Al-Hasan al-Basri adalah seorang ulama besar dalam berbagai bidang ilmu, seperti hadis, fikih, dan tafsir. Ia juga seorang pendidik dan sufi. Nama lengkapnya adalah Abu Sa‘id al-Hasan bin Abi Hasan Yasar al-Basri.
Ayahnya bernama Yasar al-Basri Maula Zaid bin Sabit al-Ansari, sedangkan ibunya Khairah Maulat Ummu Salamah. Pada mulanya keluarga al-Hasan al-Basri tinggal di Wadi al-Qura, sebuah daerah di wilayah Madinah. Akan tetapi, ketika terjadi Perang Siffin (37 H/658 M), orangtuanya pindah ke Basrah, sedangkan al-Hasan al-Basri sendiri tetap tinggal di Madinah. Baru setahun kemudian ia menyusul ke Basrah.
Keluarga al-Hasan al-Basri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian terhadap ilmu, terutama Al-Qur’an dan hadis. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW, tergolong orang berilmu. Ibunya itu adalah seorang penghafal dan periwayat hadis, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadis dari Ummu Salamah.
Al-Hasan al-Basri memperoleh pendidikan awalnya dari lingkungan keluarganya sendiri. Ibunya adalah gurunya yang pertama. Kehidupan keluarganya di Madinah, yang berlangsung selama sekitar 16 tahun sejak kelahiran al-Hasan al-Basri sampai dengan perpindahan keluarganya ke Basrah, memberi warna tersendiri bagi perkembangan pengetahuannya.
Ibunya banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan al-Hasan al-Basri dan saudaranya Sa‘id bin Abi Hasan Yasar al-Basri. Berkat pendidikan dan pembinaan dari ibunya, pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal Al-Qur’an.
Sejak usia dini seperti ini ia juga telah banyak mendengar riwayat (hadis) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala pengetahuan agamanya, terutama hadis, bertambah luas.
Ahmad Ismail al-Basit, seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan al-Hasan atas tiga periode, yaitu: (1) periode 21 H/642 M–42 H/663 M; (2) periode 43 H/664 M–53 H/673 M; dan (3) periode 53 H/673 M–110 H/729 M.
Periode pertama merupakan periode kehidupan al-Hasan di Madinah. Pada masa ini ia banyak menimba ilmu, tidak hanya dari ibunya, melainkan juga dari sebagian sahabat. Pada periode kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai peperangan dan penaklukan wilayah baru.
Pada saat yang bersamaan, ia juga bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW dan menimba banyak ilmu dari mereka. Dalam periode ini pula ia menjadi sekretaris Rabi‘ bin Ziyad al-Harisi (w. 53 H/673 M), seorang amir Sijistan, Khurasan (Persia). Pada periode ketiga ia menghabiskan waktunya di Basrah untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya.
Al-Hasan al-Basri menerima banyak hadis dari para sahabat dan para tabiin. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa al-Hasan masih sempat bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia menerima hadis riwayat beberapa sahabat dan perawi hadis lainnya, seperti Ubay bin Ka‘b (w. 19 H/640 M), Sa‘id bin Ubadah, Umar bin Khattab, Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, Hamid at-Tawil, Yazid bin Abi Maryam, dan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan.
Untuk mengembangkan ilmunya, ia membuka Madrasah al-Hasan al-Basri, yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan para murid. Di madrasah inilah ia mengajarkan ilmu keislaman.
Di antara muridnya terdapat Wasil bin Ata (tokoh Muktazilah, w. 131 H/749 M), Amr bin Ubaid (tokoh Muktazilah, w. 145 H/763 M), Ma’bad al-Jahani (w. 80 H/700 M), Gailan ad-Dimasyqi (w. 105 H/724 M), dan Qatadah bin Di‘amah as-Sadusi al-Basri (w. 118 H/736 M).
Murid lainnya mencakup juga Hamid at-Tawil (ulama dan penghafal hadis, w. 143 H/761 M), Bakr bin Abdullah al-Muzani (seorang fakih Basrah, w. 108 H/727 M), Sa‘d bin Iyas (seorang ahli hadis Basrah, w. 144 H/762 M), Malik bin Dinar (seorang ulama dan zuhud, w. 127 H/745 M), dan Muhammad bin Wasi‘ al-Azadi al-Basri (ahli qiraah dan ulama Basrah, w. 123 H/741 M).
