Ahmadiyah adalah nama gerakan atau golongan dalam Islam yang dipelopori Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan ini terbagi dua: Ahmadiyah Qadiani (berpusat di Qadian, India) dan Ahmadiyah Lahore (berpusat di Lahore, Pakistan). Menurut Ahmadiyah Qadiani, Ghulam Ahmad adalah nabi, sedangkan menurut Ahmadiyah Lahore, ia hanya seorang mujadid (pembaru).
Mirza Ghulam Ahmad lahir di Qadian, distrik Gurdaspur, Punjab (sekarang termasuk wilayah India) pada 1839 dan wafat pada 26 Mei 1908. Pada 4 Maret 1889, ia mengaku dan mengumumkan bahwa ia menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjuknya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan dan agar umat berbaiat kepadanya.
Isi baiat itu ialah pengakuan/ikrar untuk menjauhi syirik (perbuatan menyekutukan Tuhan), melaksanakan salat lima kali dalam sehari-semalam, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, taat dan patuh kepada ajaran Al-Qur’an, dan bersikap sopan santun; semuanya ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tetapi pada baiat ini tidak disebut sebut zakat dan haji; dalam riwayat hidupnya Ghulam Ahmad memang tidak pernah melaksanakan ibadah haji, dengan alasan tidak ada istita‘ah (kemampuan). Ikrar baiat lainnya yang harus diucapkan seorang anggota ialah persaudaraan dengan Ghulam Ahmad, dengan konsekuensi, jika anggota meninggal, segala harta kekayaannya dikelola Ghulam Ahmad. Bentuk persaudaraan ini merupakan ajaran tertinggi di kalangan Ahmadiyah.
Pelaksanaan baiat pertama diadakan di Ludiana, dekat Qadian, diikuti 20 orang; antara lain Maulwi Nuruddin, seorang dokter, yang kemudian menjadi sahabat terdekat Ghulam Ahmad.
Pada 1891 Ghulam Ahmad membuat pengakuan yang menghebohkan. Selain sebagai al-Mahdi, ia mengaku sebagai al-Masih al-Mau‘ud (al-Masih yang Dijanjikan), suatu ajaran yang terdapat dalam Islam tradisional. Untuk memperkuat pengakuannya, ia mengemukakan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud: “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap permulaan seratus tahun orang yang akan memperbarui agama bagi mereka.”
Ajaran Ahmadiyah mengakui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW juga diakui sebagai Khatam an-Nabiyyin, bahkan menurut ajaran ini, mengingkarinya berarti kafir. Tetapi Khatam an-Nabiyyin diartikan sebagai nabi termulia, nabi tertinggi di antara para nabi, sedangkan dalam keimanan Islam pada umumnya diartikan sebagai nabi terakhir, tidak akan ada manusia yang menerima wahyu sesudah Nabi Muhammad SAW.
Ghulam Ahmad juga mengakui bahwa wahyu yang diterimanya tidak setinggi martabat wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, Al-Qur’an Ahmadiyah adalah Al-Qur’an yang dipakai oleh Suni pada umumnya. Demikian juga hadis yang dipakai Ahmadiyah adalah hadis yang dipandang sahih menurut ilmu hadis pada umumnya.
Ajaran Ahmadiyah yang cukup kontroversial ialah pendapat lain tentang Nabi Isa AS. Dalam bukunya Masih Hindustan Man (Seorang Hindustan Yang Suci), Ghulam Ahmad mengatakan bahwa Nabi Isa AS (Yesus) tidak mati di tiang salib di Bukit Golgota itu, melainkan cuma pingsan.
Ia memang dikubur dalam keadaan demikian, lalu para sahabatnya pada malam hari segera mengambilnya dan dengan penuh kasih sayang mengobati luka-luka itu dengan diolesi salep ramuan mereka sampai sembuh. Kuburannya, menurut Mirza Ghulam Ahmad, terdapat di Khan Yar, Srinagar. Ketika di Kashmir, Nabi Isa AS disebut Yus Asaf. Tujuan dikemukakannya teori tentang perjalanan hidup Nabi Isa AS itu ialah untuk menguatkan penempatan posisi dirinya sebagai al-Masih dan al-Mahdi.
