Ahmad Khatib al-Minangkabawi, adalah seorang ahli fikih dan ulama besar Minangkabau yang menulis sejumlah buku mengenai masalah agama dan kemasyarakatan. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ada dua pendapat mengenai tahun kelahirannya. Menurut HAMKA, ia lahir pada 1276 H/1860 M, sedangkan menurut Deliar Noer, seorang cendekiawan Islam, pada 1855.
Ayahnya bernama Abdul Latif. Dari pihak ayah, Ahmad Khatib bersepupu dengan KH Agus Salim, seorang cendekiawan dan pemimpin Islam yang berpengaruh. Ibu Ahmad Khatib adalah Limbak Urai, anak Tuanku Nan Renceh, seorang ulama Paderi terkemuka. Dari pihak ibu, Ahmad Khatib adalah saudara sepupu Syekh Taher Jalaluddin, seorang ulama besar Minangkabau lainnya. Dilihat dari keturunan ayah dan ibu, Ahmad Khatib berasal dari keluarga terpandang di Minangkabau pada zamannya.
Setelah menyelesaikan sekolah rendah, Ahmad Khatib diduga sempat belajar di sekolah Raja di Bukittinggi. Kemudian dia melanjutkan pelajarannya ke Mekah (menurut HAMKA pada 1871, sedangkan menurut Deliar Noer tahun 1876). Berkat kecerdasan dan ketekunannya dalam mendalami ilmu agama, ia berhasil mencapai kedudukan sebagai Imam Besar Masjidilharam dalam Mazhab Syafi‘i.
Ahmad Khatib adalah murid kesayangan Syekh Saleh Kurdi, seorang hartawan keturunan Kurdi. Setelah 10 tahun bermukim di Mekah, Ahmad Khatib menikah dengan putri Saleh Kurdi yang bernama Khadijah.
Sepanjang hayatnya dihabiskannya di Mekah sebagai guru. Walaupun demikian, hubungan Ahmad Khatib dengan daerah asalnya tetap berjalan baik melalui orang yang menunaikan ibadah haji dan yang belajar kepadanya. Di antara muridnya yang terkenal di bidang agama adalah Syekh Muhammad Nur (mufti Kerajaan Langkat), Syekh Hasan Maksum (mufti Kerajaan Deli yang bergelar Imam Paduka Tuan), Syekh Muhammad Saleh (mufti Kerajaan Selangor), Syekh Muhammad Zain (mufti Kerajaan Perak), H Muhammad Nur Ismail (kadi Kerajaan Langkat), Syekh Jamil Jaho (pemimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa, H Abbas Abdullah, Dr. Abdullah Ahmad, Dr. H Abdul Karim Amrullah, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli.
Semuanya adalah ulama terkemuka dari Minangkabau. Kemudian muridnya yang lain adalah Syekh Mustafa Husain dari Purba (Mandailing), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dari Yogyakarta, dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan kemudian menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama).
Sebagai seorang ahli di bidang fikih dan hukum Islam, Ahmad Khatib banyak mengarang buku yang pada umumnya berisikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Khusus terhadap Minangkabau, Ahmad Khatib melihat ada dua masalah yang sangat bertentangan dengan Islam, yaitu yang berkenaan dengan perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah pada waktu itu dan masalah pembagian harta pusaka serta sistem keturunan matrilineal.
Untuk masalah pertama, ia menulis tiga buku antara tahun 1324 H/1906 M dan 1326 H/1908 M. Buku tersebut adalah Izhar Zagli al-Kizibin fi Tasyabbuhihim bi as-sadiqin, al-ayat al-Bayyinah li al-Munsifin fi Izalah Khurafat ba‘da al-Muta‘assibin, dan as-Saif al-Battar fi Mahq Kalimah ba‘da Ahli al-Igtirar.
Buku pertamanya Izhar Zagli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-sadiqin, diterbitkan pertama kali di Padang pada 1324 H/1906 M, kemudian dicetak ulang pada 1326 H/1908 M. Buku ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya sekitar Tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Minangkabau.
Pertanyaan tersebut terdiri dari: (1) apakah Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai dasar dalam syariat Islam; (2) apakah Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai silsilah kepada Rasulullah SAW; (3) apakah ada dasar hukum dalam syarak (hukum Islam) untuk meninggalkan makan daging; (4) apakah suluk 40 hari, 20 hari, dan 10 hari mempunyai dasar dalam syariat; dan (5) apakah rabitab (tempat perguruan kaum sufi) itu ada dasarnya dalam syariat Islam.
Buku kedua, al-ayat al-Bayyinah li al-Munsifin fi Izalah Khurafat ba‘da al-Muta‘assibin, mempertahankan fatwanya tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan menolak segala bantahan terhadap buku pertama di atas. Pada tahun terbitnya buku itu, datang surat dari Syekh Abdullah bin Abdullah al-Khalidi dari Tanah Datar yang isinya menyalahkan Ahmad Khatib dan mempertahankan Tarekat Naqsyabandiyah. Sebagai jawaban atas surat itu, Ahmad Khatib menulis bukunya yang ketiga, as-Saif al-Battar fi Mahq Kalimah ba‘da Ahli al-Igtirar. Ketiga buku itu pada 1344 H/1925 M dicetak dalam satu jilid.
Dalam menentang pembagian harta pusaka di Minangkabau, Ahmad Khatib menulis sebuah buku dalam bahasa Arab pada 1309 H/1891 M dengan judul ad-Da‘i al-Masmu‘ fi ar-Radd ‘ala man Yurisu al-Ikhwan wa Aulad al-Akhyat ma‘a Wujud al-Usul wa al-Furu‘. Pada 1893 buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul al-Manhaj al-Masyru‘. Buku ini membahas soal pembagian harta pusaka sebagaimana yang terdapat dalam buku fikih atau fara’id (hukum waris Islam) lainnya.
