Al-Ibda

Al-ibda‘ adalah istilah filsafat yang berarti: (1) “mencipta sesuatu­ tanpa sebab”, dan (2) “mencipta sesuatu dari suatu sebab, dan sebab itu sendirilah penciptanya”. Kata al-ibda‘ berasal dari bad‘ (membuat sesuatu yang baru). Maknanya dekat dengan khalq dan takwin. Bedanya terletak pada konteks pemakaiannya: al-ibda‘ dengan sesuatu yang berinteligensi, khalq dengan benda alami, dan takwin dengan pengubah­an­ benda ciptaan.

Kebanyakan ahli teologi dari kalangan Asy‘ariyah berpedoman pada pengertian pertama. Menurut mereka, alam ini diciptakan secara langsung oleh Tuhan dari ketiadaan (Lat.: creatio ex nihilo) tanpa adanya­ sesuatu sebab. Penciptaan itu semata-mata atas kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, menurut­ konsep ini, alam ini adalah baru.

Alam ada karena diciptakan Allah SWT. Apabila dikatakan­ bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu yang telah ada, maka terdapat banyak yang kadim (kekal). Padahal, yang kadim itu hanya satu, yaitu Allah SWT.

Adapun pengertian kedua menjadi pedoman para filsuf, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Me­nurut keduanya dan para filsuf umumnya, penciptaan­ alam ini melalui pancaran atau emanasi (al- fais). Konsep al-ibda‘ seperti ini berasal­ dari Plotinus (205–270), filsuf Yunani.

Dalam konsep ini, terciptanya alam semesta merupakan hasil emana­si dari Sebab Pertama (causa prima), yang kemudian melimpah secara berturut-turut pada ciptaan­ berikut. Seperti halnya cahaya melimpah­ dari matahari­ dan panas melim­ pah dari api, alam ini pun melimpah­ dari Yang Esa.Oleh karena itu, Yang Esa tidak menjadi sasaran perubahan.

Dalam pandangan para filsuf, alam yang plu­ralistis ini tidak mungkin dijadikan Allah SWT secara langsung dari tidak ada, atau Yang Esa tidak mungkin melahirkan yang plural. Oleh karena itu, para filsuf mengembangkan makna kedua dari al-ibda‘, dengan menempatkan Tuhan sebagai sebab dari segalanya dan Dia merupakan wujud pertama.

Menurut para filsuf, Tuhan identik dengan akal. Pada mulanya, Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri, dan dari pemikiran itu muncul maujud lain yang merupakan wujud kedua sesudah wujud Tuhan. Wujud kedua itu disebut juga akal pertama. Akal pertama ini esa pada zatnya, tetapi banyak pada pengertian akal. Ia berbeda dengan Tuhan dari segi substansi dan eksistensinya.

Ketika akal pertama atau wujud kedua berpikir tentang Tuhan, muncul wujud ketiga atau akal kedua; demi­kian seterusnya sampai akal kesepuluh atau wujud kesebelas. Pada taraf ini, akal kesepuluh tidak lagi memunculkan akal, tetapi memuncul­kan bumi dan jiwa serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam, yaitu api, udara, air, dan tanah.

Berbeda dengan konsep al-ibda‘ al-Farabi yang mengambil­ bentuk emanasi seperti di atas, Ibnu Sina berpen­dapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-wujud sebagai limpahan dari Allah SWT dan mumkin al-wujud apabila dilihat dari hakikat dirinya. Dengan demikian, akal pertama mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, diri-Nya sebagai wajib al-wujud, dan diri-Nya sebagai mumkin al-wujud.

Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal, dari pemikiran terhadap diri-Nya sebagai wajib al-wujud muncul jiwa, dan dari pemikiran­ terhadap diri-Nya sebagai mumkin al-wujud muncul langit; demikian seterusnya sam­pai akal kesepuluh atau akal fa‘‘al yang memunculkan­ segala yang ada di bumi dan di bawah bulan.

Konsep al-ibda‘ dalam pengertian kedua, seperti dikemukakan kaum filsuf di atas, mendapat sanggahan tajam dari al-Ghazali. Ia memandang bahwa teori tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, antara lain, karena hal berikut.

(1) Jika alam ini melimpah dari Tuhan sebagai suatu kemestian, tanpa ke­hendak-Nya, alam ini serupa dengan Tuhan pada zat-Nya. Dalam hal ini, alam merupa­kan kenyataan fenomenal­ dari Tuhan dan kedua­nya adalah sama pada hakikatnya­. Pandangan demikian merupakan pandangan panteisme (ajaran yang me­ nyamakan Tuhan dengan keku­atan­ dan hukum alam semes­ta­.

(2) Akal pertama itu sebelum melimpah dari Tuhan bertempat da­lam zat-Nya tanpa kehilangan ciri atau sebagian dari-Nya. Kedua kemung­kinan itu dapat menafikan keesaan­ zat-Nya. (3) Jika dikatakan bahwa alam itu kadim karena melimpah dari Yang Kadim, pendapat ini juga menafikan sifat iradat (kehendak,­ kemauan) dan ikhtiar Tuhan.

Di samping dua pengertian di atas, ada pendapat lain yang berupaya­ mempertemukan kedua pandangan tersebut. Sebagian kaum Muktazilah berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah SWT dengan cara tidak langsung dari al-maddah al-ula (bahan yang telah ada).

Sementara itu, al-maddah al-ula itu sendiri secara langsung berasal dari Allah SWT. Mereka menyebut al-maddah al-ula itu ma‘dum (zat dan hakikat yang belum mempunyai­ wujud). Di antara mereka ada yang mengatakan­ bahwa ma‘dum itu sama dengan alam empiris ini, hanya saja belum mempunyai wujud.

Pendapat mereka dimaksudkan untuk menghin­darkan adanya hubungan antara Yang Maha Esa dan yang serba ganda, yang dapat menafikan kemaha­esaan­-Nya. Dari hasil yang mereka­ upayakan itu, terlihat bahwa mereka lebih de­kat kepada kaum filsuf. Perbedaannya­ hanya terletak pada perincian teknis penciptaan.

Konsep al-ibda‘ yang berkembang dalam Islam merupa­­kan interpretasi atas ayat kauniyyah yang berbicara tentang penciptaan alam semesta, yang bersifat umum dan ringkas.

Daftar Pustaka

al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Darul Qalam, 1962.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
al-Aqqad, Abbas Mahmud. Filsafat Pemikiran Ibnu Sina. Jakarta: Pustaka Mantik, 1983.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tahafut al-Falasifah. Cairo:Dar al-Ma‘arif, 1966.
al-Iraqi, Muhammad ‘Atif. al-Falsafah at-aabi‘iyyah ‘inda Ibn Sina. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Rescher, Nicholas. Studies In Arabic Philosophy. London: Pittsburgh Press, 1966.

Yunasril Ali