Al-Azhar

Al-Azhar adalah sebuah lembaga pendidikan dan keagamaan di Cairo, Mesir, yang sangat termasyhur di dunia Islam. Lembaga ini bermula dari sebuah masjid sebagai pusat kegiatan ibadah Islam dan selanjutnya berkembang menjadi universitas (al-jami‘ah) dan lembaga dakwah Islam. Salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia juga menggunakan nama al-Azhar.

Nama al-Azhar mulai dikenal ketika Dinasti Fatimiyah yang menganut ajaran Syiah menguasai Mesir. Pada 24 Jumadil Awal 359 H/970 M Khalifah al-Mu‘izz Lidinillah (341 H/953 M–365 H/975 M) memerintahkan Panglima Jauhar al-Katib as-Siqilli untuk meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami‘ al-Azhar.

Setelah selesai, masjid ini diresmikan pada 7 Ramadan 361 H/971 M. Nama pertama masjid ini adalah Jami‘ al-Qahirah, yang dinisbahkan kepada nama ibukota tempat masjid itu didirikan. Terakhir masjid ini diberi nama Masjid al-Azhar, yang dinisbahkan kepada nama Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW.

Pada masa Dinasti Fatimiyah, Jauhar al-Katib as-Siqilli menginstruksikan para khatib untuk tidak menyebut-nyebut Bani Abbas dalam setiap khotbah Jumat dan juga meng­haramkan pemakaian jubah hitam serta atribut­ Bani Abbas lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khotbah Jumat adalah pakaian putih.

Azan ditambah dengan ucapan, “Hayya ‘ala khair al-‘amal”, dan dalam­ khotbah Jumat diucapkan, “Ya, Allah, ucapkanlah selawat atas Nabi Muhammad SAW, manusia­ yang terpilih, kepada Ali, manusia yang diridai, kepada Fatimah dan kepada Hasan dan Husein, cucu Rasulullah SAW. Mereka itu disingkirkan Allah SWT dari kekotoran dan disucikan. Selawat atas diri imam-imam yang suci dan atas diri amirulmukminin, al-Mu‘izz Lidinillah.”

Selama hampir satu abad (567 H/1171 M–665 H/1267 M) Masjid al-Azhar tidak difungsikan untuk salat Jumat. Masa ini meliputi keseluruhan masa Dinasti Ayubiyah yang berhasil mengalahkan Dinasti Fatimiyah, dan kira-kira 17 tahun meliputi masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Salahuddin al-Ayyubi dan seluruh pejabat Ayubiyah menganggap khotbah Jumat di Masjid al-Azhar tidak sah, karena ada pendapat yang melarang berlakunya dua khotbah Jumat dalam satu kota. Salahuddin menginstruksikan agar me­musatkan salat­ Jumat di Masjid al-Hakim saja.

Pada masa berikutnya, salah seorang amir dari Dinasti Mamluk, yakni Izuddin Aidmur al-Hilli, yang bertempat tinggal di sekitar masjid itu mengusulkan kepada Sultan az-Zahir Baybars (sultan Mamluk ke–4; memerintah 1260–1277) agar masjid tersebut difungsikan kembali untuk salat Jumat. Sebelum mengeluarkan instruksi untuk pemanfaatan kembali Masjid al-Azhar, terlebih dahulu­ Sultan berkonsultasi­ dengan qadi al-qudat (semacam hakim agung Mahkamah Agung zaman sekarang).

Kadi ini menolak usul Sultan karena menganggapnya bertentang­an­ dengan Mazhab Syafi‘i. Karena itu, Sultan membebaskannya dari jabatannya, lalu mengangkat seorang kadi penggantinya dari Mazhab Hanafi yang membolehkan dua tempat menyelenggarakan salat Jumat dalam satu kota.

Perhatian Sultan cukup besar dan terbukti dari biaya yang dikeluarkan bersama amir untuk mem­perbaiki bagian masjid yang retak serta menambah satu ruangan khusus untuk para ulama yang mengajar berbagai ilmu Islam.

Sebagai lembaga keagamaan, Masjid al-Azhar berfungsi sebagai pusat kegiatan al-Muhtasib, “pengawas” yang merupakan jabatan agama yang penting dalam Dinasti Fatimiyah.

