AhlulKitab

(Ar.: ahl al-kitab)

Secara bahasa, ahl al-kitab berarti “pemiliki kitab suci”. Secara khusus istilah ini dipakai untuk menyebut penganut agama pra-Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Bagi mereka diturunkan kitab suci (wahyu Allah), seperti Taurat, Zabur, dan Injil, melalui rasul atau nabi. Jumhur ulama sepakat, penganut kedua agama inilah ahlulkitab. Nama penganut agama lain masih diperselisihkan.

Di dalam Al-Qur’an, kata ahlulkitab dise­but 30 kali dalam 8 surah, yaitu Ali ‘Imran menyebutnya 12 kali (ayat 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, dan 199), an-Nisa’ 4 kali (123, 153, 159, dan 171), al-Ma’idah 6 kali (15, 19, 59, 65, 68, dan 77), al-Baqarah 2 kali (105 dan 109), al-hasyr 2 kali (2 dan 14), al-Bayyinah 2 kali (1 dan 6), al-hadid 1 kali (29), dan al-‘Ankabut 1 kali (46).

Sebagaimana dikatakan M. Ali as-Sabuni dalam kitabnya yang berjudul Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an (Keindahan Keterangan tentang Tafsir Ayat Hukum Al-Qur’an), yang dimaksud dengan ahlulkitab seperti yang disepakati oleh jumhur ulama adalah kaum Yahudi dan Nasrani, kecuali Bani Tuglab. Meskipun orang Majusi dipersamakan dengan orang Yahudi dan Nasrani sebagai kelompok kaum zimi yang dipungut jizyah (pajak), mereka tidak termasuk ahlulkitab.

Dijelaskan dalam kitab tafsir al-Manar, ada yang menetapkan orang Majusi sebagai orang musyrik, ada yang memasukkan mereka ke dalam ahlulkitab, dan ada pula yang menetapkan mereka menyerupai ahlulkitab. Menurut Muhammad Rasyid Rida, penyusun Tafsir al-Manar, dan Muhammad Abduh, kaum Majusi termasuk kelompok ahlulkitab.

Pendapat mereka didasarkan pada bunyi surah al-Hajj (22) ayat 17 yang membedakan umat manusia dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) umat mukmin; (2) ahlulkitab yang terdiri atas orang Yahudi, Sabi‘in (para penganut kitab suci masa silam yang kemudian menjadi penyembah berhala atau dewa), Nasrani, dan Majusi; dan (3) orang musyrik, yaitu bangsa Arab jahiliah yang menyembah berhala tanpa mempunyai kitab suci.

Menurut sejarah, ahlulkitab di lingkungan wilayah kekuasaan politik Islam termasuk bagian dari satu komunitas yang memiliki hak dan kewajiban sebagai masyarakat atau warga negara. Sebagai warga masyarakat Madinah, ahlulkitab bersama dengan umat Islam terikat dalam satu konstitusi Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Masing-masing memiliki tanggung jawab bela negara untuk mempertahankan stabilitas keamanan dari ancaman pihak luar.

Ahlulkitab dibedakan dengan umat Islam hanya dalam kaitannya dengan aspek intern keagamaan. Campur tangan atau tindakan militer yang sesekali dilancarkan Rasulullah SAW terutama ditujukan hanya kepada kelompok ekstrem pembangkang, seperti yang terjadi pada kaum Yahudi dari Bani Quraizah ataupun Bani Mustaliq. Tindakan militer terhadap kaum ekstrem pembangkang, baik dari kalangan umat Islam maupun kalangan ahlulkitab, juga dilancarkan pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq.

Masalah serius sehubungan dengan kaum ahlul­kitab adalah persoalan yang menyangkut kasus hukum, antara lain keabsahan makanan daging sembelihan, perkawinan, dan hukum waris. Masalah tersebut meluas dengan dimulainya sistem administrasi negara sejak kekhalifahan Umar bin Khattab karena meluasnya daerah yang ditaklukkan. Masa­lah itu mencakup dimensi politik, sosial, dan agama.

Meskipun demikian, isyarat bagi ditemukannya jalan keabsahan makanan daging sembelihan kaum ahlulkitab telah disebut dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 5 yang berarti:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”

Dalam hukum keluarga, ajaran Islam masih memperkenankan perkawinan campuran antara pria muslim dan wanita ahlulkitab, sepanjang keimanan pria muslim itu tidak rusak. Peluang demikian tertutup antara pria ahlulkitab dan wanita muslim. Salah satu alasan untuk mempertahankan penegasan tertutupnya peluang tersebut, sebagaimana dinyatakan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, adalah bahwa kepemimpinan rumahtangga berada di tangan suami (pria). Kepemimpinan rumahtangga itu tidaklah mungkin dipercayakan kepada yang lain, kecuali yang menganut agama Islam.

Sehubungan dengan peluang mengenai keabsahan makanan daging sembelihan dan perkawinan campuran antara umat Islam dan ahlulkitab, di kalangan ahli fikih ada yang tetap berpendirian haram. Ali bin Abi Thalib, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Umar bin Khattab, dan Tawus bin Kaisan al-Yamani (tabiin asal Yaman, ahli hadis) termasuk yang tidak membolehkan makan sembelihan ahlulkitab, kecuali jika mereka menyebut nama Allah SWT pada waktu menyembelihnya. Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT, antara lain: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya” (QS.6:121).

Mengenai hukum menikahi wanita Yahudi, Ibnu Umar berpendapat (berdasarkan QS.2:221): “Allah telah mengharamkan orang Islam menikahi wanita-wanita musyrik dan aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar seseorang yang mengata kan Isa adalah Tuhan atau anak Tuhan.”

Pendapat demikian didukung oleh golongan Syiah Ismailiyah dan sebagian Syiah Zaidiyah.

Adapun dalam urusan waris, ajaran Islam menggariskan terputusnya hubungan waris secara hukum karena perbedaan agama. Aspek toleransi dalam konteks misi kemanusiaan hanya dimungkinkan melalui jalur di luar hukum waris.

Daftar Pustaka

al-Abyari, Ibrahim. al-Mausu‘ah al-Qur’aniyyah al-Muyassarah. Cairo: Dar asy-Sya’b, 1974.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Tafsir al-Qurtubi al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur’an. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
as-Sabuni, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ibn Kasr. Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1981.
–––––––. Ali. Rawa’i‘ al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an. Damascus: Maktabah al-Gazali, 1980.
Thabathaba’i, Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Mu’as-sasah al-A‘la, 1973.

Muhammad Hasyim