Al-Jabarti

(Cairo, 1167 H/1753 M–27 Ramadan 1237/22 Juni 1825)

Sejarawan­ Mesir terkenal ini menulis peristiwa yang terjadi di Mesir dan biografi tokoh terkemuka yang sezaman dengannya dalam bukunya, ‘Aja’ib al-Atsar fi at-Tarajum wa al-Akhbar (Peninggalan Mengagum­kan­ tentang Sejarah dan Biografi). Ia mengalami­ tiga zaman: Usmani Turki serta Mamluk (1517–1798), Perancis (1798–1801), dan Muham­ mad Ali Pasya (1801–1849).

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Hasan al-Jabarti. Nama al-Jabarti dinisbahkan ke­pada Jabart, sebuah karang kecil di Habasyah (Ethiopia). Nenek moyangnya berasal dari Habasyah dan menetap di Mesir sejak 7 abad sebe­lumnya.

Al-Jabarti berasal dari keluarga yang taat beragama dan aktif berkecimpung di dunia ilmiah. Beberapa orang di antaranya dikenal sebagai ilmuwan­ al-Azhar. Ayahnya sendiri, Hasan al-Jabarti (w. 1179 H/1765 M), adalah seorang ahli ilmu agama Islam dan ilmu pasti (terutama astronomi) lulusan al-Azhar yang kemudian mengabdikan diri pada almamaternya­.

Walaupun kaya, ayahnya hidup se­der­hana. Rumahnya merupakan tempat berkum­pul­ ulama dan tokoh agama. Ia dikenal sebagai­ tokoh yang mempunyai hubungan baik de­ngan para pejabat pemerintahan. Al-Jabarti memperoleh pendidikan dasar, terma­suk­ menghafal Al-Qur’an, di Madrasah as-Sananiyah di Cairo.

Di samping itu, ia juga belajar berbagai ilmu agama dari ayahnya dan ulama yang datang­ ke rumahnya. Dalam usia 11 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an. Setelah itu ia mempelajari­ Mazhab­ Hanafi pada Ab-durrahman al-Uraysyi, seorang­ ulama teman ayahnya. Dalam usia 14 tahun ia menikah.

Ia melanjutkan pendidikannya­ di al-Azhar sambil terus belajar astronomi, matema­­tika, dan hikmah dari ayahnya hingga ia berusia 21 tahun. Dalam lapangan ilmu, ia melanjutkan tradisi ilmiah yang di­kembangkan keluarga al-Jabarti.

Se­bagaimana ayahnya, al-Jabarti juga menjadi seorang ulama besar al-Azhar. Di samping di al-Azhar, ia juga memberi pengajian di masjid dan rumahnya.

Dengan kekayaan yang ditinggalkan ayahnya, ia mem­bangun sebuah gedung megah untuk kegiatan muzakarah bersama para mahasiswa yang datang. Di gedung ini ia membangun sebuah perpustakaan yang menghimpun banyak buku, sebagian peninggalan­ ayahnya.

Perpustakaan inilah yang menjalin dan mempererat hubungannya dengan ulama dan pejabat pemerintah, karena banyak di antara mereka yang datang ke “istana”nya itu untuk mem­baca buku yang jarang ditemukan­ di tempat lain.

Pada 1195 H/1782 M ia menikah lagi dengan­ putri Ali Abdullah­ Darwisy ar-Rumi, seorang pejabat pemerintahan Mamluk. Tidak dijelaskan, ke mana istrinya yang pertama. Dari istri kedua ini ia mendapatkan seorang putra yang bernama Khalil al-Jabarti.

Meskipun mertuanya seorang pe­jabat­ pemerintah, al-Jabarti sebagai seorang ulama banyak mengkritik pemerintahan Mamluk dan Usmani Turki di Mesir ketika itu.