Imam al-Mawardi (975–1059), seorang ahli fikih, dalam bukunya al-Ahkam as-Sultaniyyah (Hukum Tata Negara) membedakan antara al-Hisbah (tugas pengawasan terhadap kecurangan dalam masyarakat) yang dilakukan secara individu karena panggilan imannya (al-Mutawwi)­ dan al-Hisbah yang diberi tugas oleh pemerintah (al-Muhtasib).

Athiyah Musthafa Mysyarrafah dalam bukunya al-Qada’ fi al-Islam (Peradilan dalam Islam) menyebutkan bahwa­ al-Muh tasib adalah orang yang beramar makruf nahi munkar dan menjaga akhlak dan nilai keutamaan serta amanat.

Kegiatan lain yang berpusat di Masjid al-Azhar adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiu lawal, hari Asyura setiap 10 Muharam. Ada lagi perayaan setiap tanggal 1 Rajab, 15 Rajab, 1 Sya’ban, dan 15 Syakban yang disebut “malam cahaya”.

Pada malam harinya cahaya lampu dan lilin menyinari seluruh ruangan dan sekitar halaman masjid. Malam itu banyak anggota masyarakat berkunjung ke masjid, sebagai ganti pergi ke kuburan. Khalifah dan istrinya serta para pejabat kerajaan duduk dalam masjid dengan dikelilingi para pembaca Al-Qur’an dan peratap.

Keadaan ini berlaku hingga tengah malam, lalu mereka kembali ke rumah setelah masing-masing diberi makanan halwa yang diasapi  oleh khalifah serta kadi dengan pedupaan­ kemenyan yang terbuat dari emas dan perak. Masjid al-Azhar juga berfungsi sebagai tempat sidang khalifah, sidang peradilan, dan pertemuan para kadi­ pada hari tertentu.

Lembaga pendidikan di al-Azhar bermula ketika al-Mu‘izz Lidinillah (khalifah ke-4 Fatimiyah; 341 H/953 M–365 H/975 M) pada 362 H/973 M memindahkan ibukota Dinasti Fatimiyah dari kota Qairawan di Tunisia ke al-Qahirah (Cairo) di Mesir.

Pada 975 ia meresmikan al-Jami’ah (universitas) al-Azhar yang berdasarkan Mazhab Syiah Ismailiyah. Tahun peresmian Universitas al-Azhar ini sudah diakui secara internasional sebagai waktu pertama kali berdirinya universitas di dunia. Dan dengan demikian, Universitas al-Azhar menjadi universitas tertua di dunia.

Semula para penguasa Dinasti Fatimiyah mengadakan kegiatan pengajaran di al-Azhar atas dorongan kepentingan mazhab. Namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga­ lembaga pendidikannya berubah menjadi sebuah perguruan tinggi. Pada 365 H/975 M untuk pertama kalinya dimulai kegiatan ilmiah secara sederhana.

Para ilmuwan terkenal dan pejabat negara menjadi kelompok “mahasiswa” pertama penerima kuliah yang diberikan Abu Hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu‘man al-Qairawani (w. 374 H/985 M) yang merupakan kadi tertinggi (qadi al-qudat) Dinasti Fatimiyah pada waktu itu. Materi pertama yang disajikan adalah prinsip fikih Syiah.

Seri kuliah kedua diberikan Menteri Ya’kub bin Killis, yang disebut seri Ibnu Killis. Ya’kub bin Killis memberikan perhatian cukup  besar ke arah peningkatan al-Azhar. Ia meminta izin dari khalifah Fatimiyah, al-Azis Billah Abu Mansur Nazzar (365 H/975 M–386 H/996 M), agar kuliah diadakan secara lebih teratur dan kontinu.

Selain itu, Ibnu Killis juga berusaha menghimpun sekelompok  ulama fikih untuk menghadiri pertemuan ilmiah setiap Jumat sore setelah salat asar. Ulama yang berkumpul sebanyak 35 orang di bawah pimpinan al-Aqabah Abu Ya’kub, seorang kadi al-Khandaq. Kehidupan ulama ini ditanggung­ pemerintah, baik dari segi keuangan, makanan, maupun tempat tinggal khusus yang berdekatan dengan masjid.

