Secara bahasa, ‘aqd berarti “simpulan”, “perikatan”, “perjanjian”, atau “permufakatan” (ittifaq). Dalam fikih, akad berarti “pertalian ijab dengan kabul menurut ketetapan syariat yang berpengaruh pada objek yang dijanjikan”. Artinya, perikatan yang tidak sesuai dengan hukum Islam ditiadakan. Ungkapan “berpengaruh pada objek” berarti “perpindahan milik dari pelaku ijab kepada pelaku kabul”.
Menurut jumhur (mayoritas) fukaha, rukun akad itu ada tiga, yaitu: (1) Sigat ‘aqd (bentuk akad) adalah ijab dan kabul (serah terima); (2) ‘Aqid atau pihak yang melakukan akad (jamak: ‘aqidain = para pihak yang melakukan akad) adalah pihak penjual dan pembeli, hal ini berlaku jika akad yang dilaksanakan merupakan akad (transaksi) jual beli; dan (3) ma‘qud ‘alaih (barang yang dijanjikan) adalah harga dan barang atau objek yang dijanjikan. Adapun perincian ketiga rukun akad di atas dijelaskan sebagai berikut.
(1) Shigat ‘aqd sebagai rukun akad yang terpenting pada dasarnya dapat mengambil bentuk ucapan, perbuatan, isyarat, ataupun tulisan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan fukaha. Dalam bidang muamalah, menurut Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali, akad dianggap sah meskipun dilakukan hanya dengan perbuatan.
Dalam fikih hal ini dikenal sebagai mu‘atah, yaitu saling menyerahkan barang dan harga yang ditetapkan, tanpa mengucapkan ijab kabul. Adapun menurut Mazhab Syafi‘i, Mazhab az-Zahiri, dan Syiah, akad tidak dianggap sah apabila hanya dengan mu‘atah.
Dengan alasan, mu‘atah itu tidak cukup kuat untuk menunjukkan kerelaan masing-masing pihak dalam melakukan akad, karena kerelaan itu merupakan syarat mutlak dalam setiap akad. Oleh karena itu, mereka mensyaratkan Siqat ‘aqd dalam bentuk lisan atau ungkapan lain yang sepadan, seperti isyarat dan tulisan.
Sungguhpun demikian, para fukaha sepakat bahwa akad nikah tidak dianggap sah apabila dilakukan hanya dengan perbuatan (mu‘atah). Oleh karena itu, dalam akad nikah terkandung unsur sakral serta mempunyai dampak yang berkepanjangan bagi wanita yang dinikahi. Oleh sebab itu, setiap orang perlu bersikap hati-hati dalam melaksanakan akad nikah demi terpeliharanya kehormatan serta masa depan keluarga. Dalam pernikahan harus ada saksi. Adapun kesaksian tersebut tidak mungkin terwujud tanpa mendengarkan ucapan ijab dan kabul para pihak yang melakukan akad.
Tentang ijab dan kabul, mayoritas fukaha tidak mengharuskan agar kabul (ucapan penerimaan) dilakukan dengan segera (fauriyah) dan berkesinambungan dengan pengucapan ijab. Alasannya, pihak yang mengucapkan kabul memerlukan kesempatan untuk berpikir. Apabila diharuskan segera melakukan kabul, berarti tidak diberikan kesempatan berpikir kepadanya. Kesempatan berpikir dan menimbang-nimbang ini berlangsung selama masih dalam majelis akad.
Apabila sudah berpaling badan, maka habislah kesempatan untuk menyampaikan kabul. Imam ar-Ramli, ulama Mazhab Syafi‘i, mengharuskan agar kabul di ucapkan segera setelah menerima ijab. Apabila antara ijab dan kabul terselip ucapan lain yang tidak ada kaitannya, ijab dan kabul dianggap terputus dan tidak berkesinambungan. Dengan demikian, akad tersebut dianggap batal. Pemikiran ini dianggap sejalan dengan prinsip dalam kabul, bahwa kabul harus dilakukan dengan segera dan berkesinambungan dengan ijab.
Namun demikian, untuk memperlonggar prinsip ini, ulama Mazhab Syafi‘i menetapkan konsep khiyar majlis (khiar di tempat terjadinya akad) untuk masing-masing pihak. Artinya, sepanjang kedua belah pihak masih berada dalam satu majelis akad atau belum berpisah badan, mereka masih memiliki kesempatan berpikir; apakah akan tetap melangsungkan akad atau membatalkannya.
(2) ‘Aqidain. Dalam rukun akad ini, orang yang melakukan akad disyaratkan harus telah akil balig. Artinya, ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot, ataupun gila. Apabila si pelaku akad itu belum akil balig, kelangsungan akad yang dilakukannya itu tergantung pada izin walinya. Seseorang dianggap akil balig, bagi laki-laki apabila sudah pernah mimpi bersetubuh atau keluar mani dan bagi perempuan apabila sudah mendapat menstruasi (haid); atau apabila sudah mencapai usia 15 tahun menurut jumhur ulama dan 17 tahun menurut Mazhab Hanafi.
