al-Banjari, Muhammad Nafis

(1148 H/1735 M–1227 H/1812 M)

Ulama besar dan ahli tasawuf. Dengan dakwahnya, ia memainkan peran penting dalam pengembangan wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husein al-Banjari. Ia dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, dari keluarga Kesultanan Banjar.

Sejak berusia muda al-Banjari belajar agama di Mekah. Diperkirakan, ia ke Mekah sesudah mendapat pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sebagaimana halnya ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18, ia belajar kepada para ulama terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain (Mekah dan Madinah) dalam berbagai cabang ilmu keislaman, terutama tafsir, fikih, hadis, usuluddin (teologi), dan tasawuf.

Di antara gurunya dalam ilmu tasawuf di Mekah adalah Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1150 H/1737 M–1227 H/1812 M), ulama tasawuf yang kemudian menduduki jabatan Syekh al-Islam dan Syekh al-Azhar sejak 1207 H/1794 M, di samping sebagai khalifah Tarekat Khalawatiyah di Cairo, Mesir.

Dalam mempelajari tasawuf, Muhammad Nafis al-Banjari berhasil mencapai gelar “Syekh al-Mursyid”, gelar yang menunjukkan bahwa ia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya, Martapura, dan mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya.

Di Kalimantan Selatan ia banyak melakukan dakwah ke daerah pedalaman. Oleh karena itu, ia merupakan seorang guru pengembara yang memainkan peran penting dalam pengembangan wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar. Sebagai hasil kegiatan dakwahnya itu, Kelua (sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabalong) di abad ke-19 telah menjadi pusat penyebaran Islam di bagian utara Kalimantan Selatan. Di tempat inilah al-Banjari mengembuskan napas terakhir.

Sebagai seorang ulama besar, dia mendapat gelar kehormatan Maulana al-‘Allamah al-Fakhamah al-Mursyid ila Thariq as-Salamah (Yang mulia, yang berilmu tinggi, yang terhormat, pembimbing ke jalan keselamatan).

Tentang mazhab fikih, aliran usuluddin, dan tasawufnya, dalam sebuah bukunya ia berkata, “Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, di negeri Banjar tempat jadinya, dan di negeri Mekah tempat diamnya, Syafi‘i mazhabnya, Asy‘ari i‘tiqadnya, Junaid ikutannya, Kadiriyah tarekatnya, Syattariyah pakaiannya, Naqsyabandiyah amalnya, Khalawatiyah makanannya, Samaniyah minumannya.”

Dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa al-Banjari (1) pengikut Mazhab Syafi‘i, (2) menganut aliran teologi Asy‘ariyah, dan (3) bertarekat dengan berbagai aliran, yaitu: Kadiriyah (pengikut Syekh Abdul Qadir al-Jailani), Syattari-yah (pengikut Syekh Abdullah asy-Syattar), Naqsyabandiyah (pengikut Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi), Khalawatiyah, dan Samaniyah (pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani).

Nafis al-Banjari adalah seorang penganjur/aktivis jihad yang merupakan ciri utama neo-sufisme. Karena itu, pemerintah kolonial Belanda pernah melarang masyarakat Indonesia membaca buku karangannya, karena khawatir buku-buku itu dapat mendorong masyarakat untuk melakukan jihad melawan penjajah.

Al-Banjari menghasilkan sejumlah buku mengenai tasawuf. Buku-bukunya antara lain Kanz as-Sa‘adah fi Bayan Istilahat as-sufiyyah (suatu buku yang menguraikan istilah-istilah sufi) dan ad-Durr an-Nafis fi Bayan Wahdah al-Af‘al wa al-Asma‘ wa as-sifat wa adz-dzat (Permata Berharga tentang Kesatuan, Nama, Sifat, dan Zat).

Buku terakhir ini biasa disebut dengan ad-Durr an-Nafis (Permata Berharga) saja, yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi. Buku ini masih terus dicetak (di Mekah, Cairo, Singapura, dan Surabaya) sampai sekarang, karena masih digunakan sebagai buku pegangan tasawuf di sebagian wilayah Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Melayu. Bahkan kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin.

Dalam buku ini banyak terdapat ayat Al-Qur’an dan hadis dengan tafsiran tasawuf. Secara garis besar buku ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi yang menjelaskan maqam yang dilalui seorang sufi, dan bagian penutup.

Bagian pendahuluan terbagi atas dua pokok pembahasan. Pembahasan pertama menjelaskan hal-hal yang dapat merusak usaha seorang salik (orang yang berusaha menjalankan kehidupan kesufian untuk mencapai keridaan Allah SWT). Hal-hal itu adalah (1) kasal, malas mengerjakan ibadah dalam keadaan mampu; (2) futur, lemah pendirian dan tidak mempunyai tekad untuk melakukan ibadah karena tergoda oleh kehidupan duniawi; dan (3) malal, cepat merasa bosan dalam melakukan ibadah.