Kuliah yang dipelopori Ibnu Killis ini juga berjalan menurut prinsip Syiah. Bidang yang menjadi pokok bahasan adalah ilmu agama dan bahasa, seperti ilmu Al-Qur’an, hadis, ilmu kalam, usul fikih, ilmu nahwu, ilmu sharaf, sastra, dan sejarah. Setiap mata kuliah diberikan oleh syekh yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Syekh duduk membaca pelajaran di hadapan mahasiswa dan pendengar (mustami‘) kemudian berdiskusi kalau perlu.

Para pengajar yang memberi kuliah di Universitas al-Azhar antara lain adalah: (1) Abu Hasan an-Nu‘man, ahli di bidang fikih ahlulbait dan sastra, khususnya syair; (2) Muhammad bin Nu‘man (w. 389 H/999 M), saudara Abu Hasan an-Nu‘man; dan (3) Husen bin an-Nu‘man (putra Abu Hasan an-Nu‘man), seorang kadi­ pada masa al-Hakim Biamrillah (khalifah­ Dinasti­ Fatimiyah di Mesir, 386 H/996 M–441 H/1021 M);

ahli fikih dan ahli sejarah Mesir, yaitu Hasan bin Zaulaq (w. 387 H/997 M), sahabat­ al-Mu‘izz Lidinillah; dan penulis sejarah terkenal­ al-Amir Mukhtar Abdul Malik Muhammad bin Abdul Malik bin Ahmad al-Hadani yang pernah menjadi menteri pada masa al-Hakim Biamrillah juga mengajar di Universitas al-Azhar.

Yang terakhir­ ini menulis ki­tab sejarah berjudul AkhbÎr Miœr (Berita Mesir) yang merupakan suatu warisan­ besar. Kitab­ ini memaparkan­ sejarah Mesir  dan arca yang terdapat di negeri ini. Bukunya  yang lain berbicara mengenai ilmu sejarah, sastra, dan ilmu falak.

Pada masa Dinasti Ayubiyah, Universitas al-Azhar tidak banyak  berperan, bahkan cenderung ditelantarkan. Alasannya cukup kuat, yakni bahwa Dinasti Fatimiyah pernah mempropagandakan Mazhab Syiah melalui Universitas al-Azhar, sedangkan Salahuddin al-Ayyubi dan seluruh penguasa di Dinasti Ayubiyah menganut Mazhab Suni.

Tetapi pengembangan studi di Universitas  al-Azhar pada masa Dinasti Ayubiyah ini tetap berjalan, walaupun lebih banyak bergantung pada usaha pribadi dan orang yang bersimpati dengan pendidikan agama. Tetapi para mahasiswa dan ulama terkenal dari pelosok dunia Islam mulai berdatangan  dan berkunjung ke Universitas al-Azhar.

Pada masa pemerintahan putra Salahuddin, Sultan al-Aziz Imaduddin Usman (589 H/1193 M–594 H/1198 M), Abdul Latif al-Baghdadi datang ke Mesir dan mengajar  di Universitas al-Azhar untuk mata kuliah mantik dan bayan. Demikian pula Syekh Abu Qasim al-Manfakuti, Jalaluddin as-Suyuti, Syekh as-Sahruri, Ibnu al-Farid (sufi terkenal), dan Syamsuddin Khallikan (ahli sejarah terkenal).

Pengajar lain yang terkenal adalah Abu Abdullah al-Qudha’i, seorang ulama ahli fikih, hadis, dan sejarah. Ia menulis kitabnya yang berjudul asy-Syihab (Bintang) dan Sanadus Sihah (Perawi Hadis Sahih), kitab Manaqib al-Imam asy-Syafi‘i (Budi Pekerti Imam Syafi‘i), Anba’ al-Anbiya (Cerita tentang Para Nabi), kitab ‘Uyun al-Ma‘arif (Mata Ilmu Pengetahuan) yang berisi ringkasan­ sejarah, dan kitab al-Mukhtar­ fi Tikr al-Khutat wa al-asar tentang sejarah Mesir.

Kemudian datang pula al-Hufi (seorang ahli bahasa), Abu Abdulah  Muhammad bin Barakat (ahli nahwu), dan Hasan bin Khatir al-Farisi (ahli fikih Mazhab Hanafi dan ahli ilmu tafsir). Selanjutnya, pada masa Dinasti Mamluk (1250–1517), Universitas al-Azhar yang cenderung seolah-olah nonaktif selama hampir satu abad kembali menemukan momentumnya.

