Ahmad Dahlan, yang lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis, adalah seorang pelopor pembaruan Islam di Indonesia dan pendiri Muhammadiyah. Ia berusaha mengadakan perubahan di Indonesia dan berhasil mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan Islam modern pertama di Indonesia.
Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari KH Abu Bakar. Ia menikah dengan Siti Walidah, dan dikaruniai enam anak. Sebagai anak orang alim, semasa kecil Muhammad Darwis belajar agama dan bahasa Arab. Pada 1888, ia disuruh orangtuanya menunaikan ibadah haji. Ia bermukim di Mekah selama 5 tahun untuk menuntut ilmu agama Islam, seperti qiraah, tauhid, tafsir, fikih, tasawuf, ilmu mantik, dan ilmu falak. Sekembalinya ke kampungnya, Kauman (Yogyakarta), pada 1902, ia berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan.
Pada 1903 ia berkesempatan kembali ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama selama 3 tahun. Kali ini ia banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Di samping itu ia tertarik pada pemikiran Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Di antara kitab tafsir yang menarik hatinya adalah Tafsir al-Manar. Dari tafsir ini ia mendapat inspirasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat Islam di Indonesia.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan menjadi tenaga pengajar agama di kampungnya. Di samping itu ia juga mengajar di sekolah negeri, seperti sekolah Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Jetis (Yogyakarta) dan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pribumi) di Magelang. Sambil mengajar, ia juga berdagang dan bertablig.
Sementara itu, sesuai dengan ide pembaruan yang diserapnya dari pemikiran Ibnu Taimiyah, al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Rida, ia pun memulai melakukan usaha meluruskan akidah dan amal ibadah masyarakat Islam di Kauman. Usaha yang dilakukannya antara lain mendirikan surau dengan kiblat yang benar.
Menurut pandangannya, sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, banyak tempat ibadah yang tidak benar arah kiblatnya, antaralain Masjid Agung Yogyakarta. Dalam melaksanakan niatnya untuk meluruskan arah kiblat masjid agung ini, ia harus meminta izin kepada Kepala Penghulu Keraton Yogyakarta yang waktu itu dijabat KH Muhammad Chalil Kamaluddiningrat.
Karena izin untuk itu tidak mungkin akan didapat, maka secara diam-diam, dengan bantuan para santrinya, pada suatu malam KH Ahmad Dahlan meluruskan saf masjid tersebut dengan memberi tanda garis putih. Tindakan ini menurut Kepala Penghulu merupakan suatu kesalahan, sehingga ia diberhentikan dari jabatannya sebagai khatib di masjid tersebut. Padahal, sebagai seorang khatib di masjid itu, ia sangat disenangi karena kepandaiannya, sehingga sultan Yogyakarta memberinya gelar ”Khatib Amin”.
Dalam perjalanan perjuangannya, KH Ahmad Dahlan sering melakukan hal yang menurut ukuran sebagian ulama pada waktu itu tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti memberi pengajian kepada kaum muslimat dan membolehkan wanita keluar rumah selain untuk mengaji.
Dakwah yang disampaikan Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, melainkan juga kepada para pegawai golongan atas. Untuk itu, pada 1909, ia memasuki perkumpulan Budi Utomo, satu-satunya organisasi yang ditata secara modern pada waktu itu. Ia mengharapkan agar ia dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggota perkumpulan itu, dan selanjutnya mereka akan meneruskannya ke kantor dan sekolah masing-masing. Demikian juga ia mengharapkan agar guru yang telah mendengar ceramahnya selanjutnya menyampaikannya lagi kepada murid masing-masing.
Ceramah Ahmad Dahlan kepada para anggota Budi Utomo mendapat tanggapan positif dan mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang teratur secara organisatoris dan sesuai dengan sekolah modern. Saran ini kemudian berhasil dipenuhi pada 1911 dengan mendirikan sekolah dengan sistem kelas sebagai mana sekolah Belanda, bukan lagi belajar di surau. Di sekolah ini, yang diajarkan bukan saja ilmu agama, melainkan juga ilmu umum seperti berhitung, ilmu bumi, dan ilmu tubuh manusia. Murid perempuan tidak lagi dipisahkan dari murid laki-laki, sebagaimana di surau.
Di samping memasuki Budi Utomo, pada 1910 Ahmad Dahlan juga memasuki Jamiat Khaer. Satu hal yang mendorongnya untuk memasuki organisasi ini adalah keinginannya untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Waktu itu satu-satunya organisasi Islam yang mempunyai hubungan baik dengan negara Islam di Timur Tengah adalah Jamiat Khaer.
Setelah Sarekat Islam (SI) didirikan pada akhir 1911 di Solo, KH Ahmad Dahlan juga memasukinya. Keinginannya untuk bergabung dengan organisasi ini terdorong oleh rasa kebangsaannya. Di SI ia pernah menjabat sebagai pengurus Komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad.
Ketiga organisasi tersebut di atas dimasukinya karena menurut pandangannya ketiganya dapat dijadikan wadah untuk menyampaikan dakwahnya yang mengandung ide pembaruan. Tatkala di organisasi tersebut melihat benih ide yang ditanamkannya mulai berkembang, ia merasa perlu untuk mendirikan sebuah wadah dalam bentuk organisasi untuk menghimpun orang yang seide dengannya. Hasratnya ini mendapat tanggapan positif dari para santrinya, demikian juga dari para anggota Budi Utomo.
Atas dorongan murid serta temannya, pada 18 November 1912 (8 Zulhijah 1330), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Selain dia sendiri, pengurusnya adalah Abdullah Siradj (Penghulu), Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. Haji Sarkawi, Haji Muhammad, R.H. Djaelani, Haji Anis, dan Haji Muhammad Fakih.
Dalam rangka mengukuhkan organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mengajukan permintaan Recht Persoon (Badan Hukum) kepada Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta. Permintaan ini baru dikabulkan pada 22 Agustus 1914 dengan surat ketetapan Gouvernement Besluit No. 81 tertanggal 22 Agustus 1914. Dalam surat izin tersebut ditentukan bahwa Muhammadiyah diizinkan hanya untuk daerah Yogyakarta dan izin itu hanya berlaku selama 29 tahun.
Sewaktu KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, tidak sedikit hambatan yang dialaminya, baik secara fisik maupun secara mental. Cobaan itu bukan saja dari masyarakat sekitar, melainkan juga dari pihak keluarganya. Berbagai tuduhan, fitnah, dan hasutan dilemparkan kepadanya. Ada yang menuduhnya ingin mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam, ada pula yang menuduhnya kiai palsu atau kiai kafir, karena ia meniru cara Barat.
Bahkan ada pula yang ingin membunuhnya. Namun seluruh hambatan itu diterimanya dengan hati lapang dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran.
Ketika sedang sakit menjelang akhir hayatnya, ia tetap giat beramal untuk kebaikan masyarakat Islam melalui Muhammadiyah. Sekalipun dilarang dokter, ia tetap aktif dan bekerja keras.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Djarnawi. Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani sampai KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Persatuan, t.t.
–––––––. Matahari-Matahari Muhammadiyah. Yogyakarta: Persatuan, 1974.
HAMKA. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1961.
Jainuri, A. Muhammadiyah: Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Keduapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1968.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Pasha, Mustafa Kamal. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Persatuan. Yogyakarta: Persatuan, 1975.
Yunus, Salam M. Riwayat Hidup KH Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Jakarta: PP Muhammadiyah, 1968.
Nasrun Haroen