Para pengikut Ahmadiyah banyak menulis buku yang mendukung teori yang dikemukakan Ghulam Ahmad. Salah seorang di antaranya ialah Prof. Fida Muhammad Hassnain, seorang arkeolog India. Berdasarkan penyelidikan ilmiah yang dilakukannya, ia membenarkan bahwa kuburan yang terletak di Khan Yar itu adalah kuburan Nabi Isa AS.
Ajaran Ahmadiyah ini mendapat tantangan dari ulama Suni, di antaranya Abdul Haqq al-Ghaznawi, seorang maulwi dari Amritsar. Tantangan yang paling keras muncul dari Muhammad Husain, seorang tokoh pemimpin Ahlulhadis dari Batala (kota di distrik Gurdaspur) dan editor koran berbahasa Urdu Isha’at-i Sunnah.
Pada mulanya Muhammad Husain merupakan pendukung kuat Ghulam Ahmad ketika pertama kali membaca Barahin Ahmadiyyah, tetapi kemudian menentangnya dengan keras ketika Ghulam Ahmad mengaku sebagai al-Masih al-Mau‘ud dan al-Mahdi.
Puncak perdebatan terjadi pada 1897–1898 ketika artikel-artikel Isha’ati Sunnah menyerang Ghulam Ahmad yang dijawabnya melalui harian al-hakam, koran gerakan Ahmadiyah. Ketika Ghulam Ahmad menantang Muhammad Husain untuk mengadakan perdebatan umum, tantangan itu diladeni oleh penentang baru, yaitu Mullan Muhammad Bakhsh (seorang ulama dari Lahore dan editor surat kabar Ja‘far Zatali).
Perdebatan dan pertentangan ini meluas, bukan hanya mengenai klaim-klaim Ghulam Ahmad dalam bidang agama, melainkan juga mengenai kepemimpinan Islam, yaitu apakah harus loyal kepada khalifah di Turki Usmani (Kerajaan Usmani) atau harus loyal kepada pemerintah penjajah Inggris. Ghulam Ahmad sependapat dengan Sir Sayid Ahmad Khan, bahwa untuk memajukan umat Islam India tidak perlu loyal kepada khalifah Turki Usmani, karena pada waktu itu khalifah hanyalah sebagai simbol belaka, tidak ada pemikiran dan usahanya untuk memajukan dunia Islam.
Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan yang meluas di berbagai belahan dunia dan giat dalam misinya serta menjadi suatu sekte keagamaan yang didasarkan pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Ajaran dan pikirannya itu terdapat dalam buku-buku karangannya, antara lain Barahin Ahmadiyyah, Fath Islam, Masih Hindustan Man, Kasyful Gita (Tersingkapnya Penutup), Izalai Ahwam, Mawahib ar-Rahman (Pemberian Tuhan), Haqiqat al-Wahy (Hakikat Wahyu), al-Wahiyyah (Wasiat) dan tulisan-tulisannya dalam koran antara lain al-Hakam.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad wafat pada 1908, kepemimpinan gerakan Ahmadiyah dipegang oleh Maulwi Nuruddin, yang disebut sebagai khalifah pertama, berkedudukan di Qadian. Ketika Nuruddin wafat pada 1914, Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad, anak Mirza Ghulam Ahmad, terpilih sebagai khalifah kedua dan berkedudukan di Qadian juga. Tetapi kelompok Basiruddin ini mengemukakan pernyataan yang kontroversial, dengan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.