Masa ini adalah masa kemelut di seluruh dunia Islam sehubungan­ dengan terjadinya penaklukan tentara Tartar atas kota Baghdad dan pembantaian dan pengusiran umat Islam di Spanyol (Andalusia). Universitas al-Azhar justru menjadi tempat pelarian sarjana dan ulama Islam, antara lain Ibnu Khaldun, filsuf dan ahli sejarah terkenal yang datang ke Mesir pada 784 H/1382 M dan mengajarkan hadis serta fikih Imam Malik.

Selain mereka yang datang dari luar Mesir, ulama dari Mesir pun berkumpul untuk memberikan kuliah; antara lain Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H/1505 M) yang menjelaskan­ da­lam pengantar kitabnya bagaimana cara ia mengajar di Universitas al-Azhar. As-Suyuti memulai­ kuliahnya­ dengan menyebut sumber kepustakaan. Kemudian­ia memperkuat setiap bahasannya dengan alasan berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis, ditambah dengan dalil aqli.

Pada masa pemerintahan Mamluk, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan agak meningkat, karena Dinasti Mamluk memerintahkan para ulama untuk membukukan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada masa ini muncul banyak karya tulis dari para ulama.

Pada setiap buku yang dikarang­ diperintahkan pembubuhan nama sultan atau amir tertentu. Teknik penulisan yang dipakai pada waktu itu adalah seperti berikut:­ (1) Ikhtiar (ikhtisar atau ringkasan),­ yang mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan. Cara ini disebut­ matan (teks).

Teks ini sering dihafal oleh mahasiswa tanpa memahami­ isinya. (2) Syuruh, yang menerangkan berbagai masalah yang terkandung dalam matan. (3) Hawasyi (catatan pinggir), yang menerangkan syuruh secara lebih luas. Mahasiswa diperbolehkan mengikutinya­ setelah pemikiran­ mereka dianggap matang­ oleh guru.

Kematang­an­ ini dinilai dari kemampuan ilmiahnya dalam mendiskusikan masalah. (4 Taqarir (laporan), yang menjelaskan­ serta mengomentari masalah tertentu yang terdapat dalam Hawasyi.

Buku yang ditulis sering berbentuk ensiklopedi yang mempunyai ringkasan. Keterangan­ luas dalam bentuk ini dimaksudkan untuk mahasiswa yang ingin memperdalam pengetahuan, sedangkan ringkasan untuk pembaca umum yang ingin mengetahui masalah selayang pandang.

Cara pengajaran dan penulisan seperti di atas tetap berjalan di al-Azhar sampai masa Usmani. Akan tetapi, pada abad ke-16 terdapat juga ulama yang mengarang buku di luar ilmu aga-ma dan bahasa Arab, seperti Syekh at-Tahhan yang menulis buku tentang kedokteran.

Selanjutnya, kemunduran pemikiran yang melanda Dinasti Usmani (Ottoman) selama berabad-abad juga ikut mempengaruhi perkembangan Universitas al-Azhar. Setelah Mesir berada di bawah  pemerintahan gubernur (wali) Usmani, Ahmad Basyakur, pada 1718, bidang studi non agama, seperti matematika dan ilmu falak, mulai dimasukkan  kembali ke dalam kurikulum Universitas al-Azhar.

Jabatan syekh al-Azhar dibentuk pada 925 H/1517 M. Inilah asal muasal struktur al-Azhar sebagaimana dikenal­ sekarang ini. Pada puncak struktur adalah syaikh al-Azhar (grand syaikh); kemudian, di bawahnya masing-masing adalah na’ib syaikh al-Azhar yang bertanggung jawab atas misi dakwah al-Azhar ke berbagai wilayah dunia muslim; rektor Universitas al-Azhar; dan kepala penelitian­ al-Azhar.

Semenjak itu, syekh al-Azhar lah orang pertama yang berhak memberikan penilaian  atas reputasi ilmiah bagi tenaga pengajar, mufti, dan hakim. Ia jugalah yang berhak membagi harta wakaf, hadiah, dan sebagainya.

Sistem pengajaran yang dipakai di al-Azhar adalah sistem halaqah (kelompok studi dalam bentuk lingkaran dalam masjid) yang mempergunakan syarah (ceramah), niqasy (diskusi), dan hiwar (dialog).

