­ hidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka.”

Dalam buku Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diter­bitkan Departemen Agama RI, lahw adalah se­suatu yang bersifat senda gurau atau sesuatu yang bersifat sandiwara belaka.

Dalam bentuk lain, sebagaimana dijelaskan Moham­mad Ali al-Hamidy (ahli di bidang akhlak) dalam bukunya Minhaj al-Muslim (Jalan Hidup Muslim), kata lahw dalam ayat surah al-An‘am (6) ayat 32 tersebut dapat berarti­ “sesuatu yang melalaikan orang untuk menger­jakan kewajiban atau sesuatu yang lebih penting”.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hal yang melalaikan tersebut antara lain dapat berupa harta­ yang berlimpah, kawan, para pengikut, dan kedudukan­.

Mustafa al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir al-Maragi mengartikan kata lahw sebagai “sesuatu yang menyibukkan­ manusia dan menyebabkan ia lupa mengerjakan­ sesuatu yang seharusnya dikerjakan”.

Ditam­bahkannya pula, kata lahw dapat juga berarti “segala sesuatu yang dapat membe­rikan­ kesenangan kepada­ manusia, sehingga mereka lupa mengerjakan­ pekerjaan lain yang lebih penting”.

Di dalam Al-Qur’an, ada kata lahw yang dihu­bungkan den­gan kata al-hadits, sehingga menjadi lahw al-hadits yang berarti “perkataan yang tidak berguna” (QS.31:6). Selain itu, ada pula kata lahw yang digunakan untuk menjelaskan sifat orang yang harus dijauhi atau tidak ditemani, yaitu mereka yang menggunakan­ agama sebagai alat untuk bermain-main dan senda gurau (QS.6:70 dan QS.7:51).

Kata al-malahi dalam pembahasan fukaha mengacu kepada alat musik yang dapat menyebabkan orang yang mendengarkannya menjadi lupa terhadap kewajibannya yang lebih penting.

Menurut Muhammad Husain al-Aqbi dalam kitabnya al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (Kumpulan Penjelasan­ tentang Kitab al-Muhadzdzab), alat yang dimak­sud adalah alat yang mempunyai ritme, melodi, dan harmoni, seperti seruling, mandolin, gitar, dan rebab.

Alat itu disebut al-malahi karena dapat menimbulkan suara yang merdu dan pada akhirnya meninabobokan dan melalaikan orang untuk mengerjakan sesuatu yang lebih penting­.

Di kalangan fukaha terdapat perbedaan pendapat tentang­ hukum mempergunakan alat musik. Imam Syafi‘i termasuk ke dalam kelompok­ yang mengharamkan membunyikan dan mendengarkan alat musik.

Ia mengatakan,­ adalah haram (hukumnya) bermain dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma). Hal ini didasarkannya­ pada hadis­ Nabi SAW yang berarti: “Barangsiapa yang bermain­ dengan nard maka berarti ia telah mendurhakai­ Allah” (HR. al-Baihaki). Akan tetapi Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa memainkan­ dan men­dengarkan alat musik adalah makruh (hukumnya).

Di samping fukaha, para ahli tasawuf pun berbicara­ mengenai hukum menggunakan dan mendengarkan­ alat musik itu. Menurut penilaian Abu Thalib al-Makki (ulama dari kalangan tasawuf), Imam Mujahid (sufi abad ke-2 H) tidak­ menyukai suatu pesta kecuali di dalamnya diperdengarkan­ musik dan nyanyian­.

Al-Ghazali juga termasuk ulama yang membolehkan­ pemakaian alat musik. Pada bab Adab as-Sima‘ wa al-Wajd (tata cara mendengar musik dan menjumpai realitas gaib/ rahasia hati) yang terdapa dalam kitabnya yang terkenal, Ihya ‘Ulum ad-Din, ia mengatakan bahwa sesuatu yang diden­gar telinga sangat berpengaruh­ terhadap hati.

Hati adalah gudang rahasia, dan rahasia tersebut dapat dimun­culkan melalui pendengaran. Karena itu, ia berpendapat bahwa se­ gala alat musik yang dapat menimbulkan suara yang merdu dan nikmat didengar akan dapat menggetarkan hati dan mengeluarkan segala rahasia yang tersimpan di dalamnya. Musik yang demikian itu perlu digunakan­.

Ia kemudian men­gatakan bahwa mendengarkan­ alat musik itu pada dasarnya mubah atau dibolehkan­ secara hukum. Namun, hukumnya dapat pula berubah menjadi haram, makruh, atau sunah, apabila­ ada ilat yang membawa kepada hu­kum tersebut. Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan­ bahwa mendengarkan­ suara yang merdu, baik yang ditimbulkan alat musik maupun nyanyian, tidak semestinya diharamkan.

Pendapat al-Ghazali tersebut didasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai­mana disebut dalam surah Luqman (31) ayat 19 yang berarti: “…Sesungguh­ nya seburuk­-buruk suara ialah suara keledai.” Menurutnya, ayat ini mengandung­ pujian terhadap suara yang bagus. Selain itu, juga didasarkan pada hadis Nabi SAW yang berarti: “Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali bagus suaranya” (HR. Ibnu Majah).

Al-Ghazali mengutip sab­da Rasulullah SAW yang isinya memuji Abu Musa al-Asy‘ari karena ia mempunyai serunai, “Sesungguhnya­ telah diberi­kan kepada Abu Musa al-Asy‘ari serunai dari serunai­-serunai keluarga Daud” (HR. Ibnu Majah).