Dalam buku tersebut Ahmad Khatib menyatakan bahwa seluruh harta pusaka yang diwarisi kemenakan adalah sama dengan harta rampasan. Perbuatan itu sendiri merupakan dosa besar karena berarti merampas harta benda anak yatim piatu. Menurutnya, mereka yang melaksanakan hukum warisan dengan cara yang berlaku di Minangkabau telah menjadi fasik dan harus bertobat, jika tidak dia akan menjadi murtad. Lebih jauh Ahmad Khatib mengatakan bahwa orang yang mempertahankan sistem ini tidak dapat dijadikan saksi dalam perkawinan dan tidak berhak mendapatkan pemakaman secara Islam.
Pendapat Ahmad Khatib ini mendapat tantangan dari kaum adat dan ulama Minangkabau. Di antara tokoh kaum adat adalah Datuk Sutan Marajo yang menuliskan serangan nya dalam majalah Pelita Kecil (1894). Serangan dari kalangan ulama datang dari Syekh Muhammad Sa’ad Mungkar dalam bukunya Tanbih al-‘Awam.
Sekalipun mendapat tantangan, Ahmad Khatib tidak bosan-bosannya meyakinkan orang sedaerahnya yang datang menunaikan ibadah haji bahwa pembagian harta pusaka itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian orang membedakan antara harta pusaka dan harta pencaharian, atau yang disebut harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Terhadap kelompok pertama, tetap diberlakukan pembagian menurut adat, dan dianggap sebagai harta wakaf. Adapun yang kedua, yakni harta pencaharian atau harta pusaka rendah, dibagi menurut hukum warisan Islam.
Peraturan semacam ini antara lain diterapkan di Muara Labuh oleh Syekh Khatib Ali, yang dianggap pengikut kuat Ahmad Khatib. Dari berbagai keputusan, seperti pada Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1938) dan seminar “tungku tiga sejarawan” (ulama, penghulu adat, dan cerdik pandai; 1952), diputuskan bahwa berbeda cara membagi harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka dibagi menurut adat, sedangkan harta pencaharian menurut fara’idh.
Di samping buku yang disebutkan di atas, Ahmad Khatib menulis sejumlah buku lain dalam bidang ilmu yang berbeda. Bukunya adalah an-Nafahat (dalam ilmu usul fikih), al-Khutat al-Mardiyyah (tentang niat), Sulh al-Jama‘atain (tentang salat Jumat), Iqna’ an-Nufus (tentang zakat), Raudah al-Husab fi ‘Ilm al-Hisab (tentang hisab) pada 1310 H/1892 M, dan al-Jawahir an-Naqiyyah fi al-A‘mal al-Jaibiyyah (tentang ilmu hitung dan hisab) pada 1309 H/1891 M.
Bukunya yang lain berjudul Tanbih al-Anam fi ar-Radd ‘ala Risalah Kaffi al-‘Awam ‘an al-Khaud fi Syarekat Islam yang diterbitkan di Mesir pada 1332 H/1914 M. Buku ini ditulis untuk membela pendirian Sarekat Islam dan membantah segala tuduhan Syekh Hasyim bin Muhammad Asy‘ari al-Jumbany. Syekh Hasyim menulis buku Kaffi al-‘Awam ‘an al-Khaud fi Syarekat al-Islam yang isinya menghalangi masyarakat untuk masuk Sarekat Islam. Sarekat Islam oleh Syekh Hasyim dianggap bid’ah dan tidak Islami. Buku Ahmad Khatib ini dilengkapi dengan kata sambutan dari beberapa ulama Masjidilharam pada waktu itu. Akhirnya Syekh Hasyim mengirim surat kepada Syekh Ahmad Khatib yang isinya menyatakan kekeliruan pandangannya terhadap Sarekat Islam.
Tulisan Ahmad Khatib yang lain berjudul Irsyad al-Hayara fi Izalah ba‘d Syibh an-Nazara (1332 H/1914 M). Buku ini berisi penolakan terhadap tuduhan orang Nasrani atas Islam. Buku ini berawal dari adanya permintaan dari tanah Jawi (Indonesia). Ketika itu orang Nasrani mengecam ajaran Islam tentang poligami, talak, jihad, perbudakan, dan sebagainya.
Buku yang senada juga ditulis Ahmad Khatib dengan judul Dau’ As-Siraj (1312 H/1894 M). Buku ini sebenarnya membahas peristiwa isra mikraj Nabi SAW, namun di dalamnya terdapat juga sikap Ahmad Khatib yang tidak menyenangi penjajah kulit putih. Di samping itu di bidang fikih dan akidah ia mengarang buku Riyadu al-Wardiyyah fi Usul at-Tauhid wa Furu‘ al-Fiqh (1311 H/1893 M).
Menurut Zainal Abidin Ahmad (penulis sejarah Islam dari Sumatera Barat), Syekh Ahmad Khatib menulis 49 buku yang berkaitan dengan berbagai masalah agama dan kemasyarakatan. Tulisan Ahmad Khatib ini bukan saja tersebar di Indonesia, tetapi juga beredar di Timur Tengah.
Daftar Pustaka
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Khatib, Syekh Ahmad. Fatwa tentang Thariqat Naqsyabandiyah, terj. A.M. Arief. Medan: Firma Islamiyah, 1978.
Naswar, Akhria. Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permukaan Abad Ini. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Pers, 1984.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
Schrieke, B.O.J. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, terj. LIPI. Jakarta: Bhratara, 1973.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasrun Haroen