Al-Ghazali

(Gazalah, Iran Utara, 1058–Tus, 19 Desember 1111)

Al-Ghazali adalah salah seorang teolog, filsuf, dan sufi terbesar Islam yang mendalami fikih, kalam, dan filsafat. Ia adalah pembela kebenaran Islam terbesar sehingga digelari hujjatul Islam. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang tokoh terpenting setelah Nabi SAW, ditinjau dari segi pengaruh dan perannya.

Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad­ bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali, seorang­ pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filsuf, dan sufi termasyhur. Ia lahir di kota Gazalah, se­buah kota kecil dekat Tus di Khu­rasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dia meninggal di kota Tus setelah mengadakan­ perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Nama al-Ghazali dan at-Tusi dinisbahkan­ kepada tempat kelahirannya.

Ia lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya seorang pemintal wol di kota Tus. Latar belakang pendidikannya dimulai­ dengan belajar Al-Qur’an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, ia dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad­ ar-Razikani, seorang sufi besar.

Padanya­ al-Ghazali mempelajari ilmu fikih, riwayat hidup­ para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, ia belajar juga menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-Qur’an, dan sunah.

Al-Ghazali kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf an-Nassj, juga seorang­ sufi. Setelah tamat, ia melanjutkan pela­jaran­nya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah.

Di sini ia mendalami pengetahuan­ bahasa Arab dan Persia, di samping belajar pengetahuan agama. Gurunya di antaranya Imam Abu Nasr al-Isma‘ili. Karena kurang puas, al-Ghazali kembali ke Tus.

Beberapa tahun kemu­dian, ia pergi ke Nisabur dan di sana memasuki Madrasah Niza­miyah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, salah se­orang tokoh aliran Asy‘ariah. Melalui al-Juwai­ni, al-Ghazali memper­ oleh ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam.

Karena dinilai berbakat dan berpotensi, ia diangkat menjadi asisten al-Juwaini. Ia kemudian dipercaya untuk menggantikan al-Juwaini­ mengajar setiap kali gurunya­ berhalangan datang atau dipercaya mewakilinya­ sebagai pimpinan Nizamiyah. Di Nisabur inilah bakatnya da­lam menulis berkembang.

Al-Ghazali menulis hampir seratus buku. Bukunya itu meliputi berbagai ilmu pengetahuan,­ seperti ilmu kalam (teologi Islam), fikih (hukum Islam), tasawuf, filsafat, akhlak, dan autobiografi. Karangannya itu ditulis dalam ba­hasa Arab atau Persia.

Di antara kitab-kitabnya yang terkenal­ ialah Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) dan Tahafut al-Falasifah (Ke­kacauan Para Filsuf), yang ke­duanya mengenai filsafat. Bukunya dalam bidang keagamaan­ ialah Ihya’‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) dan al-Munqidz min ad-Dalal (Penyelamat­ dari Kesesatan).

Bukunya ini pada umumnya berisi kritik dan komentar terhadap pemikiran filsuf terdahulu. Tulisannya­ itu diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan­ positif, bahkan pujian, dari gurunya.

Buku­nya ke­mudian berhasil menarik perhatian kaum intelektual dan ulama sezamannya sementara usianya masih relatif mu­da, yaitu 28 tahun. Buku­nya mendapat per­hatian para orientalis­ dan diterjemahkan ke berbagai­ bahasa, termasukbahasa Indonesia.

Setelah al-Juwaini wafat (1085), al-Ghazali meninggalkan­ Nisabur menuju Muaskar untuk me­menuhi undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, pendiri Madrasah Nizami­yah. Muaskar pada­ waktu itu adalah tempat pemukiman perda­na menteri,­ pembesar-pembasar kerajaan, dan para ulama/ intelek­tual terkemu­­ka.

Di sini ia mengha­diri perte­muan pertemuan ilmiah yang rutin diada-kan di istana Nizam al-Mulk. Melalui forum inilah ke­masyhurannya meluas. Kepan­daian al-Ghazali menyebabkan­ Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya­ menjadi guru besar pada Madra­ sah Nizamiyah­ di Baghdad tahun 1090.

Ini me­rupa­kan kedudukan sangat terhormat­ dan merupa­kan prestasi puncak, dan inilah yang menja­dikannya semakin populer. Akan tetapi,­ setelah lima tahun (1090–1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan­ diri.

Ketika itu, kehidupannya gon-cang karena ke­raguan yang meli-puti dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?” Perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi.

