Ahlusunah Waljamaah

(Ar.: ahl as-sunnah wa al-jama‘ah)

Golongan Ahlusunah waljamaah berasal dari dua kelompok Islam, yaitu Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang lahir sebagai reaksi terhadap paham Muktazilah yang rasional dan filosofis, terutama dalam menyikapi hadis Nabi Muhammad SAW. Sekitar 70% umat muslim dunia mengikuti paham ini. Ahlusunah waljamaah percaya sepenuhnya kepada hadis sahih Nabi SAW. Umat Islam Indonesia umumnya juga merpakan penganut Ahlusunah waljamaah.

Paham Muktazilah yang disebarkan pertama kali 100 H/718 M oleh Wasil bin Ata mendapat pengaruh dalam masya­rakat. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (198 H/813 M–218 H/833 M), al-Mu‘tasim (218 H/833 M–228 H/842 M), dan al-Wasiq (228 H/842 M–233 H/847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika aliran Muktazilah dijadikan mazhab resmi negara pada masa Khalifah al-Ma’mun pada 827.

Dalam penyebaran paham Muktazilah terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah perkembangan Muktazilah itu sendiri. Khalifah al-Ma’mun dalam menerapkan prinsip amar makruf nahi munkar (perintah untuk mengerjakan perbuatan baik dan larangan untuk mengerjakan perbuatan keji) melakukan pemaksaan paham Muktazilah kepada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga seluruh masyarakat Islam.

Dalam hal ini banyak ulama masyarakat menjadi korban penganiayaan. Ini misalnya terjadi pada Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), seorang yang berpegang teguh pada hadis Nabi SAW dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian masalah akidah. Ia mendapatkan siksaan karena sikap kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa Al-Qur’an itu bukanlah makhluk sebagaimana yang dianut paham Muktazilah. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah teologi Islam dengan nama mihnah (ujian akidah). Banyak di antara ulama yang mendapatkan ujian seperti ini dan di antara mereka ada yang dengan terpaksa menerima paham yang dianut khalifah.

Namun Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh bersikeras dan tidak mau mengubah keyakinan mereka untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Sikap Ahmad bin Hanbal yang secara tegas mempertahankan keyakinannya itu di hadapan penguasa mendapat simpati dari masyarakat. Khalifah tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Ahmad bin Hanbal karena ia mempunyai pengikut yang luas. Jika hukuman mati dilaksanakan terhadap Ahmad bin Hanbal, akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat.

Tatkala menjadi khalifah, al-Mutawakkil (233 H/847 M–247 H/861 M, penguasa Abbasiyah di Irak setelah al-Wasiq) melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas­ dari masyarakat. Sementara itu, kelompok mayoritas sendiri setelah peristiwa mihnah adalah pengikut Ahmad bin Hanbal. Oleh sebab itu, pada 856 Khalifah al-Mutawakkil membatalkan paham Muktazilah sebagai mazhab resmi negara.

Orang awam sulit menerima paham Muktazilah yang rasional dan filosofis. Mereka menginginkan ajaran sederhana yang sejalan dengan sunah Nabi SAW dan tradisi para sahabat, sedangkan Muktazilah tidak banyak berpegang pada sunah Nabi SAW. Dalam keadaan yang demikian, muncullah Abu Hasan al-Asy‘ari dengan paham teologi baru yang berusaha menampung aspirasi rakyat dengan berpegang teguh pada sunah Nabi SAW serta tradisi para sahabatnya.

Aliran teologi baru ini dikenal dengan nama Asy‘ariyah atau al-Asya‘irah. Paham yang dikembangkan al-Asy‘ari ini banyak yang berbeda dengan paham yang disebarkan Muktazilah, sekalipun al-Asy‘ari sendiri semula merupakan seorang yang berpaham Muktazilah.

Selain itu, dalam rangka melawan paham Muktazilah, muncul suatu aliran teologi baru di Samarkand yang didirikan Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944). Kemudian aliran ini dikenal dengan nama teologi Maturidiyah. Di Bukhara aliran Maturidiyah didirikan dan dikembangkan oleh Ali Muhammad al-Bazdawi. Namun antara kedua aliran teologi Maturidiyah tersebut ada perbedaan dalam beberapa paham. Aliran Maturidiyah Samarkand agak liberal dan lebih dekat pada Muktazilah.

Adapun Maturidiyah Bukhara bersifat tradisional dan lebih dekat dengan paham teologi Asy‘ariyah. Kedua aliran teologi ini kemudian dikenal dengan golongan Ahlusunah waljamaah. Teologi Asy‘ariyah dianut oleh Imam Malik, Imam Syafi‘i, serta Ahmad bin Hanbal, dan para pengikut mereka. Adapun teologi Maturidiyah banyak dianut oleh para pengikut Imam Hanafi di Irak.

Istilah Ahlusunah waljamaah dinisbahkan pada aliran teologi Asy‘ariyah dan Maturidiyah karena mereka berpegang kuat pada sunah Nabi SAW dan juga merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Islam. Adapun Muktazilah adalah golongan yang tidak kuat berpegang pada sunah Nabi SAW dan sejak semula merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat Islam pada waktu itu. Oleh sebab itu, sunah dalam istilah ini berarti hadis. Ahlusunah waljamaah percaya kuat dan menerima hadis sahih tanpa memilih dan melakukan interpretasi.

Dengan demikian, istilah Ahlusunah waljamaah ini lahir setelah munculnya aliran teologi Asy‘ariyah dan Maturidiyah. Namun, menurut sebagian pemikir, istilah Ahlusunah waljamaah telah digunakan sebelum muncul Asy‘ari dan al-Maturidi. Umpamanya dalam surat Khalifah al-Ma’mun untuk salah seorang gubernurnya pada tahun 218 H/833 M tercantum kata-kata wa nasabu anfusahum ila as-sunnah (mereka menisbahkan diri pada sunah).