Seorang anak yang masih berumur 7 tahun sampai 15 tahun dianggap sebagai anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk). Apabila anak mumayyiz ini melakukan akad (transaksi), kelangsungan akad tersebut tergantung pada izin walinya. Adapun akad yang dilakukan anak yang belum mumayyiz, dianggap batal dan tidak berpengaruh pada pemindahan milik.
(3) Ma‘qud ‘alaih. Dalam rukun ini wujud barang yang dijanjikan dapat berupa komoditi, seperti dalam akad jual beli, gadai, dan hibah, dapat pula berupa manfaat atau jasa, seperti dalam akad perburuhan atau ijarah. Para ulama menetapkan empat syarat bagi barang atau manfaat yang akan dijadikan ma‘qud ‘alaih, yakni sebagai berikut.
(a) Barang yang akan dijanjikan itu harus sudah ada (maujud) ketika dilakukan akad. Dengan demikian, maka tidak sah melakukan akad atas barang yang belum ada (ma‘dum), seperti menjual tanaman (padi) yang belum tumbuh, karena ada kemungkinan tanaman tersebut tidak tumbuh (rusak); menjual janin hewan yang masih dalam kandungan karena mungkin terjadi kematian dalam kelahirannya. Dalam hal ini Nabi SAW pernah melarang menjual janin yang masih dalam kandungan dan melarang menjual sesuatu yang belum ada di tangan seseorang (HR. Bukhari, Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ahmad).
Menurut fukaha, kaidah atau ketentuan di atas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent), perburuhan (ijarah), dan memesan barang (istisna‘). Oleh sebab itu, fukaha membolehkan untuk melakukan bentuk akad tersebut sekalipun barang atau manfaat yang akan dijanjikan belum maujud. Dasarnya adalah prinsip istihsan (menganggap baik), demi memelihara kepentingan dan adat kebiasaan orang banyak.
Ulama Mazhab Hanbali tidak memberikan ketentuan seperti di atas. Bagi mereka, ada atau tidak ada barang pada penjual tidaklah penting; yang penting adalah akad tersebut tidak mengandung spekulasi yang bersifat penipuan atau garar (mengandung unsur penipuan), maksudnya sesuatu yang tidak diserahkan, baik barang itu sudah ada di tangan penjual maupun belum ada, seperti menjual kuda atau unta yang lepas. Ilat (sebab) larangan di sini bukanlah karena tidak ada (ma‘dum) barangnya, melainkan karena mengandung spekulasi.
(b) Barang yang akan dijanjikan haruslah dibenarkan oleh hukum syariat. Ketentuan ini disepakati oleh fukaha. Mereka mensyaratkan agar barang yang akan dijanjikan haruslah berupa harta yang dimiliki dan berharga (bermanfaat). Apabila barang tersebut belum dimiliki, tidak sah untuk melakukan akad, seperti ikan di lautan dan burung di udara. Demikian pula jika barang itu tidak berharga, seperti khamar dan babi bagi orang Islam, maka kedua benda itu tidak dapat dijadikan objek akad.
Jika tidak memenuhi tiga kriteria tersebut, akad dianggap tidak sah. Dengan demikian, sesuatu yang bukan harta seperti bangkai dan darah tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan atau diwakafkan. Hal ini disebabkan sesuatu yang bukan harta tidak dapat menerima pemilikan sama sekali.
Sementara itu, ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali membolehkan seorang wanita yang sedang menyusui menjual air susunya kepada orang lain, karena hal ini memang diperlukan serta sangat bermanfaat. Mazhab Hanbali juga membolehkan menjual organ tubuh tertentu, seperti mata atau sekerat daging.
Hal itu dapat terjadi apabila diperlukan untuk menambal bagian badan orang lain, karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup. Atas dasar itulah, maka menjual darah yang lazim terjadi sekarang ini dibolehkan karena untuk keperluan medis dalam keadaan darurat.
(c) Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad. Atas dasar kesepakatan fukaha tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dapat diserahkan, sekalipun barang itu telah ada dan dimiliki oleh si penjual, seperti menjual binatang yang lepas.
(d) Barang yang akan dijanjikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang mengadakan akad agar tidak terjadi silang sengketa di kemudian hari. Ketentuan ini didasarkan atas larangan yang terdapat dalam hadis Nabi SAW yang berarti: “Rasulullah SAW melarang jual beli garar, yang mengandung unsur penipuan, dan jual beli benda-benda yang tidak diketahui wujudnya” (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Malik, dan Ahmad).
(e) Para ulama, kecuali ulama Mazhab Hanafi, menetapkan bahwa barang yang dijanjikan harus barang yang suci, bukan barang najis atau terkena najis. Sementara ulama Mazhab Hanafi membolehkan menjual barang-barang najis seperti bulu babi, kulit bangkai, dan barang-barang najis lainnya yang dapat dimanfaatkan, kecuali yang sudah ada larangannya, seperti khamar, (daging) babi, bangkai, dan darah. Yang menjadi pedoman mereka adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara syar‘i (bersifat syariat) dibolehkan untuk menjualnya. Oleh karena segala sesuatu itu pada dasarnya diciptakan untuk kepentingan manusia.