Al-Ghazali ragu, mana di antara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-Munqidz min ad-dalal menjelaskan tentang ke­ada­an ini. Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al-Ghazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan­ yang di­ perolehnya melalui pancaindra sebab pancaindra­ sering kali salah atau berdusta.

Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak me­muaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan­ rasa syak dalam di­rinya. Pengetahuan tasawuf­ yang diperolehnya melalui­ kalbu membuat al-Ghazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan­ yang benar.

Dalam mempelajari filsafat, al-Ghazali menemu­kan­ argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam­ bukunya Maqasid al-Falasifah.

Buku ini di­terjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis­ (Logika menurut Filsuf Arab al-Ghazali; 1145). Lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah.

Dalam buku itu al-Ghazali mengkritik 10 pendapat filsuf yang mengatakan bahwa: 1) Tuhan tidak mempunyai­ sifat, 2) Tuhan mempunyai substansi sederhana­ (basaq) dan tidak mempunyai­ hakikat (mahiyah), 3) Tuhan tidak mengetahui perincian (juz’iyyah),­ 4) Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis (al-jins/genus) dan al-fasl (spesies),­ 5) planet-planet adalah bintang­ yang bergerak dengan kemauan,­ 6) jiwa planet-planet menge­tahui semua juz’iyyah (rin­cian), 7)  hukum alam tidak berubah, 8) pembangkitan­ jasmani ti­dak ada, 9) alam ini tidak bermula, dan 10) alam ini kekal.

Bahkan ia ber­pendapat bahwa­ tiga di antara 10 pendapat filsuf di atas, yaitu alam kekal (tidak bermu­la), Tuhan tidak meng-etahui perinci­an, dan pembang­kitan jasmani tidak ada, dapat mem­bawa kepada kekufuran.

Isi pokok mengenai kecaman al-Ghazali terhadap­ tiga persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tentang kadimnya alam (alam tidak ber­mula). Filsuf berpendapat bahwa alam ini qadim. Menurut al-Ghazali, pen-dapat ini membawa ke­pada keyakinan­ akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti­ banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan.

Paham­ bahwa ada yang qadim selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari­ Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur.

Kedua, tentang pendapat bahwa Tuhan ti­dak me­ngetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut­ al-Ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan­ Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengeta­hui­ segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil­-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan­ Tuhan.

Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat­ bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan­ jasmani akan hancur dan tidak kekal. Ka­rena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya,­ tetapi pembalasan ukhrawi menuntut­ pembangkitan jasmani.

Ayat-ayat Al-Qur’an ba­nyak menyebut soal pem­bangkitan jasmani denga­n­ gambaran yang bersifat materiil, sehingga meya­kini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya.

Ketiga­ pendapat di atas menurut al-Ghazali menyim­pang dari ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur’an. Ia mencap para filsuf itu kafir. Pendapat dan kritik al-Ghazali terhadap tiga persoalan falsafi tersebut yang dikemukakan para filsuf di atas dikecam keras oleh Ibnu Rusyd (1126–1198) dalam bukunya yang berjudul Tahafut at-Tahafut­ (Kekacauan dari Kekacauan), yang pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsafat dan filsuf.

Pada tahun 1095 al-Ghazali meninggalkan profesinya­ sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun diting­galkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama­ sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai­ seorang­ sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya­ lagi.

Kemudian ia mengurung diri dalam Masjid Damascus. Di sinilah ia menulis Ihya’ ‘Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan­ paduan­ antara fikih dan tasawuf. Pengaruh­ buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.

Pada 1105, al-Ghazali kembali kepada tugasnya­ semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah,­ memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi, tugas ini tidak lama dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya­. Di sana ia mendirikan halaqah­ (sekolah­ khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya­ sampai ia wafat.

Al-Ghazali menjalani kehidupan pada masa tuanya sebagai seorang sufi. Ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satu­nya­ jalan untuk mencapai kebenaran hakiki­. Melalui­ tasawuf, seseorang dapat berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan kalbunya dapat melihat Tuhan­.

Akan tetapi, jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al-Ghazali sendiri menceritakan­ pengalam­annya,­ bertahun-tahun­ ia melatih diri, meninggalkan­ segala kese­ nangan jasmani dan semata-mata mengabdi ke­pada Tuhan.

Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (ma­qamat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi.

1)  Tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang­ tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pe­ngetahuan­ itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran­ hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak meng­ulangi perbuatan dosa.

2)  Sabar. Al-Ghazali menyebutkan­ ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan­ dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan do­rongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar.