Ketika Napoleon Bonaparte (jenderal dan kaisar Perancis; 1769–1821) menduduki Mesir, al-Jabarti termasuk salah seorang ulama yang meng­asingkan diri. Ia mening­galkan Cairo dan pergi­ ke Ibyar, tempat tanah perke­bunan­nya.

Tidak lama kemudian­ ia kembali ke Cairo atas undangan Napoleon, yang melibatkan banyak ulama Mesir dalam menjalankan pemerintahannya. Napoleon menjamin­ keamanan ulama yang berusaha meng­asingkan diri tersebut dan mengharapkan mereka­ kembali ke Cairo.

Karena aktivitas­ al-Jabarti­ di dunia ilmu sangat menonjol, Napoleon kemudian mengangkatnya sebagai sekretaris yang mengatur persoalan pemerintahan­. Walaupun­ menjadi pejabat­ tinggi pemerintahan­ pendudukan­ Perancis, daya­ kritiknya tidak berkurang,­ meskipun secara jujur al-Jabarti juga sering mengungkapkan hal positif pada bangsa­ Perancis.

Pada tahun pertama pemerintahan Muhammad Ali Pasya, ia juga menjadi seorang ulama yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah­. Kritiknya terkenal tajam. Dalam bukunya ‘Aja’ib al-atsar ia mengatakan­ bahwa Ali Pasya se­benarnya seorang perampok kekuasaan yang sah dari tangan golongan Mamluk.

Al-Jabarti mengkritik peme­rintahan­ Ali Pasya yang otoriter walaupun­ juga tidak menutup­ mata dari keberhasilan pembangunannya. Namun, ia juga menjabat sebagai mufti Mazhab Hanafi pada­ masa itu.

Sikap kritis al-Jabarti tidak disenangi pemerin­tah­. Karena itulah pemerintah berusaha membunuhnya­ pada 1822, namun gagal. Yang terbunuh adalah putranya, Khalil al-Jabarti, pada 20 Ramadan 1237 (18 Juni 1822).

Saat itu Khalil al-Jabarti telah menjadi seorang ahli astronomi (falak). Ia banyak melakukan penelitian astronomi,­ terutama tentang awal Ramadan dan awal Syawal. Hal yang terakhir ini dilakukan­nya­ di istana Muhammad Ali Pasya.

Menurut Khairuddin az-Zarkali, seorang sejarawan­ modern, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya al-A‘lam, Qamus Tarajim li Asyh­ur ar-Rijal wa an-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyrikin (Nama Terkemuka: Kamus Biografi­ bagi Tokoh Terkenal, Pria dan Wanita, di Kalangan Arab dan Cam­puran; 1954), yang melatarbelakangi pe­ristiwa itu adalah Muhammad Bek, seorang ben­dahara kerajaan, yang menaruh dendam kepada al-Jabarti setelah membaca karya al-Jabarti yang memuat kritik tajam­ terhadap pemerintah.

Akan tetapi, menurut Yusri Abdul Gani Abdullah, juga seorang seja­rawan modern, seperti dijelaskan dalam kitabnya Mu‘jam al-Mu’arrikhin­ al-Muslimin hatta al-Qarn ats-sani ‘Asyar al-Hijri (Kamus tentang Sejarawan Muslim sampai Abad ke-12 H), kematian al-Jabarti memang­ diinginkan dan kemudian direkayasa Muhammad Ali Pasya sendiri; Muhammad Bek bertindak­ dengan sepengetahuan Muhammad Ali Pasya.

Akan tetapi, karena tidak berhasil mem­bunuh al-Jabarti, sasaran dialihkan kepada putranya. Pelaku pembunuhan bernama Sulaiman Agha.

Kematian putranya sangat berpengaruh atas diri al-Jabarti. Ia sering menangisinya sehingga matanya­ menjadi buta. Setelah itu ia hidup menyendiri, cenderung menjadi zahid. Kondisi kesehatannya dengan cepat menurun sehingga ia tidak sanggup lagi menulis dan membaca.