Ia menyampaikan pesan pendidikannya melalui dua cara. Pertama, ia mengajak muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang terjadi pada masa sahabat Nabi SAW, terutama pada masa Umar bin Khattab, yang selalu berpegang kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.
Kedua, ia menyerukan kepada muridnya untuk bersikap zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada.
Dr. Abdul Mun‘im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukkan al-Hasan al-Basri dalam kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan at-Tauhidi (seorang ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa al-Hasan al-Basri adalah seorang zahid yang warak dan penasihat yang nasihatnya menyejukkan hati dan kalimatnya menyentuh akal.
Tentang tasawuf, al-Hasan al-Basri berkata, “Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan hatinya, dan barangsiapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepada-Nya akan dicampakkanNya ke dalam neraka.”
Kedalaman pengetahuan al-Hasan al-Basri mengenai tasawuf membuatnya cenderung untuk mengartikan beberapa istilah agama Islam menurut pendekatan tasawuf. Islam, misalnya, diartikannya sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain.
Orang beriman, menurutnya, adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan Allah SWT, itu pulalah yang harus dikatakannya. Orang mukmin adalah orang yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT, dan sekalipun ia menafkahkan hartanya setinggi gunung ia seakan-akan tidak dapat melihatnya (tidak menceritakannya).
Para sufi, menurut pengertiannya, adalah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada Allah SWT dan memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut: berbicara benar, menepati janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri, dan mengerjakan yang baik.
Fakih, menurutnya, adalah orang yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan memahami agaman ya, senantiasa beribadah kepada Tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta mereka, dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.
Sebagaimana sufi lainnya, al-Hasan al-Basri sangat takut terhadap siksaan Allah SWT. Abdul Mun‘im al-Hifni menggambarkan bahwa al-Hasan al-Basri tampak seperti orang yang selalu ketakutan. Ia selalu merasa takut karena membayangkan bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan Allah SWT semata-mata untuk dirinya.
Pendapat al-Hasan al-Basri banyak ditemukan dalam berbagai kitab. Walaupun begitu, ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya karya tulis yang ditinggalkan al-Hasan al-Basri. Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), misalnya, berpendapat bahwa al-Hasan al-Basri tidak pernah meninggalkan satu kitab pun dan kita tidak pernah melihat adanya kitab yang ditulisnya. Adapun pendapatnya yang kita lihat sekarang ini disampaikan melalui riwayat para muridnya.
Berbeda dengan Abu Zahrah, Ibnu Nadim berpendapat bahwa al-Hasan al-Basri pernah menulis buku tentang tafsir dan risalah tentang jumlah ayat yang berjudul al-‘Adad atau ‘Adad Ayi Al-Qur’an al-Karim (Jumlah Ayat Al-Qur’an). Risalah yang pernah ditulisnya adalah:
(1) al-Ikhlash (Keikhlasan);
(2) risalah mengenai jawabannya terhadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan;
(3) risalah Fadha’il Makkah wa as-Sakan fih (Keutamaan Mekah dan Ketenangan di Dalamnya), yang menurut Ahmad Ismail al-Basit merupakan risalahnya satu-satunya (naskah aslinya diedit Dr. Sami Makki al-Ani, guru besar kebudayaan Islam Universitas Kuwait, dan telah diterbitkan 1980 oleh Maktabah al-Fallah, Kuwait); dan
(4) risalah Fara’idh ad-Din (Kewajiban terhadap Agama) yang naskahnya masih tersimpan di Maktabah al-Auqaf, Baghdad. Selain itu, di Maktabah Taimur, Cairo, terdapat beberapa manuskrip yang dinisbahkan kepada al-Hasan al-Basri.
Manuskrip tersebut adalah Syuruth al-Imamah (Syarat bagi Pemimpin), Wasiyyah an-Nabi li Abi Hurairah (Wasiat Nabi SAW kepada Abu Hurairah), dan al-Istigfarat al-Munqizat min an-Nar (Beberapa Istigfar yang Dapat Menyelamatkan dari Neraka).
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
al-Basit, Ahmad Isma‘il. al-Hasan al-Basri Mufassiran. Amman: Dar al-Furqan, 1985.
al-Hifni, Abdul Mun‘im. al-Mausu‘ah as-Sufiyyah. t.tp: Dar ar-Rasyad, 1992.
A Thib Raya