Mirza Ghulam Ahmad sendiri tidak pernah secara terang-terangan mengaku sebagai nabi, tetapi mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi, dan menerima wahyu. Akibatnya, sekelompok pengikut Ahmadiyah di bawah pimpinan Kwaja Kamaluddin dan Maulwi Muhammad Ali memisahkan diri dan hijrah ke Lahore.
Mereka mengakui ketokohan Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan sebagai nabi, melainkan sebagai mujadid. Sejak itu (1914) pengikut Ahmadiyah terbagi dua: Ahmadiyah Qadiani yang dalam bahasa Urdunya bernama Djama’ati Ahmadiyya dan Ahmadiyah Lahore dengan nama Ahmadiyya Andjuman Isha’ati Islam.
Pada mulanya, Ahmadiyah Lahore lebih giat melakukan misinya bahkan ke luar India, misalnya ke Inggris, Jerman, dan negara-negara lainnya, termasuk ke Indonesia. Atas usaha Maulwi Muhammad Ali, kelompok ini menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris dengan nama The Holy Qur’an (1920) dan tulisan-tulisan lain yang dimuat dalam jurnal The Religion of Islam (1936). Kedua karya itu kemudian diterjemahkan kembali ke dalam berbagai bahasa asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Kemudian, kelompok Qadiani pun mengadakan misi dakwah ke berbagai negara, misalnya ke Inggris (mereka mendirikan masjid di London), ke Afrika bagian barat, ke Eropa daratan, dan ke Amerika Serikat. Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad juga menulis karangannya dalam bahasa Urdu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyya or the True Islam (Ahmadiyah atau Islam yang Sejati), diterbitkan di Qadian tahun 1924.
Publikasi besar mereka berupa ensiklopedi berjudul 8.500 Precious Gems from World’s Best Literature (8.500 Mutiara Berharga dari Literatur Terbaik di Dunia), berisi kutipankutipan literatur klasik maupun modern, dari kalangan Islam maupun non-Islam tentang agama dan moral yang disusun secara alfabetis. Kelompok Qadiani juga menyebarkan terjemahan Al-Qur’an versi mereka.
Pada 1947 Ahmadiyah Qadiani mendapat kesulitan ketika ada penentuan batas antara India dan Pakistan yang pada tahun itu sama-sama merdeka. Qadian menjadi bagian dari India padahal mereka memilih Pakistan sebagai negara mereka. Akhirnya mereka memindahkan pusat kegiatan mereka ke Rabwah, Pakistan.
Ahmadiyah Qadiani masuk ke Indonesia pada 1925, dibawa oleh Rahmat Ali, ahli dakwah Ahmadiyah. Mula-mula ia tinggal di Tapaktuan (Aceh), kemudian di Padang hingga 1930, dan akhirnya di Jakarta. Ajarannya banyak mendapat tantangan. Serangan paling keras bagi Rahmat Ali datang dari Ahmad Hassan, tokoh pembaru Islam dari Bandung. Mereka berdebat secara terbuka pada 1933 di Bandung dan 1934 di Jakarta mengenai beberapa ayat Al-Qur’an (terutama surah Ali ‘Imran [3] ayat 55 yang menjadi dasar kepercayaan Ahmadiyah tentang Yesus) dan hadis.
Walaupun mendapat banyak tantangan, gerakan ini tumbuh terus. Untuk menyebarkan ajarannya, mereka mempunyai 6 mubalig dari India dan Pakistan serta 10 mubalig Indonesia. Dakwahnya tersebar di Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi (terutama Ujungpandang dan Gorontalo). Ajaran Ahmadiyah juga disebarkan melalui penerbitan buku berbahasa Indonesia, seperti Nabi Isa AS dengan Salib (1938), Kebenaran al-Masih Achir Zaman (1947), Koeboeran al-Masih Israili (1948), dan Mi’raj Nabi Muhammad dan Djihad dalam Islam (1949). Pada 1947 juga diterbitkan terjemahan Al-Qur’an berbahasa Indonesia.