Istilah Ahlusunah waljamaah oleh al-Asy‘ari juga disebut Ahl al-Hadits wa as-Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan sunah) dalam kitabnya yang berjudul Maqalat al-Islamiyyan (berisi tentang aliran teologi dan pandangannya dalam Islam). Dalam kitabnya yang lain, al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah (Penjelasan Asal-usul Agama), istilah yang dipakai adalah Ahl al-Haqq wa as-Sunnah (golongan yang berpegang pada kebenaran dan sunah Nabi SAW).

Namun dari semua itu, pemakaian yang lebih populer adalah Ahlusunah waljamaah. Sesuai dengan pengertian Ahlusunah waljamaah, aliran Muktazilah, Khawarij, Murji’ah, dan Syiah tidak termasuk sebagai Ahlusunah waljamaah. Aliran Ahlusunah waljamaah ini sering disebut juga golongan Suni.

Dengan hilangnya paham teologi lain di dunia Islam, paham Ahlusunah waljamaah berkembang dan dianut secara luas terutama semenjak Muktazilah dicabut dari mazhab resmi negara di zaman al-Mutawakkil. Sekalipun paham Syiah dan pelanjut paham Muktazilah pernah berkuasa pada masa Dinasti Buwaihi dan pada awal pemerintahan Dinasti Seljuk, mayoritas umat Islam pada waktu itu tidak ikut terpengaruh paham teologi penguasa. Bahkan di zaman Salajikah (Seljuk) yang terkenal dengan Madrasah Nizamiyah oleh Nizam al-Mulk, ajaran al-Asy‘ari lebih berkembang pesat.

Para pengajar di madrasah ini adalah pengikut Asy‘ariyah yang secara gencar menyebarkan ajaran Ahlusunah waljamaah kepada muridnya. Di antara alumni Madrasah Nizamiyah yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham ini di Afrika dan Andalusia adalah Ibnu Tumart (pendiri al-Muwahhidun). Adapun di belahan dunia Timur ajaran ini dikembangkan oleh Abu Bakar Muhammad al-Baqillani yang memperoleh ajaran Asy‘ariyah dari murid al-Asy‘ari sendiri, Ibnu Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili.

Al-Baqillani dalam kapasitasnya sebagai pengikut al-Asy‘ari tidak begitu saja menerima ajaran Asy‘ariyah. Dalam beberapa hal pemikirannya­tidak sejalan dengan pemikiran al-Asy‘ari sendiri, umpamanya dalam teori kasb (memperoleh). Dalam teori ini al-Asy‘ari menyatakan bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT dan manusia hanya memperoleh (al-muktasib) perbuatan dari Allah SWT.

Adapun al-Baqillani menyatakan bahwa manusia mempunyai sumbangan efektif dalam perbuatannya; Allah SWT hanya menempatkan daya dalam diri manusia, sedangkan bentuk dan sifat dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia sendiri. Selanjutnya, istilah sifat yang disebut al-Asy‘ari oleh al-Baqillani dikatakan sebagai hal (state). Selain itu al-Asy‘ari juga mengatakan bahwa Allah SWT mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan­Nya itu adalah sifat-Nya (Allah ‘alimun bi ‘ilmih, wa ‘ilmuhu sifatuh). Sementara bagi al-Baqillani, Allah SWT itu mengetahui karena keadaan-Nya mengetahui.

Jadi pengetahuan Allah SWT itu bukanlah sifat dari Allah SWT. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pemahaman adanya yang kadim (sesuatu yang ada tanpa sebab) selain dari Allah SWT karena sifat dalam pengertian al-Asy‘ari adalah sesuatu yang kadim.

Selanjutnya ajaran ini dikembangkan oleh Imam Haramain (Abdul Ma’ali al-Juwaini). Pemikiran al-Juwaini juga banyak berbeda dengan pemikiran al-Asy‘ari. Menurut al-Juwaini, daya yang ada pada manusia mempunyai efek. Efek tersebut serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada diri mereka dan daya ini tergantung pada sebab lain.

Demikian seterusnya sampai pada sebab dari segala sebab, yaitu Allah SWT. Dalam hal hukum kausalitas ini al-Juwaini lebih dekat pada Muktazilah. Ahmad Amin, ahli sejarah dari Mesir, mengatakan bahwa al-Juwaini dengan melalui jalan­ berkelok-kelok kembali kepada Muktazilah.

Yang paling besar jasanya dalam mengembangkan ajaran Asy‘ariyah adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111). Dia merupakan tokoh yang paling berpengaruh dari paham Ahlusunah waljamaah di dunia Islam. Al-Ghazali mempunyai paham dan pemikiran yang sama dengan al-Asy‘ari. Melalui usaha al-Ghazali dan muridnya, ajaran Ahlusunah waljamaah tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam sampai saat ini.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. Risalah at-Tauhid. Cairo: Muhammad Ali Sabih wa Auladuh, 1965.
al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Maqalat al-Islamiyyah wa Ikhtilaf al-Musallin. Cairo: Matba‘ah ad-Daulah, 1950.
–––––––. al-Ibanah ‘an Uhul ad-Diyanah. Damascus: Idarah at-Tiba’ah al-Muniriyah, 1348 H/1929 M.
Musa, Jalal Muhammad. Nasy’ah al-Asy‘ariyyah wa Tatawwuruha. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1975.
as-Subhi, Ahmad Mahmud. Fi ‘Ilm al-Kalam: al-Asy‘ariyyah. Cairo: Muassasah at-Tahtafa al-Jamiyah, 1982.

Nasrun Haroen