Al-Jabarti sebagai Sejarawan. Al-Jabarti meninggalkan sebuah karya besar dalam bidang sejarah yang berjudul ‘Aja’ib al-atsar fi at-Tarajum wa al-Akhbar (4 jilid), yang dikenal juga dengan nama Tarikh al-Jabarti.

Buku sejarah ini dimulai dengan mukadimah, dilanjutkan dengan peristiwa pada 1099 H/1688 M, dan berakhir dengan peristiwa 1236 H/1821 M. Informasi 1099 H/1688 M–1170 H/1757 M bersumber dari riwayat yang diteri­manya­ dari generasi yang lebih tua, di samping dari dokumen resmi, prasasti, nisan kubur, dan peninggalan tertulis lainnya.

Informasi­ dari tahun­ 1171 H/1757 M dan seterusnya, menurut pengaku­an­nya­ sendiri,­ bersumber dari ingatannya karena di­alaminya­ sendiri. Banyak peristiwa yang dialaminya­ terjadi ketika ia sebenarnya masih sangat muda.

Informasi yang bersumber dari ingatannya dapat dibagi dua: (1) peristiwa 1171 H/1757 M dengan­ tulisan singkat dan (2) peristiwa setelah 1190 H/1776 M dengan tulisan panjang lebar dan terpe­rinci. Tulisan setelah 1190 H/1776 M mirip dengan laporan jurnalistik di surat kabar, karena ia menulis semua peristiwa yang dialaminya.

Kesahihan laporan yang ditulis ­ al-Jabarti, terutama peristiwa yang langsung dialaminya, tidak diragukan,­ karena di sampin­g­ jujur, ia juga ilmuwan yang mampu mereflek­­sikan apa yang dialaminya.

Dalam penulisan sejarah Mesir pada masa Usmani Turki, al-Jabarti mempunyai kelebihan diban­ding­kan dengan sejarawan lainnya, karena dua hal.

(1) Ia menggambarkan masyarakat Mesir pada masa­ itu dengan sempurna serta berusaha melakukan penelitian mendalam terhadap peristiwa yang ditulisnya­.

(2) Ia menyatakan di dalam bukunya bahwa ia menulis sejarah bukan karena perintah penguasa­. Ia seorang ilmuwan independen. Tidak ada tan­da bahwa ia berusaha “menjilat” dengan memuji-muji para penguasa agar memperoleh keuntungan, baik moral maupun materiil. Ia bersikap netral dan bahkan kritis terhadap penguasa.

Buku yang paling lengkap menerangkan sejarah Mesir pada abad ke-12 dan ke-13 H ini sudah diterjemahkan­ ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan­ di sana. Secara garis besar, karyanya ini dapat­ dibagi atas dua bagian: bagian pertama tentang peristiwa sejarah dan bagian kedua tentang biografi para tokoh.

Yang terakhir ini mempunyai­ nilai sosial yang sangat besar karena ia menggambarkan­ secara terperinci kehidupan pendudukan Dunia Islam bagian timur.

Di samping karya besarnya di atas, ia juga me­nulis buku lain yang berjudul Mazhar at-Taqdis (Fenomena Pentahbisan), sebuah catatan terperin­ci­ tentang proses pendudukan Perancis atas Mesir.

Buku ini diterbitkan kembali dalam bahasa Arab berbentuk ringkasan pada 1960-an, tanpa suntingan, dan dibagikan di sekolah yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Pengajaran­ Mesir. Bentuk utuh buku ini dalam bahasa Arab tidak pernah terbit lagi.

Yang ada adalah terjemahan Cardin, yang diterbitkan di Paris pada 1838 dalam bahasa Turki dan Perancis. Menurut sejarawan Von Kremer, terjemahan ini sangat tidak sempur­na­.

