al-Banjari, Muhammad Arsyad

(1710–1812)

Al-Banjari adalah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperan penting dalam sejarah Islam, khususnya di Kalimantan. Ia gigih mempertahankan dan mengembangkan paham Ahlusunah waljamaah dengan teologi Asy‘ariyah dan fikih Mazhab Syafi‘i. Di Kesultanan Banjar ia pernah memangku jabatan mufti (penasihat agama). Ia menulis banyak kitab agama.

Al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 15 Safar 1122/19 Maret 1710. Ia adalah putra tertua dari lima bersaudara, buah perkawinan Abdullah dan Siti Aminah. Setelah wafat, ia juga dikenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan” ini disebabkan karena makamnya yang berlokasi di Desa Kalampayan (sekitar 56 km dari kota madya Banjarmasin).

Pendidikannya dimulai di lingkungan ke­ luarganya­ yang dikenal taat. Ketika ia berusia sekitar 7 tahun, Sultan Tahlilullah (1700–1745), penguasa Kesultanan Banjar, meminta kepada orangtua al-Banjari agar mereka bersedia menyerahkannya untuk dididik di istana sekaligus diangkat sebagai anak angkat sultan.

Sultan tertarik karena kecerdasan dan keterampilannya yang diketahui sultan ketika melakukan kunjungan kerja ke Lok Gabang. Meskipun agak berat, Abdullah dan Aminah tidak dapat menolak maksud baik sultan.

Al-Banjari diserahkan, selanjutnya tinggal di istana bersama keluarga istana lain. Di sini ia memperoleh pendidikan dari guru-guru yang didatangkan sultan ke istana.

Ketika al-Banjari berusia sekitar 30 tahun, sultan mengirimnya ke Mekah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum berangkat, sultan menikahkannya dengan seorang wanita bernama Bajut, agar ia kembali ke Banjar setelah menyelesaikan studinya di tanah suci.

Ia belajar di Mekah sekitar 30 tahun dan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum seperti geografi, biologi, matematika, geometri, dan astronomi. Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Syekh Ataillah. Dengan izin gurunya ini, ia diberi kepercayaan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidilharam.

Kemudian, ia melanjutkan pelajaran di Madinah dengan Imam Haramain, Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan Syekh Abdul Karim as-Samani al-Madani, selama sekitar 5 tahun.

Selama belajar di tanah suci, al-Banjari berteman akrab dengan Syekh Abdus Samad al-Palimbani, Abdul Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiyah), dan Syekh Abdurrahman Masri, masing-masing berasal dari Palembang (Sumatera Selatan), Ujung pandang (Sulawesi­ Selatan), dan Jakarta. Keempat sahabat ini dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai dari Jawa”.

Pada mulanya, empat serangkai ini bermaksud melanjutkan studi ke Mesir, tetapi Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi menasihatkan agar mereka kembali ke kampung halaman untuk membina umat. Imam Haramain itu menganggap ilmu mereka sudah cukup dan tidak perlu belajar lagi di Mesir. Di samping itu, tenaga mereka dibutuhkan di daerah masing-masing.

Atas nasihat tersebut, keempat sahabat ini kembali ke Indonesia. Tetapi sebelum ke Kalimantan, al-Banjari bersama Syekh Abdul Wahab Bugis tinggal di Jakarta, di tempat sahabatnya Syekh Abdurrahman Masri, selama beberapa bulan.

Di sini al-Banjari membetulkan arah kiblat beberapa masjid yang menurut pengetahuan dan keyakinannya tidak tepat. Masjid yang dibetulkan arah kiblatnya oleh al-Banjari antara lain Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang, dan Masjid Pekojan.

Di mihrab Masjid Jembatan Lima terdapat catatan berbahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh al-Banjari pada 4 Safar 1186 (sekitar 7 Mei 1772).

Al-Banjari tiba di Martapura (ibukota Kesultanan Banjar) pada Ramadan 1186 (Desember 1772). Sejak itu sampai wafatnya (Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 6 Syawal 1227/13 Oktober 1812) ia mengabdikan dirinya membina masyarakat dan mengembang kan Islam.

Dalam kegiatan pembinaan masyarakat ini, ia dibantu Syekh Abdul Wahab Bugis yang ketika itu sudah menjadi menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis dinikahkan al-Banjari dengan putrinya, Syarifah, di Mekah, tidak lama setelah al-Banjari menerima surat dari sultan Banjar bahwa istrinya, Bajut, melahirkan anak dan sudah dewasa.

Langkah pertama yang dilakukan al-Banjari setibanya di Martapura ialah membina kader-kader ulama, khususnya di lingkungan keluarganya sendiri. Untuk itu, ia tidak tinggal di istana seperti sebelum ia berangkat ke tanah suci.

Ia meminta kepada sultan agar diberikan sebidang tanah yang akan digunakan untuk tempat tinggal, tempat pendidikan, dan pusat pengembangan Islam. Sultan Tamjidillah (1745–1778) yang berkuasa ketika itu mengabulkan permintaannya. Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan belukar. Tanah ini dijadikan sebuah perkampungan. Di sini dibangun rumah, ruang pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.

