Abdul Ma‘ali al-Juwaini adalah seorang ahli fikih, usul fikih, dan ilmu kalam (teologi). Ia juga guru besar di Madrasah Nizamiyah, tempat Imam al-Ghazali pernah belajar. Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini an-Nisaburi, dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua Tanah Suci (Mekah dan Madinah).
Pertama kali al-Juwaini belajar kepada ayahnya, asy-Syaikh Abdullah, seorang keturunan Arab yang berdarah bangsawan. Untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, ia kemudian meninggalkan Nisabur dan pergi ke Baghdad. Setelah itu ia pindah ke Mekah dan Madinah. Ia menetap di sana selama 4 tahun sambil mengajar.
Atas permintaan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasah Nizamiyah di Nisabur, al-Juwaini kembali ke negerinya dan mengajar di madrasah tersebut sampai akhir hayatnya.
al-Ghazali, yang mendapat julukan Hujjah al-Islam (Pendekar Islam), adalah lulusan perguruan Nizamiyah yang diasuh al-Juwaini. Pemuka ulama Ahlusunah waljamaah dan pengikut Abu Hasan al-Asy‘ari ini juga disebut Abdul Ma‘ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat.
Diya’ ad-Din, yang berarti “cahaya agama”, merupakan gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena kelebihannya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam sehingga mampu menangkis serangan para pengikut golongan “sesat” yang telah terjerumus ke dalam kegelapan.
Al-Juwaini menonjol di kalangan ulama Asy‘ariyah karena kekhasan metodenya dalam membela paham Suni. Menurutnya, akidah yang benar didasarkan atas akal dan naql serta kombinasi antara keduanya. Akal adalah cahaya Tuhan yang bersifat fitrawi sebagai tanda kecintaan Tuhan kepada manusia dan untuk menjadi media (wasilah) bagi ilmu pengetahuan.
Adapun an-naql adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang kebenarannya wajib diyakini tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya ini, ia disebut generasi keempat pemuka dan ulama Asy‘ariyah, sejajar dengan al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi.
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan mantap membawanya kepada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula lah ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, bahkan pendapat Abu Hasan Asy‘ari sekali pun.
Al-Juwaini juga merupakan seorang pengarang yang produktif sebagaimana dapat dilihat dari belasan karya ilmiahnya yang meliputi berbagai cabang ilmu terutama:
(1) di bidang usul fikih, seperti al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih) dan al-Waraqah (Sehelai Kertas);
(2) di bidang fikih, misalnya Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab); dan
(3) di bidang ilmu kalam, seperti al-Kamil fi Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup), Risalah fi Usul ad-Din (Risalah tentang Dasar Agama), serta Nizamiyyah fi al-Arkan al-Islamiyyah (Sistematika Rukun Islam).
Daftar Pustaka
al-Badawi, Abdurrahman. Madzahib al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1971.
al-Juwaini. al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Doha: Matabi’ ad-Dawhah al-Hadisah, 1399 H/1979 M.
–––––––. Kitab al-Irsyad ila Qawati‘ al-Adillah fi Ushul al-I‘tiqad. Cairo: Maktabah al-Khaniji, 1950.
–––––––. Luma’ al-Adillah fi Qawa‘id Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah. Cairo: Dar al-Mishriyah li Ta’lif wa al-Anba’ wa an-Nasyr, 1965.
Musa, Jalal Muhammad. Nasy’ah al-Asy‘ariyah wa Tatawwuruha. Beirut: Dar al-Kitab al-Banani, 1975.
as-Subhi, Ahmad Mahmud. Fi ‘Ilm al-Kalam. Cairo: Mu’assasah at-Tahtafa al-Jamiyah, 1982.
Moch. Qasim Mathar