al-Balazuri

(w. 279 H/892 M)

Al-Balazuri  adalah seorang sejarawan Arab yang terkenal karena menulis kitab sejarah mengenai pembentukan kerajaan muslim Arab. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Baghdad, dan belajar di sana serta di Suriah. Karya utamanya, Kitab Futuh al-Buldan (Buku Pembukaan Negeri), menjelaskan perang serta penaklukan muslim sejak masa Nabi SAW.

Selain sejarawan, al-Balazuri adalah juga seorang perawi hadis dan penyair. Nama lengkapnya Abu Ja‘far Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Daud al-Balazuri. Ia dilahirkan di Baghdad pada akhir abad ke-2 H, tetapi tidak diketahui tahun persisnya. Di Baghdad pula ia pertama-tama menuntut ilmu. Ada empat ilmuwan yang menjadi gurunya di Baghdad, yakni Ibnu Abi Syaibah, Qasim bin Sallam Abu Ubaid, Ali al-Mada’ini (semuanya ahli hadis), dan seorang sekretaris al-Waqidi (747–823; sejarawan Arab) yang bernama Muhammad Ibnu Sa‘d.

Setelah menginjak remaja, al-Balazuri mulai mengembara untuk menuntut ilmu di beberapa negeri Islam. Hal pengembaraannya dapat dilihat dari sumber pengambilan riwayat sejarah dalam kitabnya Kitab Futuh al-Buldan. Ia pergi ke Damascus, Suriah, dan belajar kepada Hisyam bin Ammar; ke Homs, Suriah, dan belajar kepada Muhammad bin Musfi; serta ke Antakia (di pesisir timur Laut Tengah, kini masuk Turki) dan belajar kepada Muhammad bin Abdurrahman bin Sahm.

Kepada mereka itu, ia terutama sekali belajar ilmu hadis dan sejarah. Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadis dan sejarawan besar abad ke-15, dalam kitabnya Lisan al-Mizan (biografi orang yang mempunyai hubungan dengan hadis), menyebutkan beberapa guru al-Balazuri lain, yaitu Ibnu Sa‘d, ad-Dulabi, dan Ali al-Mada’ini (semuanya ahli hadis).

Dapat dikatakan bahwa al-Balazuri seorang sejarawan istana. Banyak materi sejarah yang ia tulis bersumber dari khalifah. Hubungannya dengan Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Abbasiyah 232 H/847 M–247 H/861 M) sangat dekat. Khalifah Abbasiyah berikutnya, al-Mu‘tazz (252 H/866 M–256 H/869 M), bahkan mengangkatnya sebagai pendidik bagi putranya yang bernama Abdullah.

Al-Balazuri adalah seorang ilmuwan produktif yang meninggalkan banyak karya, antara lain Kitab al-Buldan ash-sagir (Buku Kecil Negeri), Kitab al-Buldan al-Kabir (Buku Besar Negeri) yang belum selesai, Kitab al-Akhbar wa al-Ansab (Buku Sejarah dan Silsilah), Kitab Ansab al-Asyraf (Buku Silsilah para Syarif), dan Kitab Futuh al-Buldan.

Al-Balazuri juga menerjemahkan sebuah buku berbahasa Persia ke dalam bahasa Arab dalam bentuk syair, yang dalam bahasa Arab berjudul ‘Ahd Ardasyir (Masa Ardasyir). Kitab tersebut hanya disebut dalam al-Fihris (Indeks), karya Ibnu Nadim (w. 390 H/1000 M). Yang sudah ditemukan adalah Kitab Ansab al-Asyraf yang merupakan buku besar komprehensif berupa manuskrip sebanyak 2.464 halaman, yang meliputi sejarah dan silsilah.

Sebagian darinya sudah dicetak menjadi 5 jilid, sedangkan sisanya masih dalam bentuk manuskrip, yang terdapat di sebuah perpustakaan di Istanbul dan Dar al-Kutub (Perpustakaan Nasional) di Mesir. Buku kedua yang sampai ke generasi sekarang adalah Kitab Futuh al-Buldan, yang membahas sejarah ekspansi Islam ke negeri Timur dan Barat.

Dalam buku itu al-Balazuri membahas pembukaan negeri Irak dan Suriah secara panjang lebar, tetapi pembahasan mengenai pembukaan Andalusia tidak begitu terperinci.

Dilihat dari Kitab Futuh al-Buldan, al-Balazuri cenderung berpihak kepada Bani Abbas (Abbasiyah). Hal ini dapat dimaklumi karena ia adalah seorang pujangga istana Abbasiyah. Apabila ia menyebut nama para khalifah Abbasiyah, ia selalu menyertakan gelar “khalifah” di depannya dan ungkapan Allah yarham (semoga Allah SWT memberi rahmat kepadanya) atau radhiya Allahu ‘anhu (semoga Allah SWT meridainya) di belakangnya.

Sementara untuk khalifah Bani Umayah, yang disebut hanya namanya, tanpa embel-embel, kecuali Umar bin Abdul Aziz. Namun, dalam membahas sebuah peristiwa, ia bersikap netral dan berusaha memaparkannya secara objektif.

Metode sejarahnya dapat dilihat pada sistematika penulisan Kitab Futuh al-Buldan. Ia tidak hanya memperhatikan faktor kronologi, melainkan juga geografi negeri yang dimasuki Islam. Ia tidak lagi menggunakan metode hauliyyat (penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun kejadian), melainkan pendekatan berdasarkan wilayah (negeri).

Ia memulai pembahasan negeri yang dibuka pada zaman Nabi Muhammad SAW di Semenanjung Arabia, kemudian mengarahkan pembahasan pada Perang Riddah yang terjadi tidak lama setelah Nabi SAW wafat. Setelah itu ia membahas pembukaan negeri Suriah, yang diiringi dengan pembukaan negeri Armenia, Mesir, Tarabulus (kini masuk Libya), dan Tanjah (kini masuk Maroko) di Afrika Utara, kemudian Andalusia dan kepulauan di Laut Tengah, dan akhirnya ditutup dengan pembahasan masalah kertas yang dibuat di Mesir.

Berikutnya ia membahas pembukaan negeri di sebelah timur, seperti Qadisiyah dan Madain di Irak; Hamadan, Isfahan, Rayy, Azerbaijan, dan Tabaristan di selatan Laut Kaspia; Sijistan, Khurasan, dan Sind di Iran bagian timur dan Afghanistan bagian barat; dan diakhiri dengan pembahasan tentang kharaj (pajak tanah), upeti, stempel, dan kaligrafi. Singkatnya, ia memberikan informasi berharga tentang sistem perekonomian, sistem administrasi, dan perkembangan sosial.

Dalam membicarakan setiap negeri yang dimasuki Islam, ia tetap memperhatikan faktor kronologi dan kadang-kadang menggabungkannya dengan metode isnad (metode periwayatan). Misalnya, ia berkata, “Disampaikan kepadaku satu riwayat oleh sekelompok ahli hadis, ahli biografi, dan ahli ekspansi Islam; pembicaraan mereka itu saya simpulkan, saya ringkas, dan saya uji dengan pendapat yang lain.”

Setelah itu, ia baru menuliskan peristiwa yang bersangkutan, dimulai dengan kata qalu (mereka berkata). Akan tetapi ia kadang-kadang juga mencantumkan isnad per individu, sebagaimana biasanya dilakukan ahli hadis, antara lain ada yang marfu‘ (bersambung sampai kepada peristiwa bersangkutan), tetapi ada juga yang maqtu‘ (terputus) dan majhul (tidak diketahui perawinya), misalnya “dari Syekh asal Ta’if” Pada saat yang lain, ia menyebutkan nama buku sumber pengambilan.

Menurut Duri (sejarawan kontemporer) dalam bukunya yang berjudul The Rise of Historical Writing among the Arabs, al-Balazuri sebenarnya telah menyeleksi riwayat yang terdapat dalam buku yang dikutipnya itu. Bukunya ditulis seperti karya para sejarawan seperti al-Waqidi, Abu Mikhnaf (w. 774), az-Zuhri (w. 123 H/741 M), al-Mada’ini (w. 224 H/839 M), dan Awanah bin Hakam (w. 147 H/765 M).

Kalau ia membicarakan banyak versi tentang satu peristiwa, kadang­kadang ia menentukan mana di antara versi itu yang paling kuat, tetapi kadang-kadang juga tidak. Dalam menulis riwayat yang kurang kuat, ia menggunakan kalimat pasif, seperti “diberitakan”, “diriwayatkan” atau “dikatakan”.

Dalam masalah tertentu, sebagaimana sebagian sejarawan lainnya, ia tidak begitu ketat pada penggunaan metode isnad, tetapi tampaknya dalam masalah yang berkenaan dengan proses pembukaan suatu negeri oleh Islam, ia berusaha mendapatkan informasi dari tangan pertama dengan menemui para tokoh setempat atau orang yang sudah dewasa, yang menyaksikan peristiwa bersangkutan.

Dengan demikian, ada dua sumber al-Balazuri dalam penulisan sejarah, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Yang penting sekali dari Kitab Futuh al-Buldan, di samping manfaat kesejarahannya, adalah pesan wajibnya dakwah dan jihad dalam Islam.

Kalau dalam Kitab Futuh al-Buldan ia menunjukkan pentingnya pengalaman ummah (umat, masyarakat) bagi tujuan administrasi dan hukum, dalam karyanya yang berjudul Kitab Ansab al-Asyraf ia memberikan gambaran mengenai kesatuan masyarakat Islam dan kesinambungan pengalamannya dalam sejarah Islam.

Buku terakhir ini bukan sebuah kitab yang memaparkan sejarah secara runtut, melainkan lebih merupakan kumpulan kisah yang berhubungan dengan peristiwa tertentu.

Dalam bidang hadis, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, riwayat hidup al-Balazuri tidak dibahas di dalam buku yang membahas al-jarh wa at-ta‘dil (ilmu yang berkenaan dengan penyeleksian hadis berdasarkan kejujuran perawi). Para ahli al-jarh wa at-ta‘dil merasa tidak begitu penting untuk membahas riwayat hidup al-Balazuri karena hadisnya tidak satu pun yang diriwayatkan di dalam al-Kutub as-Sittah (Kitab yang Enam, yaitu sahih al-Bukhari, sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah).

DAFTAR PUSTAKA

al-Balazuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir. Futuh al-Buldan. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.
______________________________. Kitab al-Ansab wa al-Asyraf. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1318.
Duri, Abdul Aziz. The Rise of Historical Writing among the Arabs. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Usman, Muhammad Fathi. al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1988.

Badri Yatim