Sebelum tahun 1872, ijazah tidak diberikan kepada lulusan Universitas al-Azhar berdasarkan hasil ujian, tetapi berdasarkan keputusan pribadi dari masing-masing tenaga pengajar atas dasar sistem pendidikan yang diatur sebagai berikut:

(1) Untuk mata kuliah tertentu terdapat seorang guru besar. Mahasiswa­ berusaha mendampingi guru besar hingga guru besar meninggal dunia. Tujuannya adalah mencapai tingkat ketinggian ilmiah seperti yang dimiliki gurunya.

(2) Mahasiswa mungkin mendapat ijazah hanya untuk mata kuliah tertentu, sedangkan untuk mata kuliah lain belum tentu dapat. Mahasiswa dapat menjadi pengajar mata kuliah tertentu setelah lulus pada mata kuliah tersebut dan tetap menjadi murid sebelum lulus pada mata kuliah tertentu.

(3) Setiap mahasiswa yang telah merasa mampu untuk mata kuliah tertentu diberi kesempatan untuk meng­ajarkannya dan apabila betul-betul telah ahli dalam ilmu yang bersangkutan, maka ia berhak memperoleh ijazah.

(4) Setiap mahasiswa bebas memilih­ mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait dengan daftar kehadiran.

Pengembangan Universitas al-Azhar selanjutnya tampak kembali­ pada masa kepemimpinan Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi, rektor ke-21 al-Azhar. Ia adalah penganut Mazhab Hanafi­ pertama yang memegang jabatan rektor.

Ia melakukan berbagai pembaruan, antara lain pada­ Februari 1872 memasukkan sistem ujian untuk men­dapatkan ijazah Universitas al-Azhar. Calon alim harus berhadapan dengan satu tim yang beranggota­kan­ enam orang syekh yang ditunjuk syekh al-Azhar.

Tim ini menguji bidang studi usul, fikih, tauhid, hadis,­ tafsir, dan ilmu bahasa seperti nahu, sharaf (ilmu tentang pembentukan kata), ma‘ani (ilmu tentang penyusunan kata yang indah), bayan, badi‘ (ilmu yang membahas keindahan kalimat Arab), dan mantik. Kandidat yang berhasil lulus mendapat­kan asy-syahadah al-‘alamiyah (ijazah kesarjanaan).

Pada Maret 1885 keluar undang-undang mengenai peng-aturan tenaga pengajar di Universitas al-Azhar. Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar setelah dapat menyelesaikan buku induk dalam dua belas bidang studi seperti tersebut di atas.

Kandidat yang lulus dalam ujian ini mendapat ad-da­rajah al-ula (tingkat pertama), ad-darajah as-saniyah­ (tingkat kedua), dan ad-darajah as-salisah (tingkat­ ketiga). Lulusan nilai pertama dapat bekerja sebagai­ tenaga pengajar untuk buku tingkatan tinggi; nilai kedua untuk buku tingkatan me­ nengah; dan nilai ketiga untuk buku tingkatan dasar.

Pada 1896, untuk pertama kali dibentuk Idarah al-Azhar (Dewan Administrasi al-Azhar). Usaha pertama dari dewan ini adalah menge­luarkan­ peraturan yang membagi masa belajar di al-Azhar menjadi dua periode: (1) pendidikan dasar (asy-syahadah al-ahliyah/ijazah kualifikasi), dan (2) pendidikan­ menengah dan tinggi (asy-syahadah al-‘alimiyah). Masa belajar untuk periode pertama 8 tahun dan periode kedua 6 tahun.

Usaha pembaruan selanjutnya dilakukan Syekh Muhammad Abduh (1849–1905). Pada mulanya tokoh pembaru ini mendapat tantangan­ dari ulama konservatif, tetapi setelah al-Azhar di­pegang Syekh an-Nawawi (teman akrabnya), ia mendapat kesempatan mengadakan sedikit pembaruan.

Berangsur-angsur mulai diadakan peng­aturan libur yang lebih pendek dan masa belajar lebih panjang. Uraian pela-jaran bertele-tele yang dikenal dengan Syarah al-Hawasyi diusahakan­ untuk dihilangkan. Sementara itu, ia juga memasukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah ke al-Azhar.

