Al-Ahkam Ad-Dauliyyah

Hukum internasional, yaitu segala bentuk tata aturan atau teori mengenai sistem tata hubungan hukum antarbangsa, dalam teori hukum Islam kontemporer disebut al-ahkam ad-dauliyyah. Ad-dauliyyah merupakan bentuk sifat dari kata ad-daulah yang berarti “negara atau hal kenegaraan”.

Teori hukum Islam kontemporer memperkenalkan konsepsi al-ahkam ad-dauliyyah dalam dua bagian, yaitu al-ahkam ad-dauliyyah al-‘ammah (hukum internasional mengenai masalah makro) dan al-ahkam ad-dauliyyah al-khassah (hukum internasional mengenai masalah mikro atau hukum perdata internasional).

Pada awalnya, Islam memperkenalkan hanya satu sistem kekuasaan politik negara kesatuan, yaitu kekuasaan di bawah risalah Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya berkembang menjadi satu sistem kekuasaan khilafah (kekhalifahan). Dalam sistem ini, dunia internasional dipisahkan dalam tiga kelompok kenegaraan:

(1) negara Islam atau dar as-salam, yaitu negara yang ditegakkan atas dasar dan untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam seluruh bidang kehidupan;

(2) dar al-harb (darul harbi), yaitu negara non-Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan negara Islam serta bermusuhan terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam; dan

(3) dar as-sulh, yaitu negara non-Islam yang menjalin persahabatan dengan negara Islam dan eksistensinya melindungi warga negara yang menganut agama Islam.

Antara dar as-salam dan dar as-sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas kedaulatannya untuk saling menghormati dan bahkan untuk menjalin kerjasama dengan dunia interna­sional. Keduanya juga terikat oleh konvensi untuk tidak saling menyerang dan untuk hidup bertetangga secara damai.

Dalam konteks untuk menangkal instabilitas politik, seperti yang dianut oleh paham Suni, setiap warga muslim dalam dar as-salam dan dar as-sulh mempunyai kewajiban bela negara meskipun di bawah kepala negara yang kurang taat terhadap syariat Islam atau bertindak zalim terhadap rakyatnya.

Sementara itu hubungan antara dar as-salam dan dar al-harb selalu tampak diwarnai perjalanan sejarah yang “hitam”. Masing-masing senantiasa memperhitungkan kemungkinan terjadinya konflik terbuka secara militer atau konflik laten secara kultural. Meskipun demikian, Islam diyakini telah meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang dalam hal ini hanyalah untuk mempertahankan diri atau sebagai tindakan balasan.

Sejarah juga mencatat bahwa “menang” berarti memperkuat sekaligus memperluas kekuasaan. Sebaliknya “kalah” berarti memperlemah, mempersempit, dan bahkan mengakhiri kekuasaan. Perang dalam rangka menghadapi lawan memperoleh pengakuan sah secara hukum Islam, yakni termasuk dalam kategori jihad.

Meskipun jihad dalam bentuk perang dibenarkan dalam Islam, pembenaran tersebut di samping terbatas dalam mempertahankan diri dan tindak balasan, juga terbatas dalam rangka menaklukkan (melumpuhkan kekuatan) lawan, bukan untuk membinasakan (pembantaian dan pemusnahan). Karenanya, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita dan anak-anak, orang cacat, tempat ibadah, dan sarana serta prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi.

Kekuasaan politik Islam berikutnya mengalami perubahan, tidak hanya mengakui satu sistem khilafah, tetapi telah mengakui keragaman persepsi tentang khilafah. Selain itu, kekuasaan politik Islam juga memberi pengakuan atas otonomi negara bagian keamiran dan kesultanan dari Andalusia hingga Asia Tenggara.

Setelah hampir seluruh wilayah Islam jatuh di bawah kekuasaan imperialis bangsa Eropa, ide modernisasi yang dibawa kaum imperialis Barat pelan-pelan tetapi pasti mempengaruhi pemikiran dan konsepsi politik umat Islam mengenai negara dan dunia internasional secara umum.

Kondisi demikian memaksa para negarawan di dunia Islam mengadakan penyesuaian cara pandang tentang dunia Islam dan dunia internasional dalam dominasi ide Barat itu. Konsepsi tentang negara tidak lagi terpusat dari postulat perbedaan atau persamaan agama yang dianut, tetapi beralih kepada postulat ideologis yang dipengaruhi oleh paham dunia mengenai demokrasi serta sosialisme.

Terlepas dari perkembangan tersebut, bagian yang dianggap penting dalam konteks kerangka umum hukum antargolongan, bangsa, dan negara, yang dianggap mencerminkan pikiran dunia Islam, antara lain adalah prinsip kedaulatan. Prinsip ini ditegakkan atas dasar satu ikatan aspirasi untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam bernegara dan bermasyarakat, atau setidaknya tiap penganut agama, khususnya umat Islam, terlindung untuk menjalankan syariat Islam secara bebas.

Tiap negara yang berdaulat berhak mengatur sendiri negaranya dan mempertahankan diri dari ancaman instabilitas dari dalam atau intervensi bangsa lain. Setiap konflik hukum yang menyangkut kepentingan antarnegara dan bangsa harus diselesaikan secara adil berdasarkan aturan hukum yang keberlakuannya disepakati secara internasional dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Tiap negara juga berhak menjalin kerjasama keamanan, ekonomi, tenaga ahli, ilmu pengetahuan, maupun alih teknologi, atas dasar kemas­lahatan menurut ukuran yang dapat dibenarkan oleh syarak (hukum Islam).

Dalam konteks umat, seluruh bangsa yang menganut agama Islam di berbagai negara adalah bersaudara. Adapun dalam konteks global, setiap manusia di seluruh dunia memiliki hak dan tanggung jawab asasi untuk meningkatkan taraf hidup dan untuk mengabdikan dirinya bagi bangsa, negara, dan agamanya dalam satu taman dunia yang utuh dan padu.

Daftar Pustaka

Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar al-Ansar, 1977.
Mansur, Ali. asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun ad-Duala al-‘am. Cairo: Lajnah al-Kubra, 1971.
al-Qasim, Abdul Rahman Abdul Aziz. al-Qunun ad-Dauli al-Khas wa Ahkamuh fi Syari‘ah al-Islamiyyah wa Tatbiquh fi an-Nizam as-Sa‘udi. t.tp.: Matba‘ah as-Sa‘adah, 1977/1978.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-Hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1980.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Hukum Antar Golongan dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Muhammad Hasyim