Ajaran Ahmadiyah Lahore dibawa ke Indonesia oleh Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad pada 1924. Kedua mubalig ini pertama kali tinggal di Yogyakarta. Maulana Ahmad kemudian kembali ke Lahore, tetapi Mirza Wali Ahmad Baig tetap tinggal di Pulau Jawa hingga 1936. Dialah yang dianggap berjasa mengembangkan ajaran Ahmadiyah Lahore di Indonesia.
Semula Mirza Wali dikenal sebagai guru bahasa Arab yang memakai buku pegangan berbahasa Inggris. Pengajarannya bertujuan untuk memahami Al-Qur’an. Teman akrabnya, Mas Ngabehi Joyosugito, guru di Purwokerto, mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Pada akhir 1930 jumlah anggotanya 170 orang dengan cabang-cabang di Purbolinggo, Pliken, Surakarta, dan Yogyakarta. Purwokerto menjadi pusatnya. Mirza Wali berpindah ke kota ini, menghindari serangan yang makin banyak di Yogyakarta.
Dalam mengajar, Mirza Wali berpegang pada terjemahan Al-Qur’an berbahasa Belanda oleh Soedewo yang terbit di Jakarta tahun 1934. Sumber terjemahan ini adalah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris oleh Maulwi Muhammad Ali. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda ini menarik perhatian banyak orang, terutama kaum muslimin Indonesia yang terpelajar, karena mampu memenuhi kebutuhan untuk belajar memahami Al-Qur’an tanpa harus belajar bahasa Arab sebelumnya. Terjemahan ini mendapat sorotan dari kaum ortodoks, karena isinya dinilai banyak menyimpang. Dalam kitab ini antara lain dikatakan bahwa mikraj Nabi SAW adalah khayalan.
Sebelumnya, karya Maulwi Muhammad Ali dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh H Oemar Said Tjokroaminoto dan Agus Salim, namun tidak pernah selesai. Kongres Majelis Ulama Indonesia di Kediri pada 1928 membicarakan terjemahan ini karena guru-guru agama suku Jawa yang ortodoks menilai isinya memberikan tafsir baru.
Pada 1938 Gerakan Ahmadiyah Indonesia menerbitkan karya Maulwi Muhammad Ali yang lain, De Religie van de Islam, yang juga diterjemahkan oleh Soedewo. Buku yang bertujuan membela gerakan Ahmadiyah ini memuat uraian mendalam tentang sumber, dasar, hukum, dan peraturan agama Islam. Ketika buku ini terbit, Mirza Wali sudah kembali ke Lahore. Tetapi penerbitan buku ini telah lama dipersiapkan olehnya. Gerakan Ahmadiyah Lahore di Indonesia tidak mempunyai pengikut sebanyak Ahmadiyah Qadiani.
Kegiatan Ahmadiyah di Indonesia diatur oleh Pengurus Besarnya yang berkantor di Jalan Balikpapan, Jakarta, dan pada 1990 pindah ke Parung (Bogor). Anggotanya tersebar terutama di Jawa dan memiliki beberapa lembaga pendidikan/keagamaan.
Daftar Pustaka
Ahmad, Mirza Bashiruddin Mahmud. Apakah Ahmadiyah itu? Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987.
Batuan, Syafi R. Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1989.
Gibb, Hamilton A.R. Modern Trends in Islam. New York: Octagon Books, 1978.
Lapan, Spencer. The Ahmadiyyah Movement Past and Present. Amritsar: Guru Nanak Dev University, 1976.
Murray, Titus T. “Ahmadiya,” Shorter Encyclopaedia of Islam, ed. H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers. Leiden: E.J. Brill, 1961.
Smith, Wilfred Cantweel. “Ahmadiyya,” The Encyclopaedia of Islam, New Edition, ed. H.A.R. Gibb, et.al . Leiden: E.J. Brill, 1979.
Walker, H.A. The Ahmadiyah Movement. Calcutta. t.p., 1918.
Atjeng Ahmad Kusaeri