Untuk mempermudah jalan menuju kesa­baran, al-Ghazali memberikan nasihat sebagai berikut.

(a) Seseorang harus­ membatasi jumlah dan nilai makanan yang di­makannya karena dorongan syahwat kebanyakan timbul dari perut yang kenyang­.

(b) Seseorang harus­ memelihara pandang­ an matanya dari hal-hal yang mudah merangsang syahwat. Untuk itu se­orang calon sufi sebaiknya­ menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. (c) Seseorang harus mem­biasakan diri melepaskan nafsunya­ pada jalan yang diridai Allah.

3)   Kefakiran. Kefakiran yaitu berusaha untuk menghin­darkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesuatu,­ seperti­ makanan, namun ma­kanan yang di­berikan kepadanya harus diteliti denga­n­ seksama apakah halal, haram atau syubhat (diragukan halal­ atau haramnya).

Jika haram atau syubhat, makanan­ itu harus ditolaknya, kendatipun makanan­ itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya.

4)  Zuhud­. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya meng­ harapkan kesenangan ukhrawi. Menurut al-Ghazali, zuhud itu bertingkat-tingkat.

Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai ke tingkat­ ini, hati seharusnya hanya diisi dengan mengingat­ Allah. Ini hanya dapat diperoleh dengan me­ ninggalkan semua kesenangan duniawi.

5)  Tawa­kal­. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja­ terhadap­ manu-sia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Penyayang, Maha Pengasih, tak pilih kasih kepada makhluk-Nya.

Karena­ itu, manusia seharus­nya berserah diri kepada Tuhannya dengan se­penuh hati. Dalam penyerah­an­ diri kepada Allah SWT se­orang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi­ adalah berserah diri bagaikan mayat.

6) Makrifat, yaitu mengetahui rahasia Allah dan menge­ tahui peraturan-peratur­an­-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih bermutu daripada­ pengetahuan yang diperoleh akal.

Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan). Menurut al-Ghazali, makrifat dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang da­pat dicapai seorang sufi. Mahabbah berarti mengo­songkan hati dari segala-galanya kecuali da­ri diri yang dikasihi (Tuhan). Kadar cinta seorang­ sufi ditentukan­ oleh kedalaman makrifat yang di­milikinya. Semakin kuat makri-fatnya, semakin­ kuat mahabbah-nya.

Penjelasan mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui untuk menjadi seorang sufi ini terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, terutama­ pada jilid ketiga dan keempat.

Pemikiran lain yang dikemukakan oleh al-Ghazali ialah bahwa ia membagi manusia itu menjadi dua bagian besar, khawas dan awam. Golong­an awam mempunyai cara berpikir yang sederhana. Mereka hanya dapat menangkap hal-hal yang tersurat saja. Golongan khawas dapat berpikir secara mendalam,­ mengetahui yang tersirat di balik yang tersurat.

Menghadapi dua golongan yang berbeda ini, diperlukan pen-dekatan yang berbeda pula. Orang awam didekati dengan cara memberi nasihat dan petunjuk-petunjuk, sedangkan­ orang khawas didekati­ dengan cara menjelaskan hikmat-hikmat.

Sebelum al-Ghazali, tasawuf belum dapat dite­rima­ secara luas di dunia Islam, khususnya di ka­lang­an Suni karena dianggap sebagai ajaran yang menyimpang, seperti ajaran Husein bin Mansur al-Hallaj (858–922) dan sebagainya­. Melalui buku-bukunya yang menjelaskan peng­alaman-peng­ alaman tasawuf yang tidak bertentangan dengan akidah, tasawuf dapat diterima dan berkembang pesat di lingkungan Ahlusunah waljamaah. Hal ini antara lain ditandai dengan timbulnya banyak aliran tarekat.

Daftar Pustaka

Dunia, Sulaiman. al-shaqiqah fi Naˆr al-Gazali. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
al-Fandi, Muhammad Sabit. “Filsafat Agama dalam Pemikiran al-Ghazali,” Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, ed. Ahmad Daudy. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
–––––––. Mi‘raj as-Salikin. Cairo: Matba‘ah as-Sa‘adah, 1924.
–––––––. al-Munqidz min a«-¬alÎl. Damascus: t.p., 1934.
–––––––. Tahafut al-FalÎsifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1966.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
asy-Syirbasyi, Ahmad. al-Gazali wa at-Tasawwuf. Cairo: Dar al-Hilal, t.t.

A. Thib raya