Al-Farabi adalah seorang filsuf muslim terkemuka. Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Farabi. Ia terkenal karena pemikirannya tentang emanasi (al-faidh), yakni teori tentang proses kejadian alam makhluk dari Tuhan. Segala sesuatu memancar dari Tuhan.
Al-Farabi selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke waktu. Di masa kecil, ia yang dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas, belajar agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Parsi di kota kelahirannya, Farab. Setelah besar al-Farabi pindah ke Baghdad dan tinggal di sana sekitar 20 tahun lamanya.
Di sini ia memperdalam filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya. Dari Baghdad, al-Farabi kemudian pindah ke Harran (Iran). Di sana ia belajar filsafat Yunani kepada beberapa orang ahli, di antaranya Yuhana bin Hailan. Tidak lama kemudian, ia meninggalkan Harran dan kembali ke Baghdad.
Selama di Baghdad ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Al-Farabi mengarang sejumlah buku tentang logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dan lain-lain. Tetapi kebanyakan karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran.
Sekarang diperkirakan hanya tersisa sekitar 30 buah saja. Yang terpenting di antaranya ialah: (1) Agrad al-Kitab ma Ba‘da at-thabi‘ah (Intisari Buku Metafisika), (2) al-Jam‘u Baina Ra’yai al-Hakimaini (Mempertemukan Dua Pendapat Filsuf: Plato dan Aristoteles), (3) ‘Uyun al-Masa’il (Pokok-Pokok Persoalan), (4) Ara‘u Ahl al-Madinah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota), dan (5) Ihsa’ al-‘Ulum (Statistik Ilmu).
Ketika pergolakan politik di Baghdad memuncak pada 330 H/941 M, al-Farabi merantau ke Haleb (Aleppo) dan di sana ia mendapat perlakuan istimewa dari sultan Dinasti Hamdaniyah yang berkuasa ketika itu, Saifuddawlah. Atas perlakuan baik itulah al-Farabi tetap tinggal di Aleppo sampai akhir hayatnya.
Jasa al-Farabi bagi perkembangan ilmu filsafat pada umumnya dan filsafat Islam pada khususnya sangat besar. Menurut banyak sumber, ia menguasai 70 bahasa dunia dan banyak cabang keilmuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, keahliannya yang paling menonjol ialah dalam ilmu mantik (logika). Kepiawaiannya di bidang ini jauh melebihi gurunya, Aristoteles. Menurut al-Ahwani, pengarang al-Falsafah al-Islamiyyah, besar kemungkinannya gelar “Guru Kedua” (al-Mu‘allim ats-Tsani) yang disandang al-Farabi diberikan orang karena kemasyhurannya dalam cabang ilmu mantik.
Dialah yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab sebagaimana Aris-toteles dijuluki “Guru Pertama” (al-Mu’allim al-Awwal) karena dialah yang pertama kali menemukan ilmu logika dengan meletakkan dasar-dasarnya.
Di bidang filsafat, al-Farabi tergolong ke dalam kelompok filsuf kemanusiaan. Ia lebih mementingkan soal-soal kemanusiaan seperti akhlak (etika), kehidupan intelektual, politik, dan seni.
Filsafat al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Dalam soal mantik dan filsafat fisika, umpamanya, ia mengikuti pemikiran Aristoteles, sedangkan dalam lapangan metafisika al-Farabi mengikuti jejak Plotinus (205–270), seorang tokoh utama Neoplatonisme.
Al-Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat seyogianya di samping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Pemikiran filsafat al-Farabi yang terkenal ialah penjelasan nya tentang emanasi (al-faidh), yaitu teori yang mengajarkan proses urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al-wujud (Tuhan).
Menurut al-Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, demikian menurut al-Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui (memikirkan) Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-Farabi mengata kan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar daripada-Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari Zat Tuhan itu berbilang, berarti Zat Tuhan juga berbilang. Menurut al-Farabi, dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal –yang timbul dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Selain filsafat emanasi, al-Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat politik kenegaraan. Dalam hal filsafat kenabian, ia disebut-sebut sebagai filsuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Ia berkesimpulan bahwa baik para nabi/rasul maupun para filsuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan Akal Fa‘al, yakni Akal Kesepuluh (malaikat).
Perbedaannya, demikian al-Farabi, komunikasi nabi/rasul dengan Akal Kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al-mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filsuf berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh melalui Akal Mustafad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari Akal Kesepuluh yang ada di luar diri manusia.
Dalam hal filsafat kenegaraan, al-Farabi membedakan negara menjadi lima macam:
1) negara utama (al-madinah al-fadhilah), yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut al-Farabi, negara terbaik adalah negara yang dipimpin rasul dan kemudian oleh para filsuf;
2) negara orang bodoh (al-madinah al-jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan;
3) negara orang yang fasik (al-madinah al-fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan Akal Fa‘al seperti penduduk utama (al-madinah al-fadhilah), akan tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh;
4) negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
5) negara sesat (al-madinah adh-dhallah) yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan Akal Fa‘al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang dengan ucapan dan perbuatannya.
Daftar Pustaka
al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Darul Qalam, 1962.
Boer, T.J. De. Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terj. Muhammad Abdul Hadi Abu Ridah. Cairo: Matba’ at-Ta’lif wa at-Tarjamah wan-Nasyr, t.t.
al-Farabi. Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadzilah. al-Azhar: Muhammad Ali Subaih, t.t.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Mahdi, Muhsin. Al-Farabi’s Philosophy of Plato and Aristotle. Ithaca: Cornell University Press, 1962.
Musa, Muhammad Yusuf. Bain ad-Din wa al-Falsafah. Cairo: Darul Ma‘arif, t.t.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
–––––––. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Syarif, M. M. ed. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Ot to Harrassowitz, 1963.
Muhammad Amin Suma