Al-Farabi juga mendukung pemakaian alat musik dalam kehidupan. Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani (ahli filsafat dari Mesir) dalam bukunya al-Falsafah­ al-Islamiyyah (Filsafat Islam), al-Farabi adalah orang pertama yang meletakkan sejumlah dasar pelajaran tentang suara. Dialah orang pertama yang menjadikan musik sebagai ilmu yang berdiri sendiri di atas sejumlah kaidah dan teori.

Demikian juga halnya dengan Ibnu Sina yang mengakui al-Farabi sebagai gurunya walaupun ia tidak pernah bergu­ru langsung kepadanya­. Ia mendukung­ seni musik dan seni suara.

Al-Ahwani da­lam bukunya tersebut di atas menga­takan bahwa Ibnu Sina juga menggubah­ beberapa syair yang mengungkapkan hikmah filsafatnya, terutama­ dalam­ menjelaskan filsafat jiwa.

Dalam bukunya at-Tarbiyyah­ fi al-Islam (Pendidikan dalam Islam), al-Ahwani mengatakan­ bahwa Ibnu Sina menggunakan­ seni suara dalam bentuk syair untuk mengajarkan­ pendidikan akhlak dan budi pekerti ke­ pada anak-anak, karena, secara kejiwaan,­ anak-anak tersebut suka bermain, seni, dan rekreasi. T.J. de Boer (sarjana Belanda yang banyak mempel­ajari­ filsafat dan pemikiran keislaman),

Sebagaimana­ dikutip Zainal Abidin Ahmad (ahli filsafat)­ dalam bukunya Ibnu Sina (Avicenna) Sarjana dan Filosof Besar Dunia, juga mengatakan­ bahwa Ibnu Sina memuaskan jiwanya yang dahaga dengan cara bersyair, yakni menuliskan ajarannya melalui seni suara dan irama.

Perbedaan pendapat tentang al-malahi di atas disebab­kan adanya perbedaan dalam melihat efeknya. Menurut Muhammad Husain al-Aqbi, Imam Syafi‘i dan Abu Hanifah bersikap sebagaimana­ tersebut di atas, karena suara merdu yang dihasilkan alat itu menyebabkan manusia lupa beriba­dah kepada Allah SWT.

Adapun al-Ghazali dan kelompok yang membolehkan penggunaan alat musik bersikap demikian karena suara yang ditimbulkannya­ dapat membawa ketenan­gan dan kedamaian. Dalam­ suasana seperti itu, manusia dap­at berhu­bungan­ dengan Tuhan.

Menurut al-Ghazali, dengan mendengar­ musik dapat ditimbulkan­ pemahaman; dari pe­ mahaman akan timbul kesan atau perasaan yang men­dalam; dan perasaan itu dapat menimbulkan­ gerak pada badan.

Perkembangan alat musik dan kesenian dalam Islam, menurut M.M. Syarif (ahli filsafat) dalam bukunya Alam Fikiran Islam, dimulai pada abad ke-11 dan awal abad ke-12. Perkembangan ini disebabkan­ adanya penerjemahan buku karya para pemikir Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun (khalifah Abbasiyah, 198 H/813 M–218 H/833 M).

Di antaranya terdapat­ banyak buku musik. Sejak itu banyak orang di dunia Islam menulis buku musik dan teorinya,­ dan menciptakan­ alat musik yang baru. Ibnu Abd Rabbihi (246 H/860 M–328 H/940 M), penulis ber­kebangsaan Spanyol, menulis buku al-‘Iqd al-Farid yang menjelaskan riwayat hidup para ahli musik yang terkenal. Abu Faraj al-Isfahani menulis Kitab al-Agani yang berisi syair dan nyanyian Arab.

Omar Amin Hosein, ahli di bidang kebudayaan Islam, da­lam bukunya Kultur Islam mengatakan­ bahwa perkembangan­ seni musik dan penciptaan alatnya sangat berkaitan erat dengan ilmu bantu seperti matematika dan fisika.

Misalnya,­ teori tentang quadrivium (teori 4/4, yaitu teori yang tersusun atas matematika, musik, dan fisika) yang dapat disamakan dengan teori sempurna yang melingkupi teori 4/4.

Teori musik ini hanya dapat dibentuk oleh orang yang menguasai matematika,­ fisika, anatomi, dan ilmu suara. Menurutnya, para penulis teori musik Islam yang ahli dalam quadrivium pada umumnya adalah ahli dalam matematika­ dan fisika.

Pada tahap selanjutnya, musik menjadi kege­maran mas­yarakat pada umumnya. Menurut H.G. Farmer (ahli musik), dalam artikelnya yang berjudul­ “Music”, sejak abad ke-10 hampir setiap orang Arab yang mampu memiliki penyanyi dan ahli musik­ di rumahnya. Lebih lanjut dikatakannya­ bah­wa mereka­ setiap saat memiliki musik tertentu, yaitu ketika senang, susah, bekerja, bermain, berperang, dan bahkan dalam melakukan ibadah.

Daftar Pustaka

al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
–––––––. at-Tarbiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar Ma’arif, t.t.
al-Aqbi, Muhammad Husain. Sejarah Filsafat Islam, terj. R Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987
Arnold, Thomas and Alfred Guillame. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press, 1969.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Sin­ gapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar’i, t.t.
al-Hamidy, Mohammad Ali. Jalan Hidup Muslim, terj. Bandung: Dar al-Ma’arif, 1977.
Hosein, Omar Amin. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Tafsir al-Qurtubi al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur’an. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab al-Misri, 1979.
Syarif, M.M. Alam Fikiran Islam. Bandung: Diponegoro, 1979.
Rasyid Rida, Muhammad. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
Abuddin Nata