Di samping masjid, didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (Idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelan-caran tugas syekh al-Azhar. Ber­samaan dengan ini, juga dibangun semakin banyak Ruaq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan bagi guru dan mahasiswa yang terus bertambah.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1908, jenjang pendidikan al-Azhar dibagi menjadi tiga: (1) pen­didikan dasar (awwaliyah), (2) pendi­dikan me­nengah (Tsanawiyah), dan(3)pendidikan tinggi (‘aliyah) dengan masa belajar masing-masing­ 4 tahun.

Pada masa kepemim­pinan Syekh Salim al-Basyari, keluar lagi Undang-Undang No. 10 Tahun 1911 yang isinya antara lain menetapkan: (1) jenjang pendidikan al-Azhar menjadi 5- tahun, (2) pembentukan Majlis Tinggi al-Azhar (Majlis al-A‘la li al-Azhar), (3) pembentukan organisasi ulama terkemuka (Hai’ah Kubar al-‘Ulama), (4) pembentukan badan  administrasi  untuk setiap tingkat pendidikan rendah dan menengah,­ dan (5) pengaturan kepegawaian.

Berdasarkan Undang-Undang No. 49 Tahun 1930, studi di al-Azhar disempurnakan lagi dengan  membaginya menjadi empat jenjang pendidikan:­ pendidikan rendah, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan tinggi kejuruan. Pendidikan rendah berlangsung selama 4 tahun, pendidikan meneng­ah­ 5 tahun, pendidikan tinggi tingkat pertama 4 tahun, dan pendidikan tinggi kejuruan (takhasus) 5 tahun.

Pendidikan tinggi kejuruan mempunyai dua bentuk: kejuruan karier (mihnah) dan kejuru­an­ kehakiman (qada). Alumni pertama bergerak­ di bidang dakwah seperti khatib, imam, dan mubalig, sedangkan­ yang kedua di bidang peradilan. Fakultas yang ada pada waktu itu adalah Ushuluddin, Syariah, dan Bahasa Arab.

Sejak awal berdirinya, studi di Universitas al-Azhar selalu terbuka untuk semua orang yang ingin belajar dari seluruh pelosok dunia. Biasanya mereka tinggal bersama guru di tempat pemondokan khusus di sekitar al-Azhar yang disebut ruaq dan harah. Pada akhir abad ke-18, terdapat 26 ruaq dan 15 harah yang sebagian besar masih ada sampai sekarang.

Sementara itu pemondokan yang berbentuk­ asrama mo­dern bagi maha­siswa­ dari luar Mesir dijadikan kompleks perumahan mahasiswa, yang disebut Madinah al-Bu’us al-Islamiyyah.

Pada masa kepemimpinan Syekh Mahmud Syaltut (rektor ke-41 Universitas al-Azhar), keluar undang-undang pembaruan yang disebut Undang-Undang Revolusi Mesir No. 103 Tahun 1961, yang mengatur organisasi al-Azhar.

Dalam undang-­undang ini ditetapkan bahwa masalah­ pemeliharaan­ Al-Qur’an (mengajar mengha­fal dan mem­baca Al-Qur’an) diatur oleh organisasi­ tersendiri di bawah pengawasan al-Azhar. Juga ditetapkan pengadaan fakultas ba­ru, seperti Kedokteran, Perdagangan, Farmasi, Pertanian, Teknik,­ Bahasa Arab dan Terjemah, Ilmu Pasti, Tarbiyah, Studi Kemanusiaan, di samping Fakultas Syariah,­ Ushuluddin, dan Sastra yang telah ada.

Pasal 3 ayat 8 undang-undang ini mengatur lembaga al-Azhar yang terdiri dari: (1) Universitas al-Azhar (Jami‘ah al-Azhar), (2) Lem­baga Pendidikan Dasar dan Menengah (al-Ma‘ahid al-Azhariyyah), (3) Lembaga Riset Islam (Majma‘ al-Buhus al-Islamiyyah), (4) Biro Kebudayaan dan Misi Islam (Idarah as-Saqafah al-Bu’us al-Islamiyyah), (5) Majelis Tinggi al-Azhar (Majlis al-A‘la li al-Azhar), (6) Dewan Fatwa Ulama, dan (7) Badan Bantuan Islam (Hai’ah Iqasah al-Islamiyyah).

Menurut­ ayat 33 undang-undang ini, Universitas al-Azhar adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tingkat universitas atau penelitian yang bertujuan untuk memelihara, mempelajari, dan menyebarluaskan­ turas (warisan) Islam.