Pokok bahasan kedua dari pendahuluan berisi penjelasan tentang hal yang mengakibatkan gagalnya seseorang dalam mencapai tujuan (Allah SWT). Hal tersebut adalah syirk khafi (syirik tersembunyi), yang terdiri atas riya, sum‘ah (mencari pujian dalam beribadah), ujub (membanggakan diri dengan ibadah, memandang ibadah sebagai perbuatan sendiri dan bukan sebagai nikmat yang diberikan Tuhan), dan hijab (dinding, maksudnya ibadahnya menjadi pembatas antara dirinya dan Tuhan karena ia terpesona dengan keindahan ibadahnya itu, di samping itu ia kemudian berhenti beribadah karena menganggap bahwa ia sudah sampai kepada Allah SWT). Oleh karena itu, al-Banjari mengingatkan, untuk mencapai tujuan, salik atau sufi harus yakin betul bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah dari Allah SWT.

Dalam bagian kedua terdapat empat pasal, yaitu: pasal 1, tauhid al-af‘al; pasal 2, tauhid al-asma‘, pasal 3, tauhid as-sifat; dan pasal 4, tauhid adz-dzat. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakikatnya­ adalah af‘al (perbuatan) Allah SWT. Dalam menjelaskan tauhid al-af‘al ini, ia menjelaskan adanya empat aliran.

(1) Aliran Muktazilah yang berpendapat bahwa segala yang terjadi pada makhluk pada hakikatnya adalah karena kodrat (kemampuan) makhluk itu sendiri dan kodratnya itu efektif (menentukan). Menurutnya aliran ini termasuk bid’ah bahkan menyebabkan orang menjadi fasik.

(2) Aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa segala yang terjadi adalah karena perbuatan Tuhan. Perbuatan makhluk tidak ada. Al-Banjari mengatakan bahwa pendapat aliran ini nyata-nyata bertentangan dengan jalan syariat.

(3) Aliran Asy‘ariyah yang berpendapat bahwa semua kejadian pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, akan tetapi, dalam hal ini peran manusia (makhluk) terletak pada usaha (ikhtiar) yang menurutnya tidak efektif (tidak menentukan). Meskipun tidak efektif, melalui ikhtiar itulah dikaitkannya hukum syarak (berlakunya perintah dan larangan Allah SWT).

Manusia berusaha, tetapi Allah SWT yang menentukan. Aliran ini, menurutnya, diterima dan dapat menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat. Tetapi, dengan pendapat aliran ini saja, seseorang belum mencapai derajat kesempurnaan. Adanya ikhtiar, menurutnya, menunjukkan masih adanya gisyawah (penutup). Aliran yang dapat membawa seseorang pada derajat kesempurnaan adalah aliran keempat.

(4) Aliran Ahl al-Kasyf, yang memandang bahwa semua kejadian pada makhluk pada hakikatnya adalah perbuatan Allah SWT yang disandarkan kepada hamba-Nya.

Adapun tentang tauhid al-asma‘, al-Banjari menyebutkan bahwa segala nama pada hakikatnya bersumber pada Allah SWT, karena segala yang wujud selain Allah adalah khayal (semu) atau wahm (sangkaan) belaka. Misalnya, apabila kita melihat seseorang pemurah, hendaknya kita memandang bahwa sifat pemurah itu adalah kepunyaan Allah SWT.

Sifat pemurah dan sifat lainnya hanyalah mazhar (manifestasi) dari nama Tuhan, yaitu al-Karim (Maha Pemurah). Kalau tauhid al-af‘al merupakan maqam pertama, tauhid al-asma‘, ini merupakan maqam (peringkat) kedua yang dijalani seorang salik.

Maqam selanjutnya adalah tauhid as-sifat, yakni fana (luluh)-nya seluruh sifat makhluk, termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allah SWT. Sifat seperti qudrah (berkuasa), iradah (berkehendak), ‘ilm (mengetahui), hayah (hidup), sama‘ (mendengar), bashar (melihat), dan kalam (berkata-kata), adalah sifat Allah SWT semata.  Sifat itu yang dimiliki makhluk hanya semu.

Pada tahap ini, seorang salik sudah mencapai taraf baqa bi sifat Allah (berada dalam sifat Allah SWT), yang menimbulkan perasaan bahwa pendengarannya adalah pendengaran Allah SWT, penglihatannya adalah penglihatan Allah SWT, perkataannya adalah perkataan Allah SWT, dan selanjutnya. Dengan demikian seluruh sifat Tuhan bertajali (menjelma) dalam sifat manusia.

Dalam keadaan demikian, Allah SWT akan memberitahu kepada orang yang telah mencapai peringkat ini tentang rahasia sifat-Nya yang mulia. Orang yang demikian sudah berhak menyandang gelar khalifah Allah.

Peringkat tertinggi adalah tauhid adz-dzat. Inilah tujuan akhir seorang sufi. Sufi yang mencapai peringkat ini akan melihat bahwa tidak ada yang maujud (benar-benar ada) kecuali wujud Allah SWT. Wujud yang lain selain wujud Allah SWT fana di dalam wujud Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
Azra, Azyumardi. “Ulama Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Intelektual Keagamaan,” Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992.
_____________. “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia,” Disertasi Columbia University, Columbia, 1992.
al-Banjari, Muhammad Nafis. ad-Durr an-Nafis, terj. KH Haderanie H.N. Surabaya: Amin, t.t.
Mansur, H M. Laily. Kitab ad-Durr an-Nafis. Banjarmasin:­ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983.

Badri Yatim