Sementara itu, rukun akad menurut Mazhab Hanafi hanya satu, yaitu ijab dan kabul. Adapun unsur-unsur lainnya seperti ‘aqid, ma‘qud ‘alaih, dan tempat akad hanya keharusan yang mesti ada (konsekuensi logis) yang timbul dari ijab dan kabul itu sendiri.
Sasaran atau Tujuan Akad. Bagian yang cukup penting dalam masalah akad adalah tujuan mengapa dilakukan akad. Tujuan akad terdapat dalam setiap bentuk akad. Beberapa bentuk tujuan akad yang dibenarkan oleh syarak (hukum Islam), misalnya akad jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada pembeli dengan membayar sejumlah harga (‘iwadh); akad sewa-menyewa atau perburuhan bertujuan untuk pemilikan atas manfaat atau jasa dengan membayar harga; akad hibah bertujuan untuk pemilikan atas barang yang dihibahkan, tanpa membayar harga; akad pinjaman (i‘arah) bertujuan untuk pemilikan atas manfaat barang tanpa kewajiban membayar ‘iwadh; dan akad pernikahan bertujuan untuk menghalalkan hubungan (sanggama) antara kedua pihak dengan memberikan sejumlah mahar.
Adapun bentuk dari tujuan akad yang dibenarkan oleh syarak inilah yang seharusnya menjadi motivasi bagi kedua belah pihak dalam mengadakan akad. Dengan demikian, apabila kedua belah pihak memiliki motivasi lain yang tidak dibenarkan syarak, akadnya dianggap batal. Itupun jika niat tersebut secara jelas dinyatakan dalam akad. Tetapi apabila niat itu tidak dinyatakan secara jelas dalam akad, akad tersebut dipandang sah, hanya saja pelakunya mendapat dosa, karena memendam niat yang berlawanan dengan kehendak syarak.
Atas dasar itu, ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanafi memandang sah beberapa bentuk akad. Adapun bentuk akad tersebut sebagai berikut. (1) Jual beli inah, yaitu suatu akad yang zahirnya tampak sebagai jual beli, tetapi pada hakikatnya merupakan praktek riba. Sebagai contoh, A menjual barang kepada B dengan harga Rp120.000, dengan tenggang waktu satu tahun. Kemudian A membeli kembali barang tersebut dari B dengan harga Rp100.000, secara kontan. Adapun si B menerima pembelian kembali ini karena sedang membutuhkan uang Rp100.000, sekalipun tahun depan ia harus mengembalikan uang tersebut sebesar Rp120.000,.
(2) Menjual anggur kepada orang yang dikenal sebagai pembuat khamar atau kepada orang yang diduga kuat sebagai pembuat khamar. Apabila pembeli tersebut masih diragukan sebagai pembuat khamar, penjualan tersebut hukumnya makruh. (3) Perkawinan penghalal atau nikah tahlil (Nikah), yaitu seseorang yang mengawini wanita yang telah ditalak tiga (ba’in kubra) dengan maksud agar nanti ia dapat dikawini kembali oleh bekas suaminya yang pertama.
Bentuk-bentuk akad di atas dianggap sah karena telah terpenuhi rukun-rukunnya, yaitu ijab dan kabul, ‘aqidain, dan ma‘qud ‘alaih. Adapun niat para pelaku yang menyimpang, persoalannya diserahkan kepada Allah SWT, asalkan, niat itu tidak tegas-tegas dinyatakan dalam akad. Sementara menurut Mazhab Syafi‘i, ketiga bentuk akad tersebut hukumnya harram jika dikerjakan dan menurut Mazhab Hanafi, hukumnya makruh tahrim. Pandangan ini dikenal dengan teori material (nazariyyah zatiyyah) karena yang menjadi pertimbangan adalah materi akadnya, bukan esensinya.
Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, Mazhab Han-bali, dan Syiah, bentuk-bentuk akad di atas dianggap batal karena dilatarbelakangi oleh niat yang berlawanan dengan tujuan akad yang dibenarkan syarak (maqashid asy-syari‘ah). Menurut mereka, akad yang demikian dianggap tidak sah, meskipun telah memenuhi rukun ijab dan kabul. Pandangan ini dikenal dengan teori esensial (nazariyyah maddiyyah).
Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal berikut. (1) Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu. (2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabia akad itu sifatnya tidak mengikat. (3) Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika: a) akad itu fasid, seperti terdapat unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi; b) berlakunya khiar syarat, khiar aib, atau khiar rukyah; c) akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak; dan d) tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.
(4) Wafatnya salah satu pihak yang berakad. Tetapi ulama fikih menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad.
Daftar Pustaka
Ibnu Abidin. Hasyiyah Radd al-Muhtar. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah Mujtahid wa Nihayah Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh. 1981.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
an-Nawawi. al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzhab. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1970.
Sabiq, as-Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Hamid Fahiri