Sejak itu mulailah kampung baru ini ramai didatangi santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung ini hingga sekarang dikenal dengan nama “Dalam Pagar”, karena pada mulanya para santri yang belajar dalam ruangan tertentu di kampung ini tidak boleh meninggalkan lingkungan tersebut tanpa izin; jika keluar, mereka disebut keluar pagar.

Dalam perjalanan sejarah Islam di Kalimantan Selatan, bentuk pendidikan yang dilakukan al-Banjari ini merupakan hal yang baru ketika itu, yaitu pendidikan Islam berada dalam satu kompleks lengkap dengan musala, tempat belajar, kiai, perpustakaan, dan asrama untuk para santri. Di samping itu, para santri tidak hanya diberi pelajaran agama, tetapi juga keterampil­an­ bertani agar bisa hidup mandiri.

Di samping membuka pengajian dan pendidikan berbentuk pondok pesantren, al-Banjari juga gigih melakukan kegiatan dakwah langsung di tengah masyarakat, di kota maupun di desa terpencil, di lingkungan keluarga sultan maupun rakyat biasa. Dakwah langsung ini mendapat sambutan yang positif dari masyarakat, sehingga semangat keagamaan tumbuh subur di kalangan masyarakat. Tempat pengajian pun semakin ramai dikunjungi orang.

Atas anjurannya, dalam pemerintahan Kesultanan Banjar diberlakukan hukum Islam; bukan hanya terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana Islam, misalnya hukuman mati bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dera bagi penzina, dan hukuman mati bagi orang Islam yang murtad.

Untuk melaksanakan hukum tersebut, atas nasihatnya pula dibentuk Mahkamah Syariah, semacam pengadilan tingkat banding sekarang ini, di samping lembaga kekadian. Untuk memimpin Mahkamah Syariah ini ditunjuk seorang mufti.

Mufti pertama yang diangkat sultan adalah Syekh Muhammad As’ad, cucu al-Banjari, dan kadi pertama adalah Abu Zu’ud, anak al-Banjari. Keduanya sebagian dari ulama yang dihasilkan al-Banjari dari dakwah dan pengajiannya­. Selama mereka menjabat, al-Banjari merupakan penasihat utamanya.

Al-Banjari aktif menulis sampai pada hari tuanya. Hasil karyanya yang terbesar ialah Sabil al-Muhtadin (Jalan Orang yang Mendapat Petunjuk), sebuah kitab fikih Mazhab Syafi‘i yang dijadikan buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan sekarang pun masih ada orang yang mempelajarinya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab.

Karya lainnya di bidang fikih ialah Luqtah al-‘Ajlan, Kitab an-Nikah (Buku Nikah), Kitab al-Fara’id (Buku Pembagian Harta Warisan), dan Khasyiyah Fath al-Jawad (Komentar terhadap Buku Pembukaan Kemurahan Hati).

Di bidang tauhid, karyanya antara lain Ushul ad-Din (Dasar-Dasar Agama), Tufah ar-Ragibin fi Bayan haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduh min Riddah al-Murtaddin (Hadiah bagi Para Pencinta dalam Menjelaskan Hakikat Iman Para Mukmin dan Apa Yang Merusaknya dari Kemurtadan Orang Murtad), al-Qaul al-Mukhtaœar fi‘Alamah al-Mahd al-Muntazhar (Pembicaraan Singkat tentang Imam Mahdi yang Ditunggu), dan Tarjamah Fath ar-Rahman (Terjemahan Buku Fath ar-Rahman).

Di bidang tasawuf, karyanya yang ditemukan hanya satu, yaitu Kanz al-Ma‘rifah (Gudang Pengetahuan).

Di samping itu masih ada karya tulis berupa mushaf­ Al-Qur’an tulisan tangan al-Banjari dalam ukuran besar yang ditulis dengan khat yang indah. Mushaf tersebut sampai sekarang masih dipajang dekat makamnya.

Untuk  memelihara akidah-akidah umat Islam dan kemurnian ajaran, al-Banjari pernah memberikan fatwa penjatuhan hukuman mati terhadap H Abdul Hamid yang mengajarkan ajaran Wahdatul Wujud yang menyesatkan di kalangan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
Abdullah, W. Muhd. Shagir. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Matahari Islam. Pontianak: Yayasan Pendidikan & Dakwah al-Fathanah, 1983.
al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Basuni, Ahmad. Djiwa jang Besar (Sjech Muhammad Arsjad Bandjar). Bandung: Pustaka Galunggung, 1949.
Daudi, Abu. Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar). Martapura: Madrasah Sullamul ‘Ulum, 1980.
Halidi, Yusuf. Ulama Besar Kalimantan: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin: Aulia, 1980.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tim Peneliti IAIN Antasari. Laporan Hasil Penelitian Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Antasari, 1988/1989.
Zamzam, Zafri. Syekh Muhammad Arsyad al‑Banjari: Ulama Besar Juru Dakwah. Banjarmasin: Karva, 1979.
Zuhri, KH Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al‑Ma’arif, 1981.

Hafizh Anshari