Dapat dikatakan bahwa al-Jabarti adalah seorang sejarawan yang dengan sadar menghidupkan kembali ilmu sejarah (historiografi) Arab-Islam di Mesir. Pada masa pemerintahan Usmani Turki (1300–1922) yang berpusat di Istanbul, buku sejarah yang bermutu­ tidak banyak lagi muncul dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa Turki.

Bahkan dapat dikata­kan bahwa sebelum munculnya karya al-Jabarti, pada masa itu tidak ada lagi buku yang dapat disejajarkan­ dengan karya sejarah dalam bahasa Arab dari masa sebelumnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendudukan Usmani Turki di wila­yah­ Arab, termasuk Mesir, telah menghilangkan historiografi Arab-Islam secara menyeluruh­.

Memang­ masih ada karya tulis sejarah yang ber­sifat lokal sejak awal abad ke-16 hingga abad ke-19 di Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Irak, tetapi sangat terbatas. Oleh karena itu, ketika muncul dengan karya besar sejarahnya, al-Jabarti dinilai sebagai seorang pahlawan­ sejarah Arab-Islam yang memberi nyawa baru terhadap ilmu ini.

Kehadirannya dipandang sebagai momentum­ kebangkitan kembali penulisan sejarah Arab-Islam, terutama di Mesir. Apalagi ternya­ta­ angin segar yang ditiupkannya itu segera mendapat respons positif. Banyak ilmuwan menjadi­ pelanjutnya.

Al-Jabarti sebagai Pembaru. Dari tu­lisan­nya­ dapat diketahui bahwa ia seorang yang berpikiran bebas. Ia menganut akidah gerakan Salafiyah dan banyak mengajukan­ kritik terhadap bid’ah. Ia tak pernah mengikuti acara maulid (atau haul) para wali.

Menurutnya, acara seperti itu keluar­ dari ajaran agama dan hanya mengikuti nafsu. Oleh karena itu, ia mendukung kebijakan pemerintahan­ pendudukan Perancis yang melarang acara seperti itu.

Dalam tulisannya jelas terlihat bahwa ia mendukung­ ajaran Waha­bi. Ketika berhasil­ menguasai Mekah, orang Wahabi mengirim dan menyebarkan­ sebuah makalah ke Mesir yang berisi ringkasan ajaran yang mereka anut dan dakwah yang mereka lakukan.

Setelah membaca makalah itu, al-Jabarti berkomentar, “Kalau memang demikian,­ maka ini adalah ajaran yang juga kita anut. Inilah ringkasan­ bab tauhid.” Ia juga menyatakan bahwa kalau ada ulama atau penguasa yang menentang­ gerakan Wahabi, itu hanyalah karena­ dorongan duniawi.

Ketika gerakan Wahabi dihan­curkan Ali Pasya, banyak tokoh Wahabi di­tawan di Mesir. Di samping itu, banyak juga yang datang mengasingkan­ diri ke Mesir. Al-Jabarti sering mengun­jungi­ mereka dan memuji pemimpin mereka­ karena keikhlas­an­ dan kemurnian­ akidahnya. Pujiannya­ terhadap gerakan ini menjadi salah satu faktor ketidaksukaan Ali Pasya kepadanya.

Seperti telah disebutkan, walaupun banyak meng­ajukan kritik terhadap pemerintahan pendudukan­ Perancis, al-Jabarti secara jujur juga sering mengungkapkan­ hal positif pada bangsa Perancis. Oleh karena itu, banyak orang Mesir me­ni­lainya sebagai kaki tangan Perancis, kendati Perancis sendiri menilainya sebagai seorang fanatik­.

Dalam tulisannya, misalnya, ia menjelaskan bahwa kehadiran orang Perancis membawa peradaban­ baru yang lebih tinggi dari peradaban Usmani Turki dan Mamluk, tidak hanya dari sisi materiil,­ tetapi juga dalam banyak aspek sosial dan sistem politik.

Ia memuji pemerintah Perancis dalam mem­­perlakukan para buruh yang bekerja pada proyek mereka. Orang Perancis memberi gaji lebih besar dari biasa, mengistirahatkan para buruh pada waktu zuhur, dan menyediakan alat yang dapat meringankan beban para buruh.

Sebelumnya, banyak buruh yang meninggal pada saat bekerja, sedangkan pada masa pendu­dukan Perancis hal ini tidak terjadi lagi. Ia tidak takut mengungkapkan­ kenyataan itu meskipun dengan risiko mendapat kecaman dari rekan segenerasinya, termasuk ulama.

Di samping itu, ia juga banyak memuji­ kegiatan lembaga ilmiah Institut d ‘Egypte yang didirikan Napoleon, dan menilai positif ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyyah), termasuk­ teknologi yang digunakan dalam lembaga itu.

Banyak ulama menolak apa yang dibawa Napoleon,­ terutama­ bidang pemikirannya, sedangkan­ al-Jabarti melihatnya­ sebagai ken-yataan yang harus diterima. Ia menilai positif sistem politik, sosial, peradaban, dan hukum yang berlaku dalam peme­ rintahan Perancis. Pendapat dan sikapnya­ ini merupakan­ sesuatu yang baru pada masa itu.

Oleh karena itu, Lewis Iwadh, seja­rawan kontemporer,­ di dalam bukunya Tarikh al-Fikr al-Misri al-hadits min al-hamlah al-Faransiyyah ila ‘Asr Isma‘il (Sejarah Pemikiran Mesir Modern, Mulai dari Masa Ekspansi Perancis sampai Masa Pemerintahan­ Ismail), menyata­kan bahwa al-Jabarti termasuk salah seorang dari generasi pertama Mesir yang meletakkan dasar pemikiran Mesir mo­dern.

Pendapatnya­ yang tertuang dalam karyanya­ membawa perubahan­ dari masa kegelapan abad pertengahan Mesir menuju zaman modern. Melalui­ karyanya itu al-Jabarti telah mengajarkan kepada masyarakat Islam dan Arab bahwa dunia bukan hanya merupakan jem-batan menuju akhirat.

Dunia juga harus dibangun sedemikian rupa, sehingga umat Islam mem­peroleh kebahagiaan dan kesejahteraan­ hidup di dunia dan juga akhirat. Pemi­kiran­ al-Jabarti dilanjutkan at-Tahtawi­ (1801–1873), sahabatnya sejak berusia­ muda yang kemudian­ dikenal sebagai pemuka pembaruan­ Islam di Mesir.

Daftar Pustaka

Abdullah, Yusri Abdul Gani. Mu‘jam al-Mu’arrikhin al-Muslimin hatta al-Qarn ats-sina Asyar al-Hijri. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.

Ayalon, D. “al-Djabarti,” The Encyclopaedia of Islam New Edition, ed. B. Lewis, Ch. Pellat, and J. Schacht. Leiden: E. J. Brill, 1983.

Iwadh, Lewis. Tarikh al-Fikr al-Misri al-hadits min al-hamlah al-Fa­ransiyyah ila ‘Asr Isma‘il. Cairo: Maktabah Madbuli, 1987.

asy-Syantanawi, Ahmad dan Ibrahim Zaki Khursyid. Da’irah al-Ma‘arif al-IslÎmiyyah. Cairo: Lajnah at-Tarjamah, 1933.

asy-Syarqawi, Mahmud. Dirasah fi Tarikh al-Jabarti: Misr fi al-Qarn ats-samin

‘Asyar. Cairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, 1857.

Umar, A. Muin. Pengantar Historiografi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

az-Zarkali, Khairuddin. al-A‘lam, Qamus Tarajum li Asyhur ar-Rijal wa an-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyrikin. t.tp.: Matba‘ah Kustansumas wa Syuraka’uh, 1954.

Badri Yatim