Secara lebih terperinci, tujuan universitas adalah:

(1) menge­mukakan kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan ja­minannya terhadap kebahagiaan di dunia dan akhirat;­

(2) memberikan perhatian­ penuh terhadap­ kebangkitan turas ilmu, pemikiran, dan kero­hanian bangsa Arab Islam;

(3) menyuplai dunia Islam dan negara Arab dengan ulama aktif yang beriman,­ percaya terhadap diri sendiri, mempunyai keteguhan mental­ dan ilmu yang men­dalam tentang akidah, syariat, dan bahasa Al-Qur’an;

(4) mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, ke­pemimpinan dan teladan yang baik, serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahu­ an yang sanggup aktif dalam dakwah Islam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan pelajaran­ yang baik di luar dan di dalam Republik Arab Mesir; dan

(5) meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri.

Sejak 1962 al-Azhar membuka pintu bagi kaum wanita, dan Dr. Zainab Rashid membuka “Kulliyah al-Banat” (Fakultas Wanita/al-Azhar Woman’s College) yang berlokasi di gedung baru dengan jumlah lebih dari 3.000 mahasiswi dari berbagai penjuru dunia Islam.

Perpustakaan al-Azhar berdirinya sejak 1297 H/1879 M. Koleksi buku terdapat pada enam tempat di lingkungan al-Azhar, yaitu pada Madrasah Aqbigha, Madrasah Thibristiyah, Ruaq Turki, Ruaq al-Abbasi, Ruaq Maghrib, dan Ruaq Syaw-wam.

Koleksi buku al-Azhar meliputi banyak bidang ilmu, seperti masahif (Al-Qur’an dengan berbagai format dan tulisan); qiraah; ilmu Al-Qur’an; tafsir Al-Qur’an; mustalah al-hadis­ (istilah hadis); fikih empat mazhab; turas (warisan); hikmah tasyri‘ (legislasi); fikih umum; ilmu kalam; mantik; adab al-bahs (metodologi riset);

filsafat; tasawuf; adab; sejarah;­ geografi; pendidikan; sosiologi; hukum; ke­ dokteran; aritmatika; geometri; aljabar; astronomi; hayah (biologi); ilmu firasat dan sidik jari; al-ad‘iyah wa al-awrad (doa dan wirid); takwil mimpi; ekonomi; politik; perdagangan dan industri; tata buku; pertanian; topografi; kimia dan fisika; olahraga; teknik militer; musik; gambar; syariat nonmuslim; statistik; dan bahasa Barat dan Timur.

Pada abad ke-20 al-Azhar mulai memperhatikan hasil yang telah dicapai para sarjana orientalis Barat di bidang studi keislaman dan kearaban. Universitas al-Azhar mulai memandang perlu mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas Barat, dan mengirim alumninya yang dipandang mampu untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan pengiriman ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional.

Al-Azhar di Indonesia. Perguruan Islam al-Azhar adalah salah satu wadah pendidikan Islam di Indonesia, bernaung di bawah Yayasan Pesantren Islam (YPI), dan didirikan pada 7 April 1952 di Jakarta. Yayasan ini bertujuan mem­bina dan mengembangkan pendidikan Islam dalam arti seluas-luasnya serta meningkatkan mutu dan menyiarkan syiar Islam. Meski menggunakan nama “al-Azhar”, lembaga al-Azhar YPI ini tidak memiliki kaitan struktural dengan al-Azhar, Cairo.

Dalam lingkungan YPI terdapat beberapa badan/lembaga:

(1) Masjid Agung al-Azhar. Pembangunannya dimulai  pada November 1953 dan pemakaiannya  diresmikan  pada 1958 dengan nama Masjid Agung Kebayoran. Masjid ini terletak  di atas tanah seluas lebih kurang 4,5 ha di Jalan Sisinga mangaraja (Kebayoran Baru), yang merupakan pemberian Syamsurijal, walikota Jakarta, pada 1952.

Pada 1960 Syekh Mah­mud Syaltut, rektor Universitas al-Azhar (Mesir), berkunjung ke Masjid Agung Kebayoran dan memberikan nama al-Azhar sehingga resmi menjadi Masjid Agung al-Azhar serta merestui peng­ang­katan Prof. Dr. HAMKA sebagai Imam Besar Masjid Agung al-Azhar.

Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jemaah, secara bertahap terbentuk pula berbagai jenis kegiatan lain yang berpusat di masjid, seperti­ pendidikan formal dan in-formal, kegiatan pemuda, pengajian wanita, poliklinik, dan berbagai kursus.

Untuk lebih menginten­sifkan berbagai kegiatan tersebut, pengurus yayasan akhirnya menetapkan­ pen-gurus Masjid Agung al-Azhar. Badan ini mengkoordinasikan kegiatan majelis taklim, pengajian,  pengislaman seseorang, penyantunan fakir miskin dan yatim piatu, dan pelaksanakan perayaan hari besar Islam.

(2) Lembaga Pendidikan al-Azhar. Lembaga ini berbentuk­ sekolah umum dengan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Tujuan lembaga pendidikan ini adalah mempersiapkan cendekiawan muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap­ dan terampil, percaya pada diri sendiri, dan berguna bagi agama, masyarakat, dan bangsa. Cita-cita yang dilandasi nilai moral agama merupakan­ kunci perguruan ini.

Lembaga pendidikan al-Azhar terdiri dari Taman Kanak-Kanak Islam, Sekolah Dasar Islam I, Sekolah Dasar Islam II, Sekolah Menengah Pertama Islam, Sekolah Menengah Atas (kini SMU) Islam, dan Pendidikan Islam al-Azhar (PIA).

Lembaga ini memiliki sejumlah cabang di berbagai wilayah Jakarta, seperti al-Azhar cabang Pasar Minggu, Kemandoran, Bekasi, Cakung, Kebayoran Lama, Bintaro, Kembangan, Rawamangun, Pamulang, dan Kemanggisan­ (Slipi).

Sejak 1990-an cabang sekolah al-Azhar di berbagai kota di Indonesia didirikan, antara lain di Serang (Banten), Tangerang (Banten), Cilacap (Jawa Barat), Cianjur (Jawa Barat), Cirebon (Jawa Barat), Sukabumi (Jawa Barat), Bandung (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), Solo (Jawa Tengah), Salatiga (Jawa Tengah), Semarang (Jawa Tengah), dan Pontianak (Kaliman tan Barat).

(3) Badan Pemuda al-Azhar. Secara berkala badan­ ini menyelenggarakan kegiatan pesantren kilat, seminar, diskusi, perlombaan olahraga, dan kesenian­.

(4) Badan Kesehatan al-Azhar. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu poliklinik umum dan poliklinik gigi, yang melayani pengobat­an­ untuk para siswa, jemaah, dan masyarakat umum.

(5) Akademi, Kursus, dan Bimbingan Masyarakat­ al-Azhar. Akademi ini terdiri dari studi bahasa Arab, kursus agama Islam, bacaan Al-Qur’an, manasik haji, studi Islam al-Azhar (untuk para ibu), dan pendidikan kader mubalig.

(6) Universitas al-Azhar Indonesia (UAI). UAI didirikan pada 10 Agustus 2000. Hingga kini UAI memiliki delapan fakultas dengan 22 program studi/jurusan, yakni: (1) Fakultas Teknik,(2)Fakultas Sains, (3) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (KIP), (4) Fakultas Ekonomi, (5) Fakultas Sastra, (6) Fakultas Agama Islam, (7) Fakultas Hukum, dan (8) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pendidikan (ISIP).

Daftar Pustaka

Bek, Muhammad Khudari. Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1969.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah, 1969.
–––––––. el-Fatimiyyu fi Masra wa A‘maluhum as-Siyasiyah wa ad-Diniyyah Wajhin Khsss. Cairo: t.p., t.t.
Heyworth-Dunne. An Introduction to the History of Education in Modern Egypt. London: Frank Clasa & Co. Ltd, 1968.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Shaban, M. A. Sejarah Islam 600–750, terj. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Syalabi, Ahmad. Sedjarah dan Kebudajaan Islam, terj. Jakarta: Jaya Murni, 1971.
Uf, Ahmad Muhammad. al-Azhar fi Alf ‘am. Cairo: Majma‘ al-Buhus al-Islamiyah, 1982.
Wizarah li Syu’un al-Azhar (Departemen Urusan al-Azhar). al-Azhar fi 12 ‘am. Cairo: Majma‘ al-Buhus al-Islamiyah, 1964